Wajah Hukum Dibalik Penggusuran Lahan Mandalika

0Shares

Oleh: Dr. Widodo Dwi Putro, S.H.,M.H.,Prof. Amiruddin, S.H.,M.H., Prof. Sudiarto, S.H., M.H*

Penggusuran lahan di Kuta Mandalika, Pulau Lombok terjadi dalam waktu cukup panjang, sejak tahun 1991 hingga 2021. Proyek penggusuran lahan yang dilakukan pada rezim Orde Baru (Soeharto) yang otoriter, justru dilanjutkan oleh rezim yang dipilih secara demokratis. Sebagian petani dan nelayan Kuta yang sebelumnya gigih mempertahankan tanah meski dengan intimidasi pada rezim otoriter, akhirnya ‘kompromis’ dengan merubah perjuangannya dari mempertahankan tanah menjadi tuntutan ganti rugi justru terjadi di era post-Soeharto yang mana rezimnya dipilih secara demokratis dan terdapat lembaga pengawas independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman.

Penggusuran lahan yang dilakukan dengan legitimasi hukum dan mengatasnamakan kepentingan umum memang lebih canggih dibanding dengan kekerasan dan intimidasi semata. Tetapi, cara legalitas ini pun tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekerasannya. Terlebih lagi di era digital yang semakin terbuka, cara-cara penggusuran meski dengan alasan untuk kepentingan umum justru dapat menjadi bumerang bagi pihak pemerintah, perusahaan dan investor sendiri. Apabila penggusuran lahan masih berlanjut, maka akan mengundang sorotan internasional.

Kejar Target, Super Prioritas

Meski pandemi Covid 19 makin meluas, menurut pihak perusahaan, mereka harus melakukan “land clearing”. Alasannya, karena diburu target jadwal penyelesaian pembangunan sirkuit balap MotoGP. Bulan April 2021, Dorna Sports selaku penyelenggara balapan MotoGP mengecek kesiapan pembangunan sirkuit di mana Mandalika ditetapkan sebagai tuan rumah balap MotoGP 2022. Kuta Mandalika, Lombok, merupakan sirkuit jalan raya pertama di dunia yang dibangun dengan konsep menawarkan pemandangan indah yang dikelilingi oleh hamparan perbukitan, lagoon dan pantai. MotoGP itu memiliki panjang lintasan 4,31 kilometer, dengan 17 tikungan. Nantinya akan ada area paddock sampai dengan 40 dan lebih dari 50.000 kapasitas tempat duduk Grand Stand serta 138.000 area berdiri.

Dibalik rencana kemewahan perhelatan MotoGP, sebagian penduduk Kuta Mandalika belum sepenuhnya menyadari jika desa tempat mereka lahir yang dulunya terpencil sekarang terhubung dengan Beijing, Madrid, Paris, London dan New York. Penduduk lokal hanya tahu jika harus segera pindah karena akan dibangun sirkuit balap dan hotel mewah yang akan membuat mereka lebih sejahtera. Sebagaimana pernyataan para pejabat mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat hingga kepala desa bahwa pembangunan sirkuit balap MotoGP itu sebagai ikon pariwisata Lombok sematamata untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekitar Kawasan dan menggerakan ekonomi daerah.

Semangat ‘the will to improve’ sebagaimana temuan oleh Tania Murray Li dalam kasus penggusuran lahan sebagai berikut; “They desire to make the world better than it is. Their methods are subtle. If they resort to violence, it is in the name of a higher good—the population at large, the survival of species, the stimulation of growth”. Untuk konteks kasus Kuta Mandalika, penggusuran lahan diperuntukan industri pariwisata. Rupanya, kegagalan Indonesia sebagai negara agraris dan industri manufaktur, membuat industri pariwisata menjadi primadona.

Pemerintah Indonesia telah mempromosikan pariwisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan mengidentifikasi potensi wilayah Mandalika untuk menjadi “destinasi pariwisata kelas dunia”. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebelumnya, pemerintah memperkenalkan beberapa langkah untuk mempromosikan pariwisata guna meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian. Kawasan Mandalika ditetapkan sebagai salah satu dari 10 “Kawasan Strategis Pariwisata Nasional” dan mulai beroperasi sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada tahun 2017, “secara besar-besaran dan intensif” membangun infrastruktur, seperti jalan, taman, sirkuit dan hotel.

Untuk menyediakan lahan dalam skala luas, pemerintah menggunakan instrumen hukum, misalnya dengan terlebih dulu mengeluarkan peraturan yang menetapkan sebuah wilayah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Setelah lokasi itu ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, maka menjadi super prioritas nasional dan pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Penggusuran Lahan, Rezim Otoriter Hingga Rezim “Demokratis”

Petani Kuta dan sekitarnya awalnya petani menanam tanaman palawija dan padi gogo rancah yang tadah hujan. Dinas Perikanan Lombok Tengah memperkenalkan budidaya rumput laut di kawasan Kuta dan sekitarnya tahun 1990. PT Rajawali yang merupakan perusahaan milik anak Presiden Soeharto kemudian menggandeng Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui perjanjian kerjasama pada tanggal 3 Mei 1989. Pada 11 November 1991, PT Rajawali secara resmi mulai melaksanakan pembebasan lahan. Praktek di lapangan, perusahaan menyebar para calo untuk membeli lahan petani. Saat pembebasan lahan, tidak ada platform harga tanah yang resmi, sehingga tidak sedikit terjadi manipulasi harga.

Sejak saat itu sekitar 1500-an petani dipaksa menjual tanah mereka. Perusahaan juga melarang petani menanam rumput laut di area pantai karena dianggap mengganggu pariwisata. Untuk memuluskan pembebasan tanah, PT Rajawali bekerjasama dengan Pemda mengerahkan tentara dan polisi mengintimidasi warga agar mau menjual tanahnya. Mereka tidak segan-segan mencatut nama Presiden Soeharto (waktu itu) untuk mengintimidasi penduduk agar mau menyerahkan tanahnya. Polisi, tentara, dan kepala desa mendatangi rumah penduduk menjelaskan bahwa petani tidak mencukupi bukti kepemilikan atas tanah. Mereka mengancam tanah harus dijual jika tidak maka tanah tersebut akan tetap diambil secara paksa dan tanpa dibayar. Akhirnya, sebagian warga yang ketakutan menjual sebagian tanahnya. Mereka menjual sebagian tanahnya karena merasa tidak mudah melepaskan ikatan dari lahan yang dibuka dengan susah-payah.

Mereka mengira dengan menjual sebagian tanahnya, mereka masih bisa tinggal di kampung halamannya. Umumnya, petani Kuta pemilik tanah buta huruf, serta tidak memahami seluk-beluk jual beli tanah. Juru bayar perusahaan membayar uang muka untuk sebagian lahan dan pada saat pembayaran petani diminta menyerahkan alat bukti hak. Pemilik lahan hanya disuruh menjempol surat pada waktu menerima uang bayaran yang kemudian surat tersebut tidak diberikan salinannya kepada pemilik lahan. Dokumen-dokumen tanah pemilik lahan diambil oleh PT. LTDC pada waktu pembebasan, di kemudian hari bermasalah karena tercatat dalam Akta Pelepasan Hak Atas Tanah bahwa pemilik lahan telah menjual seluruh lahan berdasarkan alat bukti yang diserahkan.

Sebagian petani lain, menolak untuk menjual tanahnya. Menurut pengalaman sejumlah petani yang menolak pembebasan lahan harus menghadapi berbagai intimidasi. Intimidasi fisik berupa pembakaran, pembongkaran rumah, dan perampokan. Sejumlah petani seperti Amaq Sukril, Amaq Semin, Inak Sita, Amaq Jati dengan tuduhan melakukan penggregahan tanah dan perusakan tanda perusahaan. Amaq Sukril merusak tanda perusahaan karena ditancapkan di depan pintu rumah. Ia kemudian ditangkap dan dipidana dengan tuduhan perusakan barang.

Uniknya, menurut sejumlah warga, setiap warga melakukan protes atau demonstrasi menolak pembebasan tanah, keesokan harinya warga mengaku kehilangan sepeda motor, sapi dan peralatan kerja dalam waktu yang bersamaan. Contoh, Sibawai yang pekerjaan tukang kayu pernah hilang semua peralatan untuk membuat mebel. Amaq Bengkok tetangga Sibawai hilang 6 ekor sapi. Sedangkan, Amaq Ladi kehilangan sepeda motor.

Tahun 1997-1998 terjadi krisis moneter. Presiden Soeharto dijatuhkan oleh demonstrasi mahasiswa 1998. PT. LTDC – yang assetnya diperhitungkan sebagai bagian dari Group Rajawali — akhirnya diambil alih BPPN (Badan Penyangga Perbankan Nasional) karena kredit macet sebesar Rp. 1,3 trilyun.

Pada 2008, investor dari Dubai, Emaar Properties, tertarik melihat keindahan Kuta Mandalika dan berencana menanamkan modalnya di kawasan tersebut. Emaar kemudian membuat MoU dengan pemerintah berencana menginvestasikan modalnya Rp. 21 trillun. Tetapi, akhirnya Emaar membatalkan investasinya setelah mengetahui persoalan pembebasan lahan belum selesai sepenuhnya. Lahan Kuta Mandalika yang merupakan ex. agunan kredit macet di BPPN, diserahkan pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara BTDC (Bali Tourism Development Corporation). BTDC ini kemudian berubah nama menjadi ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation).

ITDC mengusulkan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Usulan disetujui, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014 untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata dengan luas area sebesar 1.035,67 Hektar. Penetapan Kawasan Ekonomi Khusus berjalan paralel dengan pembangunan sirkuit balap MotoGP. Pihak pemerintah “merasionalkan” pembangunan sirkuit balap MotoGP ini berhubungan dengan kepentingan umum karenanya dibangun di KEK. Jika suatu kawasan sudah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus maka menjadi prioritas pembangunan nasional Penggunaan aparat negara untuk pembebasan lahan menjadi legal. Gubernur Nusa Tenggara Barat mengeluarkan Surat Keputusan Pembentukan Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Masalah Tanah Di Mandalika. Anggota tim teknis terdiri dari unsur Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, dan Pemerintah Daerah. Dalam SK Gubernur tersebut, Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Masalah Tanah Di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika seharusnya dibiayai APBD, tapi malah dibiayai pihak perusahaan (ITDC) yang notabene sedang bersengketa dan memiliki kepentingan.

Hukum, Pantulan Kepentingan Yang Berkuasa

Warga melapor ke Komnas HAM. Komnas HAM kemudian merekomendasikan para pihak untuk mediasi. ITDC menyatakan akan mematuhi rekomendasi Komnas HAM untuk melakukan dialog dengan warga. Saat mediasi, bukan pihak ITDC berhadapan dengan masyarakat, melainkan unsur polisi, BPN, jaksa, pengacara, dan akademisi yang aktif berperan. Perwira polisi senior sebagai mediator memulai pidato, mengulang apa yang pernah disampaikan pejabat-pejabat sebelumnya, tujuan pembangunan sirkuit MotoGP yang merupakan ikon pariwisata Lombok semata-mata untuk meningkat kesejahteraan warga setempat dan menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah. Dua perwira polisi yang lebih muda kemudian mempresentasikan data yang menguatkan posisi hukum ITDC.

Sementara Kepala Badan Pertanahan Lombok Tengah dan Seksi Sengketa BPN Lombok Tengah memperkuat bukti hak ITDC berdasarkan dokumen pertanahan. Pihak BPN menunjukan bukti bahwa warga telah menandatangani Akta Pelepasan Hak Atas Tanah. Sedangkan Jaksa Pengacara Negara memperkuat argumentasi hukum dan menyatakan siap mendampingi ITDC di pengadilan jika dialog dan adu data dengan warga buntu.

Sementara pihak masyarakat ada yang didampingi pengacara dan sebagian lain tidak didampingi karena tidak mampu membayar pengacara. Masyarakat umumnya tidak tidak mempunyai sertifikat hak milik. Masyarakat mengajukan bukti-bukti non formal seperti adanya kuburan, tanaman-tanaman tertentu seperti kelapa yang sengaja ditanam, bekas penggembalaan ternak, atau batas-batas alam.

Terakhir, diujung perdebatan dan adu data, sejumlah akademis hukum memberikan argumentasi bahwa ITDC dalam posisi yang benar dari perspektif hukum. Sekarang perjuangan warga Kuta bukan lagi mempertahankan tanah melainkan menuntut agar mendapat ganti rugi yang layak. Mereka pun akhirnya menyatakan tidak menolak pembangunan sirkuit karena alasan untuk kepentingan umum.

Alasan Kepentingan Umum

Apa yang dsebut kepentingan umum, dalam kenyataannya berfungsi mengamankan kepentingan para investor atau pengusaha yang ingin berinvestasi pada proyek-proyek pembangunan, yang sebetulnya masuk kategori proyek komersial atau untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu dengan mengatasnamakan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tetapi, karena alasan kepentingan umum ini mendapat legitimasi hukum dan secara persuasif selalu disampaikan baik secara formal maupun informal sehingga sirkuit motoGP yang jelas-jelas merupakan kepentingan komersial secara perlahan tidak ada yang mempertanyakan ketika ditetapkan sebagai kepentingan umum.

Atas alasan demi kepentingan umum, maka pemilik lahan harus melepaskan hak atas tanahnya. Jika pemilik tanah tidak setuju jumlah ganti rugi yang ditetapkan appraisal, maka dapat menggugat ke pengadilan. Setelah hakim pengadilan memutus tetapi warga masih berkeberatan dengan jumlah ganti rugi, maka berlaku Pasal 43 UU No. 2 tahun 2020 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan yakni uang ganti rugi diititip di pengadilan dan seketika itu hak atas tanah warga menjadi hapus.

Kondisi petani Kuta Mandalika semakin sulit mempertahankan tanahnya setelah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Terlebih lagi, lahir UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ada semacam ‘big scenario’ memberikan ‘red carpet’ bagi kelompok investor.”

Di luar dugaan, kasus penggusuran lahan di Kuta Mandalika sampai ke Jenewa dan menjadi perhatian serius Perserikatan Bangsa Bangsa.38 Pelapor khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia (HAM) bersurat secara terbuka kepada Pemerintah Indonesia, ITDC dan AIIB. Dalam suratnya, Pelapor Khusus PBB tersebut menilai bahwa megaproyek yang dibangun dan dikelola oleh ITDC dilakukan dengan cara menggusur dan merampas tanah masyarakat setempat itu melanggar HAM. Sejumlah penduduk lokal mengaku pernah berkomunikasi dengan Pelapor Khusus PBB via Zoom. Masyarakat Kuta yang kelihatan lemah dan tidak berdaya, ternyata bukan obyek yang pasif.

Efek surat Pelapor Khusus PBB tersebut membuat pemerintah Indonesia menurunkan empat kementerian yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersamaan ke Kuta Mandalika mengadakan rapat dengan ITDC. Selain membantah terjadi pelanggaran HAM, ITDC mengekspos beberapa warga yang mendapat ganti rugi miliaran rupiah dihadapan utusan empat kementerian.

Utusan khusus Kemenko Marves (Kemaritiman dan Investasi) menemui warga yang masih bertahan di area sirkuit. Sementara, investor juga menurunkan tim peneliti melakukan observasi dan mewawancarai penduduk lokal untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran HAM terkait dengan Surat Pelapor Khusus PBB tersebut. Peneliti ‘investor’ menemukan warga yang tinggal dengan tenda bertuliskan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sebagaimana para pengungsi korban bencana alam tidak jauh dari area ITDC. Mereka tinggal di tenda karena rumahnya digusur tiga hari menjelang kedatangan Tim Dorna yang mengecek pembangunan sirkuit pada tanggal 7 April 2021.

Jika sebelumnya investor sangat antusias menanamkan modalnya setelah ditetapkannya Kawasan Ekonomi Khusus dan pembangunan sirkuit balap MotoGP, pasca surat Pelapor Khusus PBB tersebut, beberapa investor dikabarkan melakukan evaluasi untuk menanamkan modalnya. Alasannya, pertimbangan bisnis jangka panjang. Di era digital yang semakin terbuka, isu pelanggaran HAM sensitif bagi investor.

Penggusuran lahan disebabkan oleh ‘accumulation by dispossession’, melibatkan setidaknya dua aktor, yaitu aktor bisnis yang memiliki keperluan atas lahan luas dan pemerintah yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam konteks negara hukum, hanya negara yang secara hukum mempunyai kewenangan membebaskan tanah berdasarkan hukum yang berlaku atas nama kepentingan umum. Tetapi negara juga berbisnis. ITDC merupakan Badan Usaha Milik Negara. Untuk kasus Kuta Mandalika, penggusuran lahan oleh negara menjadi sempurna karena negara sebagai regulator, penegak hukum, eksekutor, dan sekaligus pemain bisnis melalui BUMN. Dalam kasus Kuta Mandalika, sulit dibedakan kapan negara bertindak mewakili kepentingan umum dan mengejar keuntungan bisnis.

Negara sepintas kelihatan sebagai pemain utama. Apabila dicermati lebih dalam, negara tidak ubahnya hanya sebagai makelar tanah. Negara membebaskan tanah, lalu ITDC menawarkan tanah tersebut kepada investor untuk membangun sarana pariwisata. ITDC mengklaim telah mengantongi komitmen investasi senilai Rp. 23 triliun dari pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Komitmen investasi tersebut terdiri dari pembangunan sirkuit balap MotoGP, hotel, hingga kluster sport & entertainment. Negara kemudian menerbitkan Hak Guna Bangunan bagi investor yang akan membangun hotel atau sarana pariwisata di atas Hak Pengelolaan Lahan.

Pengalaman proses akumulasi tanah lain di Indonesia menunjukan, negara tidak sendirian, melainkan dibiayai oleh lembaga keuangan internasional seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia),49 dan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank). Dalam konteks Kuta Mandalika, AIIB menyetujui pinjaman sebesar US$248,4 juta kepada ITDC pada Desember 2018.

Editor: Taufan, S.H.,M.H

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
** Tulisan ini merupakan article review dari Jurnal IUS, Volume 9, Issue 3, Desember 2021, dengan judul asli: Penggusuran Lahan: Dibalik Investasi Besar-Besaran
*** Artikel lengkap di: https://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/view/1058

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp