Polisi dan Mafia Pupuk Subsidi di NTB
Oleh: Satria Tesa, S.H – Madisa Institute
Tiga tahun lalu Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda NTB, Komisaris Besar (Kombes) Polisi I Gusti Putu Gede Ekawana “sesumbar” Komitmen Polisi untuk mengungkap Penyelewengan (Mafia) Pupuk Subsidi di NTB. Pejabat Utama Polda NTB itu menggunakan ruang publik untuk menyatakan keseriusan, menyelesaikan masalah yang dihadapi Petani. Polda NTB mengklaim sudah mendengarkan informasi awal praktik penyelewengan Pupuk, khususnya di Kabupaten Bima. Informasi awal tersebut berupa penolakan masyarakat atas jual-beli Pupuk Subsidi yang tidak sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET dan jual beli Pupuk Subsisi yang dipaketkan dengan Pupun non-Subsisidi. Polda NTB juga mendengarkan informasi kelangkaan Pupuk Subsidi.
Demi menjalankan komitmennya, Polisi telah memeriksa sejumlah pihak seperti: oknum Pengecer, Distributor, Produsen, Petani, dan KP3. Polisi juga memeriksa Pejabat Pemkab Bima dan Pejabat Pemprov NTB yang mengurus pertanian. Diantara pihak tersebut, ada yang telah diperiksa Polisi sampai dua kali yakni Distributor CV. Rahmawati.
Polisi setidaknya menggunakan waktu selama satu Tahun, hanya untuk memeriksa atau mengklarifikasi sejumlah pihak itu. Akhirnya pada 3 Febuari 2022 dilansir dari Lombok Post, Kasubdit I Ditreskrimsus bicara pada publik, bahwa pemeriksaan data dan pemeriksaan saksi telah dirangkumkan. Penyelesaian pemeriksaan dilakukan setelah Penyidik Ditreskrimsus memeriksa 22 orang saksi, yang terdiri dari Kelompok Tani, Distributor, Produsen, Saksi Ahli dan instansi Pemerintah.
Polisi mengklaim bahwa “gelar perkara” akan segera dimulai. Disebutkan juga bahwa berdasarkan hasil Penyelidikan unsur tindak pidana sudah ditemukan. Polisi kemudian mengkonfirmasi bahwa benar adanya pupuk subsidi yang HET Rp. 112.5 Ribu per zak (50 kg) dijual seharga Rp. 225-230 ribu per zak. Termasuk membenarkan bahwa penyelewengan pupuk telah terjadi sejak Empat tahun lalu dan menyulut gejolak sosial.
Penyelewengan Pupuk tersebut, bahkan telah mendapatkan atensi Kapolda NTB, Inspektur Jendral Djokopoerwanto. Atensi itu mencuat setelah terjadi beragam kisruh, bahkan kerusuhan sosial yang bersamaan dengan menguatnya tuntutan publik bahwa Polisi harus turun tangan mengungkap dan menindak mafia pupuk. Alhasil, Kapolda NTB telah memerintahkan 4 Pejabat Utama Polda untuk terjun ke Bima.
Namun, sejauh ini, perintah Kapolda nampak tidak bisa diterjemahkan dengan baik oleh Ditreskrimsus Polda NTB. Kita sebentar lagi memasuki September 2022. Sejak Febuari lalu, gelar perkara diumumkan, namun masih saja tidak ada kabar Penyidikan penyelewengan pupuk dimulai. Bagaimana mungkin proses Penyelidikan bergulir dalam waktu melampui 3 Tahun sejak munculnya komitmen Polisi.
Nalar Kepolisian
“Ikan Selalu Busuk Mulai Kepala” pepatah ini sempat dikutip Kapolri, Jendral Sigit L. Prabowo. Penulis khawatir fenomena ini yang memicu tersumbatnya proses Penyelidikan penyelewengan pupuk di Polda NTB. Bukan menjadi rahasia umum bahwa hukum potensial dikendalikan melalui tafsir monolistik yang menempatkan norma tunduk atas kepentingan kuasa politik dan ekonomi. Kita khawatir, di NTB ada “Konsorsium Pupuk Subsidi” yang menyokong dan melindungi aktivitas mafia Pupuk. Bila hal demikian terjadi, wajar dan pantas saja Polisi berkesan tidak mau menegakan hukum secara autentik. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Kepolisian, aturan Kedisiplinan dan Kode Etik Polri.
Imbasnya, hukum kehilangan kemampuan menata dirinya sendiri. Apalagi menata masyarakat yang digembosi mafia Pupuk. Penulis pikir, bahwa indikasi keterlibatan mafia dalam distribusi Pupuk, tidak perlu dijelaskan lagi. Bahwa jual beli Pupuk dengan harga melampui HET, ketiadaan nota pembayaran, penjualan Pupuk Paket, kelangkaan Pupuk di masyarakat dan berjamurnya Pengecer Illegal, mengindikasikan adanya penyelewengan oleh mafia. Praktik penyelewengan tersebut terjadi empat tahun lalu meminjam keterangan Kasubdit I Ditreskrimsus Polda NTB.
Faktanya, Polisi mengusut dugaan penyelewengan Pupuk ditengarai gejolak sosial yang terjadi pada masyarakat. Pada perspektif ini, penegakan hukum dilakukan bukan karena inisiatif Polisi menegakan hukum secara autentik. Dalam artian Polisi bergerak menjaga, melindungi, dan mengamankan Subsidi yang menggunakan APBN itu. Sementara penulis berpendapat bahwa dalam penyelewengan pupuk di Bima khususnya, umumnya NTB menguak banalitas kejahatan. Bahwa kejahatan terhadap anggaran negara dimata kita semua sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja dan seolah-olah bukan kejahatan.
Disinilah urgensi nalar dan nurani harus dijadikan pijakan Polisi menjalankan fungsi penegakan hukum. Tidak perlu muluk-muluk, mencermati Permendag No. 15 Tahun 2013 Pupuk Subsidi memang merupakan “barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyalurannya mendapatkan subsidi dari Pemerintah untuk Kelompok Tani.”
Tanggungjawab pengawasan dan kewenangan mengawasi tersebut menurut Permendag adalah: Produsen pupuk, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3), Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Direktur Jendral Standarisasi dan Perlindungan Konsumen atau Pejabat yang ditunjuk, Kepala Dinas Pemerintah Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Pertanian.
Berdasarkan ketentuan Permendag tersebut ditegaskan bahwa Produsen, Distributor dan Pengecer Pupuk dalam menyalurkan Pupuk wajib berdasarkan Prinsip 6 Tepat yakni: tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat dan tepat waktu. Ditreskrimsus Polda NTB pasti tahu bahwa bila prinsip tersebut dijalankan maka tidak ada yang namanya penyelewengan Pupuk Subsidi. Tidak ada harga yang menabrak HET, tidak ada penjualan paket, tidak ada kelangkaan Pupuk dan tidak ada Pengecer Illegal. Apalagi transaksi Pupuk tanpa nota pembayaran. Artinya jika ada penyelewengan Pupuk sebagaimana diuraikan diatas berarti ada pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum inilah yang diatur mafia.
Memulihkan Kepercayaan Publik
Hari-hari ini, Polisi sedang mengalami cobaan yang berat. Terkini, kepercayaan publik memasuki titik nadir pasca sejumlah peristiwa yang “menampar” kehormatan Polri. Peristiwa Duren Tiga oleh Komplotan Jendral Sambo cs, tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa, dan Penangkapan Kapolda Jatim karena kejahatan Narkoba adalah fenomena “gunung es” yang menyulut ketidakpercayaan publik pada Polisi. Padahal anggaran Polri pada tahun 2022 mencapai 108.88 triliun (Katadata.id). Data itu membeberkan bahwa dalam satu dekade terakhir anggaran Polri cenderung mengalami kenaikan. Terkini anggaran Polri bahkan lebih tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi dan TNI. Bayangkan saja dengan ratusan triliun tiap tahun, untuk membuat rakyat percaya Polisi saja, berat.
Ditreskrimsus NTB tidak perlu menunggu penyelewengan Pupuk kembali menyulut, protes rakyat. Protes rakyat kemudian menjadi asbabul nujul disintegrasi daerah. Ingat subsisidi itu menggunakan APBN. Segera naikan proses ke Penyidikan, tunggu apa lagi. Mustahil penyelewengan pupuk bukan tindak pidana. Menurut hemat saya, Distributor Pupuk Subsidi adalah dalang dari masalah akut penyelewengan pupuk. Menaikan proses hukum ke Penyidikan, menetapkan tersangka hingga melimpahkan berkas Perkara ke Kejati Mataram akan menyicil pemulihan kepercayaan publik pada Polisi. Melalui penegakan hukum yang berintegritas, kita bisa kembalikan kedamaian masyarakat yang “dijarah” mafia pupuk.
Editor: Mu’amar Adfal, S.H