Relevansi Sifat Melawaan Hukum dalam Kasus Korban Pembegalan
Mataram. Kasus yang menimpa AS beberapa waktu lalu telah menggegerkan masyarakat di NTB khususnya pulau Lombok telah memancing opini dari berbagai elemen masyarakat. Ada yang pro dan kontra dalam penetapan tersangka terhadap korban pembegalan tersebut. Menurut praktisi hukum yang juga Direktur LPW Mataram, Taufan, SH., MH., dalam peristiwa pembegalan tersebut yang mengakibatkan dua orang tewas perlu diuji unsurnya apakah memenuhi unsur sifat melawan hukum; formil dan materiil.
Dalam laman facebooknya, Minggu (17/4) Taufan menjelaskan secara detail tentang sifat hukum, formil dan materiil. Sederhananya, sifat melawan hukum formil itu adalah perbuatan yang dicela UU/pelanggaran pidana dalam aturan tertulis atau wetsdelicten. Apakah pembunuhan bertentangan dengan UU? di KUHP jelas adalah sebuah delik, namun betul sifat sanksi pidananya akan hilang jika masuk kategori daya paksa, pembelaan terpaksa. Kategori lainnya, kemampuan bertanggungjawab, perintah UU, perintah jabatan, perintah jabatan tidak sah. Untuk itu, alasan tidak memenuhi sifat melawan hukum formil dalam kasus itu, tidak tepat. Jelas terdapat ketentuan dalam KUHP, dan alur menguji serta memutuskan adanya alasan penghapus pidana adalah kewenangan hakim di pengadilan.
Sedangkan sifat melawan hukum materil, yaitu perbuatan yang dicela masyarakat/bertentangan dengan pandangan masyarakat, atau rechtdelicten. Pertanyaannya, bagaimana pembunuhan dengan pembelaan terpaksa menurut pandangan masyarakat? Bagaimana pandangan agama? Atau hukum adat?
“Saya pun yakin, pembunuhan oleh semua agama adalah dosa, namun dengan pembelaan terpaksa tentu juga ada pengecualiaan. Namun, bagaimana membuktikannya? Apakah sederhana hanya dari pengakuan dan penelusuran tanpa di sidang?,” tegas Taufan.
“Bahkan, pada kasus itu, untuk sampai pada jawaban dan kesimpulan terkait sifat melawan hukum materil itu pun, harus disampaikan di persidangan untuk diuji, karena hakim yang memiliki ruang rechtvinding (penemuan hukum),” lanjutnya.
Terkait penggunaan unsur sifat melawan hukum. Bahwa, dalam praktik penyidikan, Polisi mengurai perbuatan/fakta sesuai bunyi pasal. Sehingga ditentukan terpenuhi atau tidak. Dalam argumentasi SP3 kasus AS, dikatakan tidak terpenuhi unsur sifat melawan hukum formil dan materil. Hal itu menjadi aneh, karena menyeret unsur yang tidak tercantum dalam ketentuan pasal, yang harusnya fokus ditahap penyelidikan dan penyidikan.
“Pasal 338 tidak terdapat unsur sifat melawan hukum. Sehingga sebenarnya tidak wajib dibuktikan dalam rangka pemenuhan unsur pasal. Namun, bisa kita maklumi, karena secara teoritis ada pandangan yang menyatakan sifat melawan hukum harus dianggap diam-diam ada di dalam delik,” lanjutnya.
Jika tercantum jelas dalam pasal maka harus dibuktikan, jika tidak dicantumkan, maka tidak perlu dibuktikan. Uniknya, dalam kasus AS ini malah menyeret unsur sifat melawan hukum yang tidak tercantum dalam pasal. Harusnya fokus saja ke unsur Pasal 338, di unsur mana yang tidak terpenuhi. Sehingga, jika menggunakan argumentasi sifat melawan hukum yang nyata-nyata tidak ada dalam pasal, itu bisa saja menjadi argumentasi di pengadilan. (*)