Pentas Pemerintah Daerah Menuju Indonesia Bebas Sampah
Indonesia telah berkomitmen menjalankan agenda utama internasional melalui PBB mewujudkan Sustainable Development Goals tahun 2030. Harmonisasi dan sinkronisasi konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam hukum dan dasar kebijakan nasional, diantaranya terlihat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, dan PP Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Langkah penguatan hukum tersebut diharapkan mampu memberikan pedoman untuk mencapai hasil maksimal di tengah kondisi darurat sampah nasional, sembari berharap Pemda Provinsi dan Pemda Kab/Kota mengambil langkah progresif, untuk mencapai visi dan arah pembangunan jangka panjang yang ditargetkan pada tahun 2025.
Persoalan lingkungan khususnya sampah memang menjadi persoalan global. Rachel Carson menulis secara dramatis kondisi lingkungan hidup dalam Silent Spring (1962), sebagai awal meluasnya kesadaran global yang memunculkan konsep Sustainable Development. PBB kemudian mengadopsi sebagai kerangka kebijakan global dalam MDGs (2000-2015) dan SDGs (2016-2030). Persoalan sampah dan lingkungan hidup, dipertegas kembali oleh publikasi Jenna Jambeck (2015), peneliti dari Universitas Georgia Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menempatkan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar ke 2 setelah Tiongkok dari 192 negara.
Menengok Negara Lain
Beberapa negara telah melakukan inovasi untuk mengatasi sampah. Singapura misalnya, menggunakan teknologi pembakaran sampah yang aman dengan kapasitas sampah 1000 ton, sekaligus sebagai pembangkit listrik yang mampu mencapai 10 MW. Serupa dengan itu, di Denmark, sampah didaur ulang menggunakan teknologi menjadi salah satu sumber energi terbarukan, berfungsi sebagai pengadaan listrik disamping tenaga angin dan tenaga matahari. Di Jepang, selain menggunakan berbagai teknologi canggih dan kebijakan 3R daur ulang sumber daya limbah, aspek yang menonjol dari pengelolaan sampah adalah kekuatan budaya, karakter dan orientasi masyarakat terhadap sampah.
Sampah di Indonesia
Di Indonesia, khususnya kota-kota besar, peningkatan jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi menjadikan permasalahan sampah semakin kompleks. Berdasar data BPS (Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun, 2018), Kota Surabaya, DKI Jakarta, Makasar, Semarang dan Denpasar merupakan kota-kota penghasil sampah yang sangat besar. Dari beberapa kota tersebut, walaupun dengan jumlah produksi sampah sangat besar, Kota Denpasar dan DKI Jakarta menjadi dua kota dengan tingkat keterangkutan sampah terbesar. Sedangkan sebagian besar kota lain, keterangkutan masih rendah, Provinsi NTB salah satunya.
Hasil Susenas yang dimuat dalam publikasi BPS (2018) menunjukan, membakar sampah merupakan cara rumah tangga Indonesia memperlakuan sampah yaitu sebesar 66,8 %, dan hanya 1,2 % rumah tangga yang melakukan daur ulang. Data BPS yang dipublikasi tahun 2014 menyatakan hal serupa, namun terdapat variabel yang menunjukan bahwa perilaku bakar sampah di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.
Menyikapi persoalan sampah, terutama sampah plastik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pengurangan, pembatasan dan penanganan sampah. Di samping itu, berbagai kelembagaan negara mendukung kebijakan serupa, Kemenristekdikti pada Juni lalu mengeluarkan Instruksi Menristekdikti tentang Larangan Penggunaan Kemasan Air Minum Berbahan Plastik Sekali Pakai dan/atau Kantong Plastik.
Beberapa daerah seperti Pemda DKI Jakarta dan Pemda Bali telah melakukan langkah penting mengeluarkan kebijakan dengan penguatan Perda guna mengurangi dan membatasi sampah plastik terutama di sektor industri dan kegiatan kelembagaan.
Upaya penanganan sampah dengan pemanfaatan teknologi di Indonesia tercermin dari langkah Kementerian ESDM sekaligus memberikan optimisme 12 Pembangkit ListrikTenaga Sampah (PLTSa) beroperasi tahun 2019 hingga 2022. Pada tanggal 26 Maret 2019 lalu, telah diresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sebagai Pilot Project. Kapasitas sampah sampai 100 ton per hari, sedangkan produksi sampah DKI Jakarta dan Bekasi mencapai 10.000 ton. Walaupun masih sangat terbatas dibandingkan jumlah sampah, tentu masyarakat berharap, ke depan Pemerintah Pusat dapat mengembangkan PLTSa dan menjadi solusi permasalahan sampah di Indonesia.
Untuk mempercepat penanganan sampah melalui PLTSa, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Program Pembangunan PLTSa guna mendukung Provinsi maupun Kab/Kota melalui skema kemitraan dengan swasta. Di dalam aturan tersebut telah memberikan ruang Pemda dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk membangun PLTSa.
Arah Kebijakan Pengelolaan Sampah di daerah
Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupatem/Kota tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada lampiran sub urusan persampahan ditentukan kewenangan Pemerintah Pusat adalah penetapan pengembangan sistem pengelolaan persampahan secara nasional dan pengembangan sistem pengelolaan persampahan lintas Daerah provinsi dan sistem pengelolaan persampahan untuk kepentingan strategis nasional. Kewenangan Pemda Provinsi yaitu pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan regional. Sedangkan Pemda kabupaten/kota yaitu pengembangan sistem dan pengelolaan persampahan dalam Daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan hal demikian, Pemda perlu merespon arah kebijakan nasional dengan membangun sistem pengelolaan sampah dengan memperhatikan lingkup kewenangannya, dan peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu UU No. 18 Tahun 2008, Pepres No. 97 Tahun 2017, Peraturan Menteri dan ketentuan teknis lainnya. Selain itu, memperhatikan Sustainable Development Goals, publikasi ilmiah atau hasil penelitian, serta tinjauan perbandingan kebijakan dengan daerah atau negara lain.
Beberapa poin penting yang perlu menjadi catatan Pemda dalam formuluasi ataupun reformulasi Perda ke depan adalah menghindari muatan sanksi pidana yang berlebihan, walau perlu diakui pula kesadaran masyarakat masih sangat rendah, namun sebaiknya Pemda lebih fokus memberikan solusi reorientasi sampah kepada masyarakat sebelum berpikir menggunakan hukum pidana sebagai primum remedium (alat utama).
Hal mendasar lain yang perlu diperhatikan oleh Pemda Provinsi dan Pemda Kab/Kota serta DPRD dalam pencegahan dan penanganan sampah berdasar pula pada Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang tentang Kebijakan Renstra Nasional mengamanatkan pengelolaan sampah berbasis sistem, dalam kaitanya itu perlu membangun sistem dan memperkuat elemen di dalamnya. Formulasi kebijakan pengelolaan sampah diantaranya memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat, kelembagaan, pengurangan/pembatasan sampah plastik pada sektor usaha dan kegiatan, tanggungjawab swasta/perusahaan diantaranya pengembang perumahan dan waralaba toko ritel, peran individu, masyarakat/komunitas, serta memperhatikan kondisi geografis kebencanaan.
Jangkauan pengambilan kebijakan tersebut diantaranya mempengaruhi perilaku individu guna minimalisasi dan daur ulang limbah, mekanisme basis pasar, sebagai penetapan harga berbasis unit untuk limbah yang tidak disortir, dan kebijakan teknis, seperti penerapan sistem pembatasan atau penurunan sampah (Marianna Gilli, Susanna Mancinelli dan Francesco Nicolli, 2018). Sedangkan, dalam penanganan sampah dan kebencanaan, dapat dilakukan melalui pendekatan disaster waste management dan disaster waste prevention (Tomohiro Tabata, Akio Onishi, Takashi Saeki, Peii Tsai, 2019). Penanganan cepat dan pengolahan limbah yang dihasilkan selama gempa bumi sangat penting untuk pemulihan cepat dan rekonstruksi, beban lingkungan dari upaya pengelolaan limbah bencana tidak boleh diabaikan bahkan dalam situasi bencana. Pengelolaan limbah bencana harus disistematisasikan sebagai sistem terintegrasi di mana proses pengelolaan limbah bencana mengalir dari generasi ke pengolahan.
*Penulis adalah Dosen dan Direktur LPW NTB