Refleksi Petani Jagung: Sebuah Catatan Lapangan Mengupayakan Konservasi Lingkungan
Oleh: Musafir, S.P.
So Kabai, lebih kurang 1,5 km dari arah timur perkampungan desa Doridungga, adalah salah satu lahan tetap tempat keluarga kami bertani jagung hibrida. Hampir tiap hari saya berkunjung dan menggarap ladang disana. Lahan dengan topografi tanah yang cukup miring dan disanggah langsung oleh tepian tebing yang menjulang tinggi, menghendaki keluarga kami tetap mengadu nasib untuk melangsungkan kebutuhan hidup.
Ladang kami memang bersinggungan langsung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS), membentang miring dan terhampa oleh tebing-tebing tinggi. Sekitar 250 meter arah selatan dengan topogravi bisa dikatakan dataran terendah dari wilayah Perkampungan, merupakan titik Asmosif (penarikan distribusi) sumber mata air kehidupan bagi masyarakat desa Doridungga.
Berkebun dan berladang adalah kehidupan kami, membawa kami pada dinamika memanfaatkan potensi sumber daya alam yang tersedia. Entah dengan menjaganya tetap bermanfaat dengan cara meningkatkan kesadaran dalam melestarikan, atau bahkan sebaliknya memanfaatkan tanpa ada perlakuan pengontrolan. Namun yang jelas saya lebih memilih untuk konservasi.
Konservasi. Sebuah langkah konkrit yang diterapkan untuk melestarikan potensi sumber daya, terutama aliran sungai dan sumber mata air masyarakat desa Doridungga. Dihimpit oleh tebing yang saling berseberangan, mengalir jernihnya air. Mata air yang sudah lama tersedia itu, terus mengalirr sampai pada muara teluk Bima yang membentang kekar. Entah, jenis mata air tersebut termasuk air gravitasi, kapiler, semi kapiler, atau bahkan titik layu permanen, yang jelas belum ada langkah observasi dan penelitian yang dilakukan oleh pihak manapun.
Maka, penting rasanya mengedukasi proses pelestarian sumber mata air. Jika dillirik visualnya atau bahkan diamati secara langsung oleh petani-petani disekitar ladang, kegiatan yang kerap saya lakoni dianggap gila dan tidak masuk di akal mereka. Bahkan orang tua (ibu) sendiri merasa heran dengan progres yang saya lakukan. Awalnya membersihkan area disekitar bibir tebing dari pohon-pohon jati dan tanaman yang non produktif lainya untuk meminimalisir serangan hama monyet pada tanaman budidaya (jagung), kemudian diganti dengan pohon beringin.
Semua hal yang saya lakukan tidak terlepas dari pengetahuan selama menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Mataram beberapa tahun silam. Ya, seputar mata kuliah agroklimatologi, pengelolaan lahan pertanian, hidrologi, ilmu tanah, kesuburan tanah, keragaman sumber daya hayati. Pada umumnya substansi menekan tentang pentingnya Keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem kehidupan. Disiplin ilmu perlu kita wariskan dengan menerapkannya.
Saya pun sadar dalam menempuh aktifitas ini. Beringin menjadi jenis tanaman utama sebagai langkah awal dalam proses semi konservasi ini.
“Kenapa harus beringin dipilih untuk ditanam, masih banyak pohon lain seperti jati, mahoni dan jenis pohon keras lainnya?”, tanya salah satu petani dekat ladang. Bagi saya, beringin cocok untuk tanaman konservasi di area siklus hidrologi. Akarnya yang kuat, lebat, panjang dan tahan lama tentunya mampu menopang dan menyanggah tekstur tanah dari longsor dan run off. Serta kelebihan utamanya adalah mampu mendistribusikan mata air walaupun dengan skala kecil (perlahan).
Kendati demikian, melihat aktifitas petani yang berladang disekitar so tolo temba dan kabai, area pepohonan dan tanaman seputar daerah aliran sungai (DAS) dan daerah tangkapan air hujan (DTH) sepanjang tepi tebing sungai sumber mata air kehidupan hampir habis ditebang dan dibersihkan.
Alasan dilakukan penebangan guna untuk meminimalisir dan mencegah tempat yang dapat menarik perhatian, mengundang hama monyet yang menyerang tanaman budidaya (Revugia). Hal demikian kerap saya praktekan sepanjang tepi ladang yang bersinggungan langsung dengan area yang tidak produktif (hutan sungai).
Semua praktek penebangan yang kami lakukan adalah representatif cara pikir jangka pendek, yaitu hasil ladang melimpah dan terhindar dari serangan hama. Namun, di sisi lain, ada keresahan dan tuntutan terhadap aktifitas yang kami lakukan
Ilmu di kampus, mengajarkan etika lingkungan. Selepas sarjana dan kembali ke kampung halaman, ujung-ujungnya cara pikir ilmu “jauh panggang dari api”. Kerapkali praktek-praktek menyumbang pada kerusakan lingkungan, menambah polusi udara dan bahkan turut menyumbang pemanasan global (global warming) . Padahal edukasi telah tertata dalam pikiran.
Pada langkah semi konservasi yang saya lakukan dalam menyelipkan kegiatan menggarap beberapa hari lalu. Puluhan bibit beringin yang dirunduk dan hasil stek batang dari pohon induk, mulai saya tanam sepanjang area tepi tebing perkebunan. Saya melihat area tersebut masuk dalam radius penting dalam mendukung siklus hidrologi dan distribusi mata air dari titik penarikan (Asmosif) sumber mata air kehidupan masyarakat Doridungga.
Proses penanam bibit beringin dilakukan dengan metode jajar legowo yang berjarak 1,5 sampai 4 meter dari tepi tebing dan secara acak ditanam di area yang kritis run off serta longsor. Umumnya jarak tanam antar pohon sekitar 1,5 sampai 3 meter. Aktifitas ini adalah langkah awal memperkenalkan pada petani sekitar untuk menjaga dan melestarikan sumber daya sekitar daerah distribusi sumber mata air.
Ke depan, berharap aktifitas konservasi diteruskan oleh masyarakat (petani) terutama disekitar area sungai dan titik sumber mata air. Di samping menjaga keberlanjutan mata air, aktifitas semacam ini juga mampu menjaga keberadaan keragaman sumber daya alam. Karena hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana sumber daya alam ini masih tetap terjaga dan terus bermanfaat bagi generasi ke depan.
*Penulis adalah petani muda NTB
Editor : Tim LPW NTB