Pilkades Ricuh Bima: Pelanggaran HAM, Kegagalan dan Skenario
Oleh: Muhammad Jalaludin Akbar (Anggota KOMPAK, Kabid KPP KMD)
Pemilihan Kepala Desa Serentak (Pilkades) di Kabupaten Bima pada Rabu (6/7/22) terjadi kericuhan dibeberapa titik. Di Desa Rite Kecamatan Ambalawi, memakan korban ketika penghitung suara Kamis (7/7/22). Muardin meninggal dunia di rumah sakit pada Sabtu (9/7/22).
Polisi menyatakan bahwa Muardin terkena lemparan batu. Namun, dari penelusuran fakta tim PBH LPW NTB, kematian Muardin diindikasi terkena catrige (tabung) gas air mata yang ditembakan oleh anggota Kepolisian.
Anak kandung korban mengajukan laporan kepada polres Bima kota. Hasil autopsi jenazah korban menyatakan bahwa korban meninggal dunia karena terkena benda tumpul, namun sampai hari ini Polres Bima Kota belum mampu menentukan tersangka/pelaku yang menembak gas air mata sehingga timbulnya korban meninggal dunia.
Koalisi Melawan Kekerasan, Pelanggaran HAM dan Reformasi Kepolisian (KOMPAK) yang merupakan gabungan dari masyarakat sipil, telah dua kali melaksanakan aksi agar mempercepat proses hukum atas meninggal dunia Bapak Muardin di Kapolda NTB. Namun, belum ada respon dari Kapolda NTB atas kasus kematian muardin seakan-akan kasus ini tidak pernah terjadi sama sekali.
Pernyataan Bupati Bima membalikkan fakta, beliau mengatakan bahwasanya Pilkades Serentak di Kabupaten Bima itu aman dan tidak terjadi apa-apa, nyatanya di Desa Rite Kecamatan Ambalawi memakan korban saat pilkades serentak, di kecamatan Donggo terjadi pembakaran rumah dan masih banyak kecamatan lainnya di kabupaten Bima ricuh saat pilkades serentak. Bupati menutup mata dengan skenario kesuksesan, akhirnya tidak ada instropeksi, seolah merayakan kematian. Hati nuraninya terkubur.
Dari deretan gelagat Polisi dan Pemda, wajar saja, PBH LPW NTB mengkategorikan sebagai kasus Muardian sebagai pelanggaran HAM dan terdapat indikasi obstructiob of justice (skenario/upaya menghalang-halangi penegakan hukum)
Dalam tubuh sistem pemerintah daerah, Bupati bertanggung jawab atas seluruh penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sehinggam kericuhan pilkades yang terjadi di berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Bima bupati yang bertanggung jawab.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah mengatur tugas dan fungsi kepolisian sebagai pengamanan, pengayoman, dan melindungi masyarakat. Namun, aparat kepolisian justru cenderung menunjukan wajah kekuasaan dan brutalisme. Mengabaikan hak asasi manusia. Hal demikian, adalah tindakan meruntuhkan jiwa UUD 1945.
Lemahnya penegakan hukum yang ada di NTB akan menimbulkan banyak kasus-kasus tindak Kriminal, masyarakat tidak lagi membawa ke ranah hukum negara, namun akan menempuh jalannya untuk mencapai keadilan.
Ketika ini terus berlangsung, maka amanat Pasal 1 ayat 3, negara Indonesia adalah negara hukum, akan berubah menjadi negara kekuasaan, yang membawa nafas kejahatan di setiap gerakan tubuh pemda dan penegak hukum.
Berbagai peristiwa, akan menjadi catatan terburuk dalam institut Polri, sehingga Kapolri harus tegas atas kasus yang melibatkan anggota kepolisian.
Kepolisian perlu menata pikiran dan hati nurani untuk melaksanakan amanat UUD 1945. Sebagai instrumen, negara menggariskan Kepolisian agar menjunjung tinggi hak asasi manusia, bukan malah sebaliknya, bersekongkol, membuat skenario, merampas kebebasan dan hak manusia untuk hidup.
Editor: Mu’amar Adfal, S.H