Telaah Hukum; Begal Dibunuh – Korban Jadi Tersangka
Mencermati kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban Amaq S (34), bahwa besar kemungkinan pembunuhan yang dilakukan memenuhi unsur “alasan pemaaf” atau “alasan pembenar”, sehingga tidak dapat dikenakan pidana.
Jika Korban S melakukan daya paksa, maka sesuai prinsip dasar hukum pidana, keadaan terpaksa/daya paksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. Atau jika korban S melakukan pembelaan terpaksa, maka sesuai prinsip non scripta sed nata lex, bahwa tidak selayaknya orang yang melakukan pembelaan terpaksa dijatuhi pidana.
Hal tersebut, telah diatur berdasarkan ketentuan hukum pidana, yaitu diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada Pasal 48 disebutkan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Kemudian ketuan Pasal 49 terdapat dua ayat yang perlu diperhatikan, Pertama, ayat (1) yaitu “Barangsiapa terpaksa melakukan perbutan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”. Kedua, ayat (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Dari ketentuan di atas, secara terotis, Pasal 48 merujuk pada konsep daya paksa (overmacht) dan Pasal 49 merupakan terjemahan dari pembelaan terpaksa (noodweer).
Sehingga, dalam menyikapi kasus A, perlu dicermati apakah termasuk memenuhi unsur daya paksa ataukah pembelaan terpaksa.
Dalam ketentuan Pasal 48, tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud daya paksa, dan dalam keadaan apa unsur daya paksa dapat diterapkan dalam fakta. Begitupun Pasal 49, tidak ada uraian lebih lanjut indikator ataupun batasan serta garis batas ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49.
Namun, untuk menjangkau pemaknaan Pasal 48 maupun Pasal 49, dapat memperhatikan tinjauan teoritis maupun penjelasan dalam Memorie van Toelichting (penjelasan KUHP). Daya paksa (Pasal 48), dapat digariskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar, sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.
Sedangkan pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat (1), harus berupa pembelaan, terlebih dahulu harus ada hal-hal memaksa sebelum perbuatan, seperti serangan ataupun ancaman serangan. Sedangkan kondisi lain diatur Pasal 49 ayat (2), apabila pembelaan terpaksa itu reaksinya keterlaluan, tidak seimbang lagi dengan sifat serangan, adanya tekanan yang membuat dirinya tidak normal karena perasaan tergoncang jiwanya. Terguncang jiwanya ini misalnya seperti rasa takut, bingung dan marah.
Memperhatikan garis-garis kententuan Pasal 48 dan Pasal 49, maka tentu kembali pada fakta konkrit yang terjadi pada kasus pembegalan korban S. Sehingga, Polisi harus betul-betul cermat dan teliti dalam menelusuri fakta, untuk menentukan apakah daya paksa, pembelaan terpaksa atau pembelaan terpaksa melampaui batas.
Dari kronologis singkat yang diungkapkan di media, apabila korban S termasuk dalam “daya paksa” (overmacht), maka harus memenuhi tiga peristiwa pokok yaitu pemaksaan secara fisik, psikis dan keadaan pertentangan kewajiban hukum satu dengan lain, pertentangan kewajiban hukum dengan suatu kepentingan hukuman dan pertentangan kepentingan hukum satu dengan lain.
Sedangkan pembelaan terpaksa perlu memperhatikan: serangan yang bersifat melawan hukum, bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik sendiri atau orang lain, dan keperluan untuk meniadakan bahaya dan tidak ada acara lain.
Pada kasus Korban S, sangat besar kemungkinan terpenuhi kategori daya paksa atau pembelaaan terpaksa, karena melihat kejadian pada malam hari dan dilakukan oleh begal (orang yang berpengalaman/catatan kejahatan) dan pelaku berjumlah empat orang. Sehingga, apabila itu dapat dibuktikan sesuai fakta, maka sudah sepatutnya korban S tidak dipidana/dihukum.
Sehingga, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa. Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karna faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan sehingga fungsi batinya tidak dapat bekerja secara normal.
Sedangkan jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu, dan jika ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2) yaitu apabila serangan korban S menyebabkan kematian karena keguncangan jiwa, harus dibuktikan oleh polisi, dengan bantuan ahli psikologis, namun menurut saya hal ini sulit karena faktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang.
Untuk itu penggalian fakta yang detail perlu dilakukan oleh Polisi untuk sampai pada kategori daya paksa ataukah pembelaan terpaksa.
Oleh karena pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bilamana suatu overmacht/noodweer itu harus dianggap telah terjadi, penentuan diserahkan sepenuhnyua kepada hakim untuk menilainya secara bebas.
Untuk itu, upaya penyidikan sampai dengan penetapan tersangka oleh Polisi adalah sudah tepat. Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan masuk dalam kategori overmacht, noodweer, ataupun tidak. Namun, polisi harus menggali dan memuat seluruh fakta guna dihadapkan pada penuntutan oleh Jaksa yang kemudian dapat diputuskan secara adil oleh Hakim.
Penulis ialah Dosen Hukum dan Peneliti LPW NTB