Trias Politica ala Sasak
Oleh: Rahmi Azizah (Mahasiswi FIA UNW Mataram)
Konsep pemisahan dan pembagian kekusaan yang dianut negara Indonesia saat ini serta diadopsi hingga keunsur terkecil di desa dan kampung adalah trias politica ala John Locke dan Montesque. Lalu bagaimana dengan Sasak?
Konsep trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke di dalam magnum opus (karya besar) yang berjudul “two treaties of government”membagi kekuasan menjadi legislatif, eksekutif, dan Federatif. Sementara Montesque setelah membaca karya Locke mengajukan buah pemikirannya termuat dalam karyanya “spirits of the law” yaitu pembagian kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ala Montesque inilah yang masih berjalan hingga kini.
Kalau para pembaca yang budiman sering mendengar bahkan sangat familiar tentang eksekutif (menjalankan undang-undang), legislatif (membuat undang-undang), dan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang), yang konon katanya lembaga ini sekarang kondisinya sedang sakit parah karna kasus “papa sakti” adalah buah pemikiran dari Montesquieu, seorang tokoh yang berasal dari Prancis.
Trias politica ala Sasak
Masyarakat sasak memiliki sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan tersendiri serta sudah dilakukan secara turun temurun yang kemudian disebut Datu Telu. Pengetahuan ini saya dapatkan dalam diskusi santai bersama budayawan sasak L. Satria Wangse, ketika menghadiri acara konsolidasi masyarakat adat Bali-Nusra yang diinisiasi oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan diselenggarakan di Bayan Lombok Utara beberapa waktu lalu.
Konsep Datu Telu ini berdasarkan pemaparan beliau yaitu pemekel/pengraksa, penghulu, dan pemangku adat. Pertama pengraksa memiliki fungsi mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Kedua, penghulu bertugas mengatur dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan agama. Ketiga, pemangku adat berperan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat istiadat.
Ketiga otoritas tersebut bersifat setara dan tidak saling tumpang tindih serta tidak saling intervensi satu sama lain.
Urgensi Implementasi Trias politica ala Sasak
Mengapa pemisahan dan pembagian kekuasaan ini menjadi urgent untuk dilakukan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan tidak boleh dilimpahkan kepada satu struktur kekuasaan saja melainkan harus terpisah. Hal tersebut untuk menghindari suatu pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasan yang diberikan.
Over lapping (tumpang tindih) wewenang ini sering terjadi di sasak antara tokoh adat dan tokoh agama. Kedua unsur ini seringkali terlihat ada konfrontasi misalnya dalam kasus “nyongkolan” tokoh adat berpendapat hal ini perlu dilestarikan karna bagian dari kearifan lokal. Sementara tokoh agama berpendapat lain bahwa nyongkolan ini dihilangkan saja karna banyak mudharatnya seperti bikin jalan macet, joget-jogetan yang tidak mencerminkan sikap islami sehingga akan mencederai citra Lombok dengan pulau seribu masjidnya. Tokoh adat menanggapi kembali bahwa yang buruk bukan nyongkolannya tapi perilaku oknum yang nyongkolan (begitu seterusnya mengambang tidak ada penyelesaian). Masyarakat sasak seolah terpecah belah menjadi bipolar:pengikut tokoh adat dan tokoh agama (para tuan guru).
Formula
Saat ini belum ada aturan yang jelas siapa yang mengurus apa sehingga semua pihak (tidak hanya tokoh agama dan adat) terkesan memiliki hak untuk berpendapat dan menentukan sikap akan sesuatu.
Uuntuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pembagian wewenang yang jelas antara kedua tokoh dengan cara bertemu di krame (majelis) untuk duduk bersama membahas terkait permasalah-permasalahan yang muncul, dan membuat keputusan-keputusan terkait hal tersebut berupa awig-awig (aturan-aturan) serta secara bersama-sama mengontrol regulasi-regulasi yang sudah disepakati. Sehingga ada ruang untuk berkoordinasi satu sama lain dan tidak lagi terkesan di masyarakat adanya gap antar tokoh adat dan agama yang notabene memiliki followers setia dan fanatik.
Sehingga konsep Datu Telu ini yang hanya masih ada dan diimpelementasikan di masyarakat Bayan, juga perlu diadopsi diwilayah lain. Jadi tugas-tugas serta wewenang masing-masing unsur menjadi jelas. Pemerintah terbantu diringankan bebannya yang kita tahu bersama sungguh banyak dan pelik. Dengan adanya keterlibatan struktur-struktur ad hoc di grassroots membantu pemerintah menemukan solusi terbaik dalam permasalahan yang berkaitan dengan adat istiadat dan agama yang tidak selalu bisa diselesaikan oleh dan dengan cara-cara pemerintah.
Konsep Datu Telu ala Sasak ini semoga tidak hanya dpraktikkan di Lombok, melainkan juga bisa menginspirasi pemerintah di wilayah lain di luar pulau seribu masjid dalam mengatasi masalah-masalah yang serupa. Karna sesungguhnya inspirasi tidak selalu harus datang dari hal-hal yang besar. Menginspirasi juga bisa melalui hal-hal kecil seperti kearifan lokal yang jarang tertangkap indera,apalagi media, kecuali untuk kepentingan pariwisata. Amin semoga.