BeritaOPINI

Urgensi Sinkronisasi Hukum Untuk Mewujudkan Sustainable Development Goals Di NTB

0Shares
Oleh: Taufan, S.H., M.H

RENCANA Aksi Daerah untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (RAD SDGs) telah resmi diluncurkan oleh Pemda Prov. NTB pada tanggal 21 November 2018 lalu. Peluncuran tersebut menunjukan komitmen Pemda Prov. NTB sekaligus melaksanakan perintah PP No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Komitmen tersebut tentunya perlu diimbangi dengan langkah penyesuaian berbagai bidang, terutama langkah penyesuaian hukum, guna memberikan kejelasan, kepastian, acuan, dan komitmen lebih lanjut terhadap SDGs. Sehingga dapat mengulangi prestasi MDGs dengan kembali menjadi yang terdepan dalam pencapaian SDGs. Mantan Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi dalam sambutan acara “Lokakarya Pencapaian MDGs di NTB dan Tantangan Menuju SDGs” tanggal 7 Maret 2017 menekankan evaluasi semua produk hukum yang secara tidak langsung berkontribusi dalam pencapaian pembangunan.

Mencermati beberapa peraturan perundang-undangan di NTB, komitmen dan arahan tersebut belum sepenuhnya direalisasikan oleh Pemda Prov. NTB maupun Pemda Kabupaten/Kota di NTB. Masih terdapat beberapa amanat atau ketentuan turunan peraturan perundang-undangan yang belum direalisasikan, diantaranya ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

UU No. 32 Tahun 2009 mengamanatkan berbagai komponen dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi tugas dan wewenang Pemda Prov. dan Pemda Kabupaten/Kota, yaitu dimuat pada Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3).  Lingkup pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Komponen penting dalam lingkup tersebut diantaranya: inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, penyusunan RPPLH, KLHS, Amdal, UKL-UPL, perizinan, pengelolaan limbah, sistem informasi dan sistem pengawasan. Beberapa Kabupaten/Kota telah membentuk Perda, yaitu: Kab. Lombok Timur, Kota Mataram, Kab. Lombok Barat, dan Kota Bima, sedangkan Kabupaten lain mengatur beberapa bagian komponen perlindungan seperti Kab. Lombok Tengah yang membentuk Perda Pengolahan Limbah, sedangkan Pemda Prov. NTB belum memiliki Perda Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Komponen penting dalam UU No. 26 Tahun 2007 guna mewujudkan SDGs yang belum direspon adalah berkaitan dengan Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang telah diamanatkan PP No. 15 Tahun 2010 dan telah di amanatkan pula oleh Perda Prov. NTB No. 3 Tahun 2010 tentang RTRW Prov. NTB Tahun 2009-2029, ketiga ketentuan tersebut mengamanatkan pengaturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif dan pengenaan sanksi yang belum dilaksanakan oleh Pemda Prov. NTB dan Kabupaten/Kota, hanya Kabupaten Sumbawa Barat yang telah merealisasikan melalui pembentukan Peraturan Bupati.

UU No. 1 Tahun 2011 dan ketentuan turunannya mengarahkan Pemda Kabupaten/Kota untuk melakukan pencegahan dan peningkatan kualitas Perumahan dan Permukiman Kumuh yang diperkuat pula dengan Perda, namun sejauh ini baru dilaksanakan oleh Pemda Kota Mataram dan Pemda Kab. Lombok Tengah. Padahal Pemerintah Pusat melalui Ditjen Cipta Karya Kementerian PU-PR memiliki target persentase kawasan permukiman kumuh perkotaan sebesar 0% pada Tahun 2019 dan bebas kumuh Tahun 2020. Hal tersebut tentunya harus ditunjang oleh kapasitas Pemda dalam memberikan arahan melalui komitmen pembentukan dan pelaksanaan hukum.

Persoalan penting lain yang perlu direspon adalah berkaitan dengan pengelolaan sampah, UU No. 18 Tahun 2008 telah mengamanatkan pengurangan dan penanganan sampah (Pasal 20-Pasal 22). Untuk penanganan, Pemda memiliki kewajiban menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan, memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang dan memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang. Selain itu Pemda dapat memberikan insentif dan disinsentif. Sedangkan untuk penanganan yaitu pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir.

Sejauh ini, dalam pengelolaan sampah, upaya progresif yang dilakukan diantaranya sejak tahun 2008 dilaksanakan program TPS 3R dengan dana APBN secara kontraktual, hingga tahun 2015 dilakukan swakelola langsung  diberikan program TPS 3R berbasis masyarakat, pemberian fasilitas pendukung, walaupun masih terbatas pada beberapa titik. Sehingga, persoalan pengelolaan sampah perlu direspon secara kolektif oleh Pemda Prov. NTB dan Pemda Kabupaten/Kota. Upaya Pemda melalui pembentukan hukum “pengelolaan sampah” telah dilakukan oleh Pemda Kota Mataram, Pemda Kabupaten Lombok Tengah, untuk Pemda Prov. NTB masih pada tahap Propemperda. Di sisi lain, untuk Kota Mataram, walaupun telah memiliki Perda, sampai hari ini belum memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Berbagai persoalan di atas, tentunya mengkhawatirkan mengingat Prov. NTB dikenal sebagai  destinasi wisata unggulan dan terus mengembangkan sektor pariwisata. Di sisi lain, Perda Prov. NTB No. 7 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2013-2028 mencantumkan pembangunan pariwisata berlandaskan prinsip Pembangunan Berkelanjutan, yang kemudian diperkuat peluncuran RAD SDGs. Di samping itu, Pemda Prov. NTB dan Pemda Kabupaten/Kota dalam “Visi-Misi”nya mencantumkan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Sehingga, Pemda Prov. NTB dan Pemda Kabupaten/Kota perlu mengambil langkah dengan segera untuk menyediakan berbagai komponen pendukung  dan melakukan pembaharuan hukum melalui: evaluasi, pembentukan, harmonisasi atau sinkronisasi hukum dengan berpijak pada ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, kebijakan serta kondisi empiris di NTB saat ini. Di samping pengaturan berbagai komponen pendukung, juga perlu diimbangi dengan pengaturan yang menjangkau persoalan lain, terutama pengaturan yang dapat menyentuh perubahan kultur, perilaku dan peningkatan kualitas SDM.

*Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram dan Direktur LPW NTB

Artikel ini pernah dimuat di Lombok Post, tanggal 2 Januari 2019

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp