RAD PE: Tugas Besar Pemprov NTB Untuk Atasi Ekstremisme Yang Belum Usai
Oleh: Zaky Akbar, SH – Tim Hukum LPW NTB
Hadirnya negara dalam menjamin Hak Asasi Manusia sudah termaktub secara tegas di dalam konstitusi. Termasuk mengatur hak rakyat perihal Rasa Aman dalam berkehidupan dan aspek lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya, rakyat harus dilindungi dan dijaga untuk mewujudkan rasa aman, termasuk terhadap Ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada Terorisme.
Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme. Ekstremisme ini ada hampir di seluruh daerah di Indonesia, termasuk Provinsi NTB. Semua kalangan mulai anak-anak, muda, dan tua bisa saja terpapar paham ekstremisme ini. Artinya, jika dibiarkan begitu saja maka dapat menciptakan kondisi rawan yang mengerncam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional;
Ekstremisme tidak serta merta lahir begitu saja. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi muncul Ekstremisme tersebut, seperti ruang digital yang bebas saat ini, rendahnya literasi religius, adanya kesenjangan sosial, keterasingan, teraniaya dan masih banyak faktor lainnya. Sehingga apabila faktor pemicu belum terselesaikan akan berdampak pada muncul pemikiran ekstremisme yang sangat berpotensi menjadi aksi teror.
Pemerintahan Indonesia memang sudah mengeluarkan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan peraturan dibawahnya sebagai respon terhadap ekstremisme. Namun, hingga saat ini belum begitu efektif dalam hal pencegahannya. Dalam hal ini hukum lebih kepada penindakan daripada pencegahan teror itu sendiri. Artinya, harus ada atau terjadinya pelanggaran/kejahatan terlebih dahulu baru dilakukan suatu tindakan. Seharusnya, konsep hukum pencegahan lebih dioptimalkan untuk memotong berkembang biaknya paham ektremisme.
RAN PE & RAD PE : Upaya Pemprov NTB untuk atasi Paham Ekstremisme
Pasal 1 Ayat (4) Perpres 7/2021 menyebutkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang selanjutnya disebut RAN PE adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Hadirnya Perpres 7/2021 yang mengatur RAN PE tentu menjadi harapan cegah Ekstremisme Terorisme di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah pusat, Daerah, Kementrian dan Masyarakat sipil diharapkan dapat berkolaborasi untuk mencegah dan mendeteksi sedini mungkin upaya ekstremisme. Di sisi lain, RAN PE bisa saja menjadi tidak optimal jika di tingkat daerah belum membuat Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme (RAD PE). Hal ini terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, khususnya Provinsi NTB.
Hingga saat ini RAD PE belum dibentuk oleh pemerintah Provinsi NTB. Hal ini berdampak pada lemahnya upaya pencegahan karena Rencana strategis yang belum ada. Harusnya, RAD PE menjadi perhatian khusus semua pihak terlebih Pemprov NTB guna menyelaraskan diri dengan RAN PE.
Pemprov NTB yang lengah akan pembentukan RAD PE mendapat respon dari berbagai komunitas masyarakat. Pada Rabu, 24 Agustus 2022, La Rimpu bersama komunitas masyarakat lainnya dan para peneliti yang fokus pada ekstremisme termasuk LPW NTB di dalamnya, telah secara resmi mengadakan Sosialisasi Perpres No 7/2021 tentang RAN PE, membahas isu krusial ekstremisme di NTB, dan menyusun Draf RAD PE. Langkah ini sebagai respon sipil bahwa penting untuk mengatasi ekstremisme di NTB. Mengingat paham ekstremisme inilah yang akan menjadi cikal bakal aksi teror.
RAD PE di NTB menjadi alternatif solusi dan rencana besar Pemerintah daerah dan masyarakat untuk berkolaborasi mencegah dan menanggulangi ekstremisme. Mulai dari pemetaan indeks kerawanan tiap daerah dan indeks kesadaran masyarakat hingga upaya deteksi dini paham ekstremisme. Hal ini menjadi penting karena tingkat ekstremisme yang terus meningkat baik secara langsung maupun secara digital dengan berbagai modus.
Dengan adanya RAD PE di Provinsi NTB, semua lembaga Pemerintahan, Komunitas/organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara luas dapat memberikan perhatian terhadap isu Ekstremisme. Masalah pemicu munculnya paham Ekstremisme seperti kesenjangan sosial ekonomi harapannya dapat dipercepat penyelesaiannya, Paham agama yang ekstrem dapat dikontrol, cegah & deteksi kemunculannya, dan masalah lainnya. Harapannya, RAD PE di Provinsi NTB dapat terbentuk pada tahun 2022 ini oleh Pemerintah Provinsi NTB.
LITERASI DIGITAL : Alternatif Strategi Pencegahan Ekstremisme
Sebagai Lembaga yang fokus pada pengembangan Literasi, LPW NTB memberikan padangan urgensi penguatan Literasi Digital untuk counter paham Ekstremisme di Sosial Media & Internet. Mengingat Sosial Media sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum muda. Hal ini menjadi sangat penting karena Sosial Media menjadi wadah bebas untuk menyebarkan konten paham Ekstremisme.
Ekstremisme & Terorisme ialah paham yang menjangkau belahan dunia atau transnasional. Kelompok teroris-radikal memanfaatkan media sosial internet menjadi media efektif dalam peningkatan propaganda, pembangunan jaringan, dan sarana rekrutmen baru. Catatan BNPT, Per 12 Maret 2021, terdapat 321 grup maupun kanal media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda Ekstremisme, radikal, terorisme di mana 145 grup atau kanal di antaranya berasal dari platform Telegram. Sampai tahun 2020 pengguna aktif media sosial di dunia mencapai angka 3,5 milyar orang, sementara di Indonesia mencapai 132 juta orang.
Terlebih di era digitalisasi, pengguna sosial media atau internet pada umumnya dapat dengan mudah mengakses konten paham ekstremisme. Hal ini tentu bisa berdampak negatif yakni terpaparnya paham ekstremisme pada pengguna sosial media yang minim literasi digital & religius. Misal, pembelajaran tentang agama yang melalui video yang ada di Internet dan sosial media yang belum tentu pihak yang menyampaikan adalah orang yang paham.
Dulu, ketika ingin memperoleh ilmu agama kita pergi ke pondok pesantren dan majelis/tempat mengaji yang ahli agamanya sudah jelas sanad dan pernah mondok. Inilah realitas buruk ketika belajar dan memahami sumber-sumber agama dari internet digital. Mereka tak lagi belajar agama melalui media cetak, seperti buku, majalah dan jurnal, serta pengajian-pengajian dari ustaz atau mubaligh. Sebaliknya, mereka mayoritas lebih tertarik belajar agama secara instan melalui kanal media.
Penguatan Literasi Digital menjadi penting untuk Kontra Ekstremisme. Literasi digital adalah memahami informasi dari berbagai sumber yang diakses melalui media komputer. Pentingnya literasi digital agar pikiran jernih, rasional, serta dapat memahami inti atau maksud dari setiap informasi dari dunia digital. Sehingga tidak mudah dipengaruhi informasi yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan pastinya menyesatkan. Pada titik ini, memperkuat literasi digital adalah bagian dari upaya penguatan kontra narasi radikal terorisme.
Disisi lain, perlu dilakukan upaya pengawasan oleh pemerintah terhadap akun & konten di media sosial & internet yang terindikasi atau terpapar paham ekstremisme. Memperbanyak konten narasi perdamaian dan kebangsaan juga menjadi penting untuk mempersempit ruang narasi negatif di sosial media. Dengan begitu, kita memang perlu menguasai ruang digital, semaksimal mungkin memanfaatkan platform digital. Kontra narasi dan propaganda semacam ini jauh lebih efektif apalagi jika diviralkan ke seluruh kanal jejaring sosial media.