BeritaOPINI

Selubung Hukum Menghadapi Covid-19

0Shares
Oleh: Taufan, S.H., M.H

PEMERINTAH resmi mengambil langkah pelarangan mudik dengan pengendalian transportasi pada Kamis (23/04/2020) melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020  tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 (Permenhub), Permenhub tersebut berlaku mulai 24 April 2010 sampai dengan 31 Mei 2020, dan dapat diperpanjang.

Beberapa poin Permenhub mengatur larangan sementara penggunaan sarana transportasi yang berlaku untuk transportasi darat, perkeretaapian, laut dan udara. Larangan sementara ditujukan bagi sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), zona merah penyebaran Covid-19 dan aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai PBB.

Permenhub juga mengatur pengecualian terhadap beberapa jenis kendaraan tertentu seperti kendaraan pimpinan lembaga tinggi negara, kendaraan dinas TNI dan Polri, kendaraan dinas operasional petugas jalan tol, pemadam kebakaran, ambulans dan mobil jenazah, serta mobil barang dengan tidak membawa penumpang. Kemudian pengecualian angkuta penyebarangan terhadap kendaraan pengangkut logistik atau barang, obat-obatan, alat kesehatan, pengangkut petugas operasional pemerintahan dan petugas penanganan Covid-19.

Langkah demikian dapat dilihat sebagai tingkatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagaimana  PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP PSBB) yang ditanda tangani oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 juga Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.

Penerapan PSBB pertama kali diumumkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada Selasa (08/04/2020) dan efektif berlaku Jumat (10/04/2020). Walau secara mendasar PSBB telah dilaksanakan oleh hampir di seluruh wilayah, namun dengan dikeluarkannya PP PSBB, pemerintah daerah (pemda) diberikan kesempatan untuk mengusulkan pemberlakuan PSBB di wilayahnya.

UU Kekarantinaan Kesehatan (UU No. 6 Tahun 2018) menyebutkan PSBB sebagai salah satu bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Langkah pemerintah sekaligus ingin menepis tuntutan lockdown serta memperkuat posisi “social distancing”. Padahal UU Kekarantinaan Kesehatan tidak hanya mengamanatkan pengaturan PP PSBB, namun juga PP karantina rumah, karantina wilayah, dan karantina rumah sakit. Sayangnya, hanya PSBB yang dilirik dalam PP. Namun, dengan dikeluarkannnya Permenhub, kembali mengaburkan langkah hukum pemerintah yang menolak lockdown, berdasarkan UU karantina Kesehatan, langkah pembatasan di pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas darat negara merupakan bagian dari karantina di pintu masuk.

Lockdown atau PSBB?

Sama halnya dengan lockdown (karantina wilayah), penetapan PSBB menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini ditetapkan oleh menteri. PP tersebut mengamanatkan pemberlakuan PSBB diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota ataupun kepala gugus tugas Covid-19 kepada menteri kesehatan.

Dalam hal pembiayaan PSBB, baik Undang-undang maupun PP tidak menyebutkan pembiayaan penanganan ataupun tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak  kebutuhan dasar dan lainnya. Namun, pembiayaan dimungkinkan untuk kebijakan pemerintah daerah, berdasar  ketentuan Perpu Kebijakan Keuangan Covid-19, mengatur kebijakan keuangan daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam penanganan dan menghadapi ancaman Covid-19.

Berbeda dengan lockdown (karantina wilayah) yang secara tegas disebutkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait serta selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Kemudian, berdasarkan ketentuan UU, PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu, sedangkan karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Maka, dengan pilihan PSBB, pemerintah menginginkan fokus pada aspek pencegahan daripada lockdown yang juga diperuntukan pada penanganan penyebaran penyakit.

Beberapa daerah, secara berani dan tegas melakukan karantina dan mengabaikan permintaan pemerintah pusat, bahkan setingkat lurah/desa sampai RW mengambil inisiatif melakukan karantina. Langkah tersebut, juga tidak ada keberatan dari pemerintah pusat. Ditinjau dari segi hukum, keberanian langkah pemda patut dibenarkan, karena dalam keadaan darurat dituntut cara-cara luar biasa, termasuk mengenyampingkan atau menerobos hukum secara normatif, mengingat pergerakan Covid-19 yang mengancam nyawa semua orang, maka untuk melampaui pandemi juga butuh berhukum melampaui teks.

“Malu Bilang” Karantina

Pemerintah pusat yang diiukti oleh sebagian besar pemda terus mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah. Di sisi lain, imbauan tersebut sulit dibedakan dengan karantina rumah, sehingga secara tidak langsung seolah meminta masyarakat secara sukarela melakukan karantina rumah secara mandiri. Bahkan, dalam bebarapa kesempatan, unsur pemerintah seringkali menyampaikan permintaan isolasi mandiri atau karantina rumah bagi ODP juga beberapa kategori PDP. Masyarakat pun seringkali melontarkan lockdown, isolasi ataupun karantina. Semua istilah itu, bergantian digunakan, tanpa disadari arti serta konsekuensi hukumnya. Padahal, pemerintah hanya mengakui PSBB.

Berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, dalam karantina (wilayah, rumah dan rumah sakit), disebutkan bahwa selama karantina setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Kemudian, khusus karantina rumah ditegaskan pula bahwa selama penyelenggaraan karantina rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam karantina rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah.

Dengan isolasi mandiri atau karantina rumah secara sukarela,dan terakhir selubung pengaturan pengendalian transportasi, tentu tidak memiliki konsekuensi hukum yang membebani tanggung jawab pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar seperti pangan dan kebutuhan lainnya. Namun, hal demikian tentu membahayakan, mengingat tidak semua orang memiliki kemampuan ekonomi yang merata, sehingga dapat memicu berbagai persoalan. Selain soal kebutuhan hidup dasar, yang perlu dikhawatirkan dalam isolasi mandiri ataupun karantina rumah adalah pemenuhan kebutuhan medis seperti masker, alat pengukur suhu, atau kelengkapan lain sampai pada soal plastik sampah. Tentu sangat membahayakan apabila setiap orang khususnya ODP atau PDP dibiarkan keliaran, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga bagi keluarga dan orang lain. Hal tersebut setidaknya tebukti, pasien positif kluster gowa telah menebar virus dan menyumbangkan angka peningkatan pasien positif. Keteledoran dan Ketidaksigapan pemerintah pusat maupun pemda menambah kerumitan pencegahan Covid-19.

Pemerintah memang telah berupaya, pontang-panting menyiasati skema pembiayaan dengan melabeli hak masyarakat sebagai bantuan sosial, modifikasi dengan berbagai program lainnya atau sekaligus menitipkan pelaksanaan dari program yang telah direncanakan. Tanpa mengecilkan usaha pemerintah, namun secara hukum, pemerintah tidak menjalankan kewajibannya secara penuh, juga tidak sinkron dengan persoalan dan cenderung mengaburkan tanggungjawab yang diberikan undang-undang. Upaya pemerintah sangat jauh dibandingkan maksud dari UU yang mengamanatkan beberapa komponen tanggung jawab.

Ironi PSBB

Berbagai langkah pemerintah, termasuk pilihan PSBB, justru memberi kesan pemerintah menghindari tanggung jawab pemenuhan hak sesuai amanat UU. Dengan dikeluarkannya PP PSBB, menegaskan pula sikap pemerintah menolak tuntutan “lockdown” juga karantina rumah, dan lebih memilih jalan aman dengan PSBB. Walau faktanya, karantina rumah maupun karantina wilayah telah dilaksanakan, dan terakhir terakhir larangan sarana transportasi keluar dan/atau masuk wilayah, pemerintah tidak kunjung mengeluarkan peraturan pelaksana. Padahal, UU jelas-jelas telah mengamanatkan semuanya, dan kenyataanya, semua telah diterapkan bersamaan.

Tentu disadari, kondisi satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda, mengingat pula keberagaman geografis, sosial dan budaya, maka sangat dimungkinkan adanya wilayah yang di batasi dengan PSBB, juga di tempat lain ada wilayah yang memang harus dikarantina pintu masuk, karantina wilayah, atau terdapat keharusan karantina rumah sakit dan karantina rumah di beberapa wilayah yang berbeda. Sehingga berbagai opsi tersebut perlu diberikan kepastian hukum.

Jika melihat PP PSBB, pemerintah mengeluarkan setelah satu bulan wabah berkeliaran dan telah mencabut ratusan nyawa manusia, begitupun pembatasan transportasi yang baru dikeluarkan hampir setelah dua bulan wabah merenggut nyawa manusia. Walau, sebenarnya juga tidak ada salahnya hanya mengeluarkan PP, apalagi sudah diamanatkan oleh UU, persoalan diterima atau tidak, masih ada tahap pertimbangan, yang penting pemerintah harus memenuhi kewajiban hukumnya terlebih dahulu, karena karantina tetap harus diusulkan dan diputuskan oleh pemerintah pusat melalui menteri, tidak serta merta langsung bisa diterapkan, dan misalnya pemerintah keberatan dengan pengusulan lockdown, dapat diatur pula skema pertimbangan memutuskan PSBB ataupun kombinasi keduanya juga berbagai opsi. Sehingga, ketika kondisi memburuk, pemerintah harus bersusah payah menyusun berbagai aturan. Praktis, waktu kita banyak dihabiskan untuk mengurusi soal birokrasi dan hukum ketimbang berperang melawan wabah.

Jika dicermati ketentuan PP PSBB, sesuai amanat UU mengatur PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Secara mendasar, upaya demikian telah dilakukan hampir diseluruh wilayah, walau tanpa PP sekalipun. Sehingga, kehadiran PP PSBB terkesan lambat dan hanya berfungsi  sebagai simbol kepastian hukum. Namun demikian, dengan adanya PP PSBB, dapat dilihat sebagai upaya memperkuat kebijakan serta mendorong tanggung jawab pemda dalam pembiayaan untuk pemerataan dan ketepatan pemenuhan hak masyarakat yang terdampak langsung. Maka dari itu, seluruh pemda perlu menindaklanjuti status pembatasan sosial yang telah dilakukan, serta dapat meningkatkan upaya pencegahan melalui pembatasan lebih lanjut dan kebijaksanaan penerapan sanksi.

*Penulis adalah Dosen FH Unram dan Direktur LPW NTB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp