Terjebak Revisi Pasal Karet UU ITE

0Shares
Oleh: Taufan, S.H., M.H

REVISI UU ITE, terus bergulir usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal pada rapat pimpinan TNI-Polri, Senin (15/2/2021). Menurut Jokowi, hulu persoalan dari UU ITE adalah pasal-pasal karet atau yang berpotensi diterjemahkan secara multitafsir, jika revisi dilakukan, ia akan meminta DPR menghapus pasal-pasal tersebut. Pada Jumat (19/2/2021), Mahfud MD selaku Menkopolhukam, memberikan pernyataan bahwa telah dibentuk dua tim untuk merespon revisi UU ITE. Tim pertama bertugas membentuk interpretasi yang lebih teknis dan membuat kriteria implementasi dari pasal yang dianggap pasal karet dan tim yang kedua adalah tim rencana revisi UU ITE.

Walau belum tegas, pasal karet mana saja yang dimaksud Jokowi maupun Mahfud MD, namun ketentuan pidana UU ITE tidak bisa hanya terjebak pada pasal karet semata, persoalan mendasar yang perlu dibedah adalah orientasi penggunaan hukum pidana dan peran kunci penegak hukum.

Gempuran

UU ITE, pertama kali disahkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 dan dilakukan perubahan dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016. Awalnya UU ITE disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui ekonomi digital dan perdagangan di dunia maya (e-commerce) serta merespon berbagai perkembangan kejahatan bidang tersebut. Di tengah perjalanan, alih-alih memberikan rasa aman terhadap aktivitas transaksi elektronik dengan memburu pembobolan rekening, email, data pribadi atau berbagai modus “penipuan” lainnya.

Aparat penegak hukum justru terbenam pada pusaran kasus penghinaan, penyebaran hoax, penyebaran konten kesusilaan dan pengancaman, aparat pun digempur oleh pro kontra penggunaan pasalnya. Sehingga, kesan UU ITE hanya seputar jeratan pidana terhadap penyebaran berita bohong (hoax), penyebaran konten kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)), penghinaan (Pasal 27 ayat (3)) dan penyebaran berita bohong (Pasal 28 ayat (2)) dan pengancaman (Pasal 29).

Diorama

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian pada Kamis (18/22021) menyatakan bahwa, Jokowi merasa gundah melihat masyarakat yang saling adu laporan lantaran adanya UU ITE.

Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) pada diskusi daring 19 Februari 2021 sebagaimana yang direkam oleh Tempo, kembali menggali serpihan tragedi penerapan UU ITE, PAKU ITE mengungkap bahwa tiga kelompok yang paling sering menggunakan UU ITE untuk melaporkan ke polisi adalah pejabat pemerintah, pengusaha dan polisi.

Salah Kaprah

Pasal 27 ayat (3), tentang penghinaan/pencemaran nama baik melalui media elektronik, merupakan salah satu biang kerok kegaduhan. Pasal tersebut, pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak dua kali, hasil Judicial Review tidak menunjukkan adanya permasalahan.

Pasal 27 ayat (3), seringkali dianggap membungkam kritik juga mengancam demokrasi. Nuansa kritik terhadap pelayanan ataupun kinerja pemerintah/pejabat publik digunakan pula dengan pasal ini. Di samping itu, penghinaan terhadap institusi/lembaga pun digunakan pasal ini.

Padahal, dalam perubahan sudah tertera jelas bahwa mengacu pada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan delik untuk melindungi diri seorang (bukan institusi/lembaga), pelaku penghinaan sengaja menyerang kehormatan dengan menyebutkan identitas mengarah pada korban, sehingga memiliki nilai subyektif tergantung pada derajat kalimat penghinaan yang diderita, maka itu pula sebabnya menjadi delik aduan, yang tentu harus diadukan oleh seorang yang bersangkutan.

Pasal 27 ayat (3) mendapatkan perhatian khusus pada perubahan pertama UU ITE, pasal ini dilakukan revisi dengan memperhatikan pada sepak terjang penerapan, dengan mempertegas penjelasan yaitu mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur KUHP. Namun, kenyataanya, penambahan penjelasan masih mampu menuntun gerak penegak hukum.

Secara prinsip hukum pidana, cara pandang ketentuan pidana dalam semua UU di luar dari KUHP termasuk UU ITE, harus didasarkan pada KUHP (hukum pidana umum). Apabila ditentukan lain dalam UU di luar KUHP (lex specialis), barulah KUHP dapat disimpangi. Namun, apabila tidak ditegaskan oleh UU, maka kembali pada KUHP sebagai induk hukum pidana.

Penegak Hukum

Koalisi Masyarakat Sipil membeberkan dalam laporan kurun 2016 sampai dengan Februari 2020 terkait kasus-kasus yang berkaitan dengan Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE. Menurut Koalisi, laporan menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

Dintinjau dari hukum pidana, rumusan perbuatan yang tercakup dalam Pasal 27, Pasal 28 maupun Pasal 29 merupakan perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan dilarang oleh negara yang dituliskan dalam UU ITE. Maka perbuatan yang mengarah pada unsur pasal tersebut, telah disediakan saluran mekanik “sistem peradilan pidana” (criminal justice system) yang mengolah mulai dari proses penyidikan di Kepolisian sampai dengan pelaksanaan hukum di lembaga pemasyarakatan.

Penggunaan sistem peradilan pidana, melalui jalur law enforcement (penegakan hukum) yang menitikberatkan operasionalisasi peraturan perundang-undangan, ada baiknya berirama dengan social defense (perlindungan sosial) dalam setiap reaksi terhadap perbuatan jahat. Polisi maupun Jaksa telah diberikan ruang oleh ketentuan Undang-undang untuk menggunakan kebijaksanaanya, ataupun menilai berdasar pertimbangan moral dengan batasan yang gariskan oleh undang-undang. Perubahan aturan teknis kelembagaan pun telah beranjak dari orientasi pembalasan, menuju pikiran tujuan pidana. Pada perkembangannya Kepolisian maupun Kejaksaan memiliki tekad untuk berevolusi dengan mengeluarkan Perkap dan Perja tentang Penyelesaian dengan RestorativeJustice.

Hakim pun, diberikan kebebasan oleh Undang-undang, dengan ketentuan memutuskan dengan keyakinan berdasar dua alat bukti (pembuktian negatif). Kebebasan hakim memberikan makna kedudukan hakim untuk menemukan hukum (rechtvinding) ataupun menafsirkan Undang-undang dengan berbagai metode berdasar prinsip dan sistem hukum (Lihat J.A Pontier, Rechtvinding (2008) dan Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (2010)).

Berpijak pada hal tersebut, usaha revisi UU ITE juga perlu diimbangi dengan perenungan penegak hukum. Tidak ada salahnya, kembali menengok kalimat Bernardus Maria Taverne yang cukup populer, “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”.

Pasal Karet

Jika cara berhukum hanya diletakan pada norma hukum yang tertera dalam undang-undang (teks), maka persoalan pasal karet, tidak akan pernah berujung, setiap undang-undang setidak-tidaknya memiliki “pasal karet”. Sehingga membaca pasal harusnya kembali menengok dasar pemikiran pada Naskah Akademik, ataupun meninjau interkoneksi dengan berbagai Undang-Undang lain seperti KUHP, beserta prinsip hukum pidana.

Secara khusus pembacaan pasal dilakukan melalui jalur penemuan hukum (rechtvinding) yang menyediakan metode interpretasi, misalnya gramatikal, sistematikal, historis (sejarah UU), teleologikal, antisipatif, evolutif-dinamikal, juga teknik penafsiran UU secara rasional dan menimbang-nimbang kepentingan (J.A Pontier, 2008).

Maka dari itu, setiap pasal memiliki roh, dari ketentuan pasal yang telah dicermati dalam Naskah Akademik dan berbagai interkoneksinya kemudian dapat pula dipertimbangkan dibentuk ketentuan misalnya berupa pedoman atau petunjuk teknis ataupun ketentuan pelengkap Undang-undang sebagi induknya,

Secara konsep pembentukan hukum dan politik hukum (ius constituendum), teks hukum tidaklah diharapkan berwatak kaku, “pasal karet” sejatinya adalah cara hukum mendeteksi dan memprediksi masa depan, beradaptasi dengan perkembangan, sebagai ruang penemuan hukum oleh hakim juga jalur tempuh untuk menggapai keadilan. Untuk itu pula keberadaan hakim dengan jangkauan kebebasan yang diberikan wewenang penafsiran, ditunjuk untuk menggali jiwa hukum dan moralitas dari sebuah pasal.

Orientasi

Jauh sebelum Jokowi menyiarkan kegundahan dan memberi tanda revisi UU ITE. Dorongan revisi, telah digetarkan oleh berbagai kalangan, dengan memperhatikan kondisi penerapan pasal yang ugal-ugalan dan cenderung tebang pilih.

Revisi UU ITE harusnya menjadi momentum refleksi akrobat penegak hukum, tidak hanya tejebak pada soal “pasal karet”, yang justru menampik peran kunci mereka. Revisi UU ITE harus pula menjadi bagian untuk menata kembali cara pandang terhadap kejahatan, perubahan haluan sistem pemidanaan (penghukuman), dan revaluasi perangkat sistem peradilan pidana. Sehingga, prinsip restorative justice (keadilan restorasi) dapat merekat ke dalam hukum pidana Indonesia.

Selain itu, berpijak pada pemikiran Ulrich Beck (1992) tentang masyarakat beresiko (risk society), di tengah arus modernitas yang merekonstruksi cara pikir mekanistis, maka nuansa kemampuan alamiah berhukum perlu dihadirkan kembali (reinventing) guna menemukan kesadaran hukum masyarakat. Maka, gelora revisi UU ITE, juga diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat simpul substansi, struktur dan kultur hukum.

*Penulis adalah Dosen FH Unram dan Direktur LPW NTB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp