Pilkades Serentak Ricuh: Antara Polisi, Keamanan dan Kekerasan
Oleh: Anandi Rezki – Anggota Koalisi Melawan Kekerasan, Pelanggaran HAM dan Reformasi Polri (KOMPAK), Mantan Ketum Himpunan Mahasiswa Donggo Mataram (HMDM)
Demokrasi lahir dari keadaan darurat, kenyataan yang tak terbantahkan. Sejarah menghamparkan, demokrasi selalu lahir dari kekuatan masyarakat (people power), revolusi ataupun reformasi. Demokrasi lahir atas kehendak rakyat untuk memastikan bahwa, kesejahteraan, keadilan, dan kepastian hukum itu egaliter.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) memutuskan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) bagi 57 dari 191 Desa di daerah setempat akan digelar 6 Juli tahun 2022.
Muardin Itu Manusia
Kematian Muardin yang terjadi di Desa Rite Kecamatan Ambalawi menjadi tragedi pahit. Tanggal 7 Juli tahun 2022 terjadi kericuhan pada saat penghitungan suara. Muardin diduga ditembak oleh pihak pengamanan Polres Bima Kota. Selanjutnya Muardin menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Kota Bima pada tanggal 9 Juli Tahun 2022.
Misteri kematian Muardin menjadi ancaman kekerasan bagi setiap orang, dimanapun. Kekerasan ditempuh, nyawa tak berarti, dibungkam, merayakan darah, demi mencapai prestasi keamanan. Hati nurani, telah terkubur.
Untuk memperjuangkan keadilan, memerlukan energi ganda untuk melawan, mengajak publik untuk memahami ketidakadilan sebagai akibat dari ketimpangan kekuasaan dan meyakinkan publik bahwa sumber ketidakadilan bermukim pada Institusi Kepolisian.
Obstruction Of Justice
Kematian Muardin di Desa Rite, Kecamatan Ambalawi menjadi lokasi absennya perlindungan dari kekerasan, setiap orang ke depannya rentan menjadi sasaran kekerasan oleh tubuh negara. Pilkades serentak di Desa Rite, Kecamatan Ambalawi terdapat situasi pengabaian hukum, sehingga melahirkan kekosongan fungsi yang dijalankan aparat penegak hukum dan kekerasan menjadi keniscayaan.
Kematian Muardin menjadi objek kekerasan tanpa tameng perlindungan hukum dan tanpa konsekuensi apapun bagi pelaku kekerasan. Obstruction of justice dianggap sebagai tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra penegakan hukum.
Bagaimana tidak, mulai dari mengajukan laporan oleh pihak keluarga hingga dengan tahap-tahap BAP Saksi-saksi, autopsi jenazah, hingga kini belum ditemui titik terang siapa dalang di balik kematian Muardin.
Tidak hanya itu, diduga institusi penegak hukum pada kematian muardin mengancam dan membungkam saksi-saksi, pengaburan fakta hukum, dan tidak berani mengungkap siapa pelaku pembunuhan Muardin.
Itu semua, semacam melawan perintah Undang-undang, Bahkan pada kepala dan tubuh Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia keadilan itu di harapkan. Tapi nyatanya Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) mati, mati pikirannya, mati nuraninya dan mati pula kepercayaan publik.
Melembaganya Kekerasan
Saya meyakini bahwa penegakan hukum yang obstruction of justice berarti ada kebusukan yang disembunyikan. Karena kekerasan tidak selalu menjadi fakta yang diatasi hukum. Bisa dibayangkan kedepannya, kekerasan warna hukum dan dihadapkan dengan obstruction of justice. Hukum tidak dijalankan dengan semestinya, tindakan kekerasan melembaga oleh pihak kepolisian.
Keyakinan ini tentunya mengajak publik bahwa penegak hukum selalu punya kekuatan untuk melindungi diri dari setiap tindakan kejahatannya. Karena memang absennya fungsi penegakan hukum (law enforecement) setiap tindakan kejahatan yang dilakukan olehnya akan menjadikan masyarakat sebaga sasaran brutalitas dari aparat penegak hukum. Kemudian keyakinan ini menggambarkan simbol (semiotik) kekerasan dilahirkan dari rahim Institusi Kepolisian.
Kekerasan menjadi melembaga dan setiap tindakan kejahatan penegak hukum selalu menutup ruang acses to justice. Lalu dimanakah rakyat berharap keadilan itu kalau tubuh Polri tidak suci?
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Pasal 13 yang memuat tentang peran dan fungsi Polri yakni, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman kepada masyarakat.
Ditentukan pula secara teknis dalam Perkap Nomor 2 Tahun 2022 bahwa Kepolisian Negara Republik (Polri) adalah alat negara yang berperan dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Antonio Agamben menguraikan “ketika keadaan sosial telah mengalami abrnormalitas hukum atau ketika keadaan sosial telah menjadi absennya fungsi penegak hukum masyarakat secara keseluruhan, adalah sebagai bangunan penjara raksasa tempat kekerasan menjadi telanjang”.
Banyak orang yang belum dapat memberikan apresiasi yang cukup baik terhadap pekerjaan penegakan hukum jalanan. Keadaan tersebut menghambat usaha untuk mengenali hakikat kerja penegakan hukum dengan seksama dan pada gilirannya kurang membantu mencarikan jalan keluar tentang bagaimana masyarakat dapat mengurangi penggunaan kekerasan oleh mereka.
Ada ucapan “crime does not pay” (kejahatan tidak akan memberikan rasa untung). Tetapi bagaimana kejahatan absen dari penegakan dan apalagi dugaan pelaku kejahatan adalah penegak hukum itu sendiri. Sehingga penegak hukum tidak berani mengungkapkan siapa pelaku kejahatan dibalik kematian Muardin.
Persekongkolan Jahat
Penegak Hukum Indonesia tidak luput dari fenomena “Kekerasan, Pelanggaran HAM dan Brutalitas”.
Kematian Muardin menjadi bukti bahwa pada tubuh Kepolisian bicara soal acses to justice itu hanya mimpi bagi rakyat yang tanpa gelar atau status sosial. Itu menandakan asas kesamaan di mata hukum tak lagi menjadi jantung penegakan hukum.
Buktinya, penegakan hukum di Kabupaten Bima yang diduga menjadi pelaku pembunuhan Muardin dan sampai sekarang belum ditemukan siapa dalangnya. Kita tidak bisa memastikan kedepannya akan ada banyak korban yang dibunuh oleh penegak hukum. Maka dengan ini bahwa penegak hukum tidak boleh pincang, equality before the law dapat menampilkan wajahnya di negeri ini.
Di sisi lain, negara tidak dapat berjalan tanpa penegak hukum, karena tentu keamanan, ketentraman merupakan bagian penting dari kehidupan berenegara. Maka, kekerasan dan brutalitas yang bersemayam dalam tubuhnya, harus disingkirkan. Untuk kebaikan institusi Kepolisian, mewujudkan tujuan Negara.
Editor: Mu’amar Adfal, S.H