Pohon Kebebasan dan Menggagalkan Siasat Jokowi
Oleh: Maula Sastaperkasa
Pada Selasa (20/08/2024) sidang pleno Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menetapkan ambang batas partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah dengan perolehan paling sedikit 6,5%-10% suara sah pemilih meski tidak punya kursi DPRD.
Sebelumnya, pada Rabu (29/05/2024) Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 menafsirkan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bahwa Calon Gubernur dan Wakil Gubernur berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota berusia palling rendah 25 (dua puluh lima) tahun adalah terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih bukan pada saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan jika titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Dengan keterangannya tersebut, MK mempertegas makna ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang mana UU ini merupakan landasan pijak dari Peraturan KPU a quo, sehingga penafsiran MA diatas tidak dapat diterapkan.
Namun, pada Rabu (21/8/2024) Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati revisi UU Pilkada untuk dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Revisi yang dilakukan dalam sehari tersebut berisi muatan yang menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.[1]
Bukan tanpa sebab Baleg DPR menyepakati revisi UU Pilkada. Ada dugaan muncul jika terdapat manuver istana agar Baleg DPR mengadakan rapat menyepakati revisi tersebut. Dugaan ini muncul sebab dalam Pilkada di beberapa daerah, Putusan MK diatas merugikan calon kepala daerah yang diusung Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus).[2] Selain itu, Putusan MK juga menyebabkan anak Jokowi, Kaesang, menjadi tidak dapat maju dalam kontestasi Pilkada di level gubernur dan wakil gubernur.[3]
Jokowi Menghancurkan Prinsip Trias Politika dan Demokrasi?
Trias Politika merupakan prinsip pembagian dan pemisahan kekuasaan yang berasal dari kedaulatan rakyat dibagi diantara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya, yaitu agar mencegah kekuasaan negara yang absolut dengan membuat masing-masing kekuasaan mengadakan mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan lainnya, sehingga negara didorong untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis.[4] Kedaulatan rakyat tersebut pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan UUD, sehingga berlaku juga prinsip summa potestas bahwa masing-masing pemegang kekuasaan negara tidak dapat keluar atau melanggar dari kehendak UUD merupakan kristalisasi kedaulatan rakyat.
Namun, melihat dinamika yang terjadi saat ini Jokowi selaku presiden terindikasi melakukan overlapping kekuasaan. DPR sebagai lembaga legislatif yang anggotanya berasal dari partai politik, dikontrol dengan cara menyandera anggota partai dengan kasus hukum.[5] Hal ini dapat kita lihat bagaimana Airlangga Hartarto yang terus diperikasa oleh Jaksa Agung dalam kasus korupsi minyak goreng, tetapi penetapannya sebagai tersangka tidak lakukan karena adanya indikasi tercapainya kesepakatan pokitik tertentu.[6] Penyanderaan dengan kasus hukum juga diduga menyasar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Hal tersebut terlihat pada tahun lalu, saat Cak Imin sempat dipanggil KPK sebagai saksi terkait kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja pada 2012. Saat itu, dia menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Anies Baswedan.[7]
Selain itu, indikasi cara yang dilakukan oleh Jokowi untuk menguasai DPR adalah dengan memecah belah internal partai politik melalui kewenangan Kemenkumham dalam menentukan kepengurusan partai.[8]
Tidak sampai disitu, Jokowi juga memanfaatkan besannya Anwar Usman hakim konstitusi di MK yang merupakan lembaga yudikatif. Ia juga membongkar pasang hakim konstitusi yang kontra dengan kebijakannya misalnya dengan mengganti Aswanto dengan M. Guntur Hamzah yang pelantikannya sarat akan kontroversi dan pelanggaran hukum.[9] Dengan membuat MK menjadi dapat dikontrol, Jokowi terindikasi berusaha agar kewenangan MK sebagai the Guardian of Constitution digeser untuk mendukung kepentingan pribadinya, sehingga penafsiran MK terhadap UUD dasar tidak lagi memposisikan UUD sebagai kehendak rakyat, tetapi memposisikan UUD sebagai kehendak Presiden Jokowi.
Di sisi lain, MK telah mengeluarkan putusan yang tidak menguntungkan Jokowi dan lingkarannya, tampak dari produk hukum yang dihasilkan MK dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Usaha MK untuk membuat produk hukum yang progresif ini dijegal oleh Jokowi dengan memanfaatkan koalisi partai KIM Plus di DPR, Baleg DPR merevisi UU Pilkada dengan menganulir Putusan MK tersebut.
Selain itu, revisi UU Pilkada merupakan campur tangan pemerintah untuk memaksakan pencalonan Ridwan Kamil oleh KIM Plus sebagai Gubernur Jakarta tanpa rintangan dengan menggagalkan pengusungan kandidat lain oleh partai politik. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak rakyat untuk memilih dan dipilih dalam penyelenggaraan pemerintahan.
MA juga dapat kita lihat tak dapat menghindari dari kontrol pemerintah. Indikasi ini muncul akibat dari Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang melakukan Judicial Review terhadap Peraturan KPU terkait syarat umur pencalonan kepala daerah yang ditentukan saat pelantikan dan bukan saat penetapan calon oleh KPU. Putusan ini menguntungkan buat anak Jokowi, Kaesang, agar dapat maju pada Pilkada level gubernur dan wakil gubernur.[10] Anomali dari putusan ini adalah hanya butuh tiga hari bagi MA memutus.[11] Selain itu, putusan ini menyimpang karena pada dasarnya semua jabatan politik dari mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD menentukan bahwa syarat usia minimalnya ditentukan saat pencalonan dan bukan saat pelantikan.[12]
Jokowi Melakukan Nepotisme?
Nepotisme merupakan salah satu bagian dari kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Pada hakikatnya nepotisme menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah mendahulukan dan membuka peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi-posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain.
Nepotisme ini merupakan salah satu penyebab runtuhnya Pemerintahan Orde Baru ketika Soeharto menempatkan anak dan koleganya pada proyek strategis dan pengelolaan uang negara melalui yayasan yang didirikan keluarganya. Dalam Tap MPR No XI/MPR/1998 disebutkan:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan dengan tegas terhadap siapa pun juga baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.”
Nepotisme yang dilakukan zaman Soeharto tidak jauh berbeda dengan apa yang mungkin dilakukan oleh Jokowi. Melalui perangkat peraturan seperti Instruksi Presiden atau Ketetapan Presiden, Soeharto mampu membuat kontrol pengelolaan kekayaan negara dibawah antek keluarganya atau orang-orang terdekatnya. Begitu juga dengan Jokowi, dugaan mengintervensi MK (contohnya saat pencalonan Gibran sebagai Wapres) dan MA (contohnya saat judicial review Peraturan KPU terkait penetapan usia calon kepala daerah saat pelantikan) serta dengan dugaan mengontrol DPR (contohnya saat Baleg DPR menyepakati revisi UU Pilkada), maka Jokowi secara tidak langsung dapat dicurigai membuat produk hukum demi kepentingannya sama seperti yang dilakukan Soeharto.
Untuk itu, kita perlu untuk mencegah pola yang sama kembali lagi terjadi. Praktek Jokowi dalam dugaan melakukan nepotisme dengan anaknya sebagai Wakil Presiden dengan menghalalkan segala cara melalui perubahan UU terkait batas umur calon presiden oleh MK berpotensi mengembalikan praktek nepotisme seperti Orde Baru. Hal yang sama juga dilakukan agar Kaesang dapat menjabat sebagai gubernur atau wakil gubernur. Dengan usaha dari Putusan MA tentang penetapan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur saat pelantikan sampai revisi UU Pilkada oleh Baleg DPR tidak lain merupakan indikasi cara agar Ia dapat didapuk menjadi gubernur atau wakil gubernur.
Selain itu, menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang merupakan Wali Kota Medan dan saat ini mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Sumatra Utara juga termasuk bagian dari nepotisme yang mungkin dilakukan Jokowi. Ada dugaan bahwa Bobby Nasution menjadi calon kepala daerah tak lepas dari pengaruh Jokowi terhadap partai politik.
Apa yang Dapat Masyarakat Lakukan?
Thomas Jefferson (Presiden ketiga Amerika Serikat sekaligus salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat) pada 1787 pernah menulis surat kepada William Stephens Smith sebagai berikut:
“Tuhan melarang kita melewati 20 tahun tanpa pemberontakan semacam itu. Orang-orang tidak dapat selalu dan seluruhnya mendapat informasi yang baik. Suatu bagian atau kelompok yang dilabeli salah akan merasa tidak puas, sebanding dengan pentingnya fakta yang mereka salahpahami. Jika mereka tetap diam dalam kesalahpahaman tersebut, itu adalah kelesuan, pertanda awal dari kematian kebebasan publik. … Dan negara mana yang dapat mempertahankan kebebasannya jika penguasanya tidak diingatkan dari waktu ke waktu bahwa rakyat ini mempertahankan semangat perlawanan? Biarkan mereka mengambil senjata. Solusinya adalah memberi mereka fakta yang benar, memaafkan, dan menenangkan mereka. Apa artinya beberapa nyawa yang hilang dalam satu atau dua abad? Pohon kebebasan harus disegarkan dari waktu ke waktu dengan darah para patriot dan tiran. Itu adalah pupuk alaminya.”[13]
Surat ini mencerminkan keyakinan Jefferson tentang pentingnya kewaspadaan terus-menerus terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan pentingnya kesediaan rakyat untuk mempertahankan kebebasan mereka. Jadi, jika masyarakat diam atau tidak memperingatkan penguasa ketika terjadi kesewenang-wenangan, maka hal itu merupakan kelesuan, pertanda awal dari kematian kebebasan publik atau dengan kata lain, pohon kebebasan sedang layu dan akan tumbang.
Inti dari pernyataan ini adalah Jefferson percaya bahwa pemberontakan sesekali adalah wajar dan mungkin diperlukan untuk menjaga semangat kebebasan dalam suatu bangsa. Dia juga mencatat bahwa, alih-alih menekan pemberontakan, negara harus memahami dan memecahkan penyebab ketidakpuasan, serta memberikan pengampunan untuk memulihkan kedamaian.
Untuk itu ketika atau jika Jokowi melakukan penyimpangan kekuasaan, penting bagi masyarakat untuk sadar dan waspada akan penyalahgunaan kekuasaan itu yang mana kekuasaan yang dilaksanakan oleh presiden itu sendiri merupakan amanat dari rakyat yang terjelma dalam UUD. Masyarakat yang tidak terima dengan kebijakan yang diambil pemerintah dan menjalankan aksi seruan melantangkan hak mereka merupakan upaya masyarakat untuk terus menjaga semangat kebebasan dalam suatu bangsa. Apapun bentuk pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat ketika menyuarakan kebebasannya (bahkan jika masyarakat mengorbankan sang pemimpin tiran), maka pengorbanan tersebut akan bertransformasi menjadi pupuk yang menghidupkan pohon kebebasan.
[1] https://nasional.kompas.com/read/2024/08/21/19244561/dpr-setujui-ruu-pilkada-untuk-anulir-putusan-mk-hanya-pdi-p-yang-menolak
[2] https://nasional.tempo.co/read/1906531/putusan-mk-mengancam-peluang-kaesang-buka-ruang-bagi-anies-dan-pdip-di-pilkada
[3] Ibid.
[4] Muhammad Junaidi, Ilmu Negara Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum,Setara press, Malang, 2016, hlm 77.
[5] https://tirto.id/politik-sandera-ketika-hukum-jadi-alat-gebuk-demokrasi-ambruk-g2Eb
[6] https://metro.tempo.co/read/1904471/airlangga-hartarto-dan-dugaan-korupsi-minyak-goreng-kilas-balik-kasusnya
[7] https://tirto.id/politik-sandera-ketika-hukum-jadi-alat-gebuk-demokrasi-ambruk-g2Eb
[8] https://nasional.sindonews.com/berita/1074095/12/pemerintah-dituding-salahgunakan-kekuasaan-soal-konflik-golkar
[9] https://pshk.or.id/publikasi/guntur-hamzah-harus-mengundurkan-diri-demi-citra-baik-mahkamah-konstitusi/
[10] https://nasional.kompas.com/read/2024/06/03/07000071/putusan-ma-diduga-bagian-manuver-politik-demi-bantu-kaesang-pada-pilkada
[11] Ibid.
[12] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, hlm. 28.
[13] https://founders.archives.gov/documents/Jefferson/01-12-02-0348