Perkawinan anak 97 persen tidak tercatat, ancaman sosial dan pertumbuhan SDM
BERITA LPW NTB – Persoalan perkawinan usia anak, terus mendapat perhatian berbagai kalangan. Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan satu dari empat provinsi yang tertinggi mencatatkan perkawinan usia anak, khususnya wilayah pulau Lombok, perkawinan usia anak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perkawinan usia anak, memiliki dampak buruk bagi kesehatan anak, pendidikan, ekonomi, aspek sosial, juga akan memberikan dampak yang lebih buruk pada bidang lainnya.
Keresahan itu yang mendorong mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram), melalui organisasi kemahasiswaan Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (FORMASI) mengadakan kegiatan “Edukasi Masyarakat Bersama Formasi” dengan tajuk “Memahami dan Menyikapi Pernikahan Usia Anak Dalam Perspektif Hukum dan Sosial Masyarakat di Desa Rembitan Kec. Pujut Kab. Lombok Tengah, Minggu, (19/06/22).
“Desa Rembitan dipilih, karena menjadi salah satu desa yang memiliki angka perkawinan usia anak cukup tinggi”, ungkap Sisila, dalam pembukaan perwakilan Formasi.
Selain itu, menurut Taufan, selaku Dosen FH Unram, Desa Rembitan menjadi salah desa strategis untuk menggerakan upaya pencegahan, karena merupakan desa wisata, memiliki kearifan lokal sebagai desa adat, sehingga juga memiliki kompleksitas permasalahan dan peluang strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan perkawinan usia anak.
“Letaknya yang bersinggungan langsung dengan titik destinasi wisata unggulan dan super prioritas, yaitu Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, juga menjadi tantangan sekaligus peluang dalam menekan angka perkawinan usia anak”, ujar Taufan.
Dalam kegiatan tersebut FORMASI, mellibatkan beberapa pembicara dari perwakilan Kejaksaan Tinggi (Kejati NTB), Heru Sandika Triyana, S.H,selaku Kepala Seksi Oharda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi NTB, Joko Jumadi, S.H., M.H selaku dosen FH Unram dan aktivis perlindungan anak, serta Taufan, S.H., MH selaku dosen FH Unram, Direktur LPW NTB dan Ketua Peneliti Perkawinan Usia Anak di Lombok Tengah tahun 2021 kerjasama Gugah Nurani Indonesia dan Relawan Sahabat Anak.
Peserta kegiatan tersebut yaitu aktor kunci di desa, mulai dari unsur Pemerintah Desa Rembitan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, pemuda dan juga pegiat dan komunitas literasi.
Sekretaris Desa, Wire Bakti, mewakili Kepala Desa dalam pembukaan menyampaikan terima kasih atas inisiasi dari mahasiswa dan dosen untuk melakukan kegiatan, harapannya mampu berkolaborasi dalam menyelesaikan kompleksitas perkawinan usia anak.
“Desa Rembitan, sebagai masyarakat adat Sasak, memiliki adat istiadat dan budaya turun temurun yang menjadi tantangan untuk pencegahan perkawinan usia anak, sehingga dengan penyuluhan ini mampu memberikan edukasi dan rambu-rambu kepada masyarakat”, katanya singkat.
Mengawali dialog, Heru dari Kejati NTB menyampaikan “Perkawinan usia anak akan membahayakan bagi tumbuh kembangnya generasi ke depan. Baik bagi kesehatan, sosial, pendidikan, maupun ekonomi.
“Perkawinan usia anak sudah di atur sesuai UU Perkawinan, usia, kemudian syarat, untuk anak harus ada dispensasi jika akan melangsungkan perkawinan, hal ini harus menjadi syarat yang wajib dipenuhi, jika tidak maka akan ada sanksi sesuai aturan”, urainya.
Heru, juga menuturkan persoalan aktual, tantangan dan penyebab perkawinan usia anak. Katanya, HP menjadi salah satu tantangan dengan pemanfaatan yang kurang ideal.
Joko Jumadi, dalam kesempatan itu, menguraikan dampak dan aspek hukum perkawinan usia anak. Menurutnya, banyak dampak dari perkawinan usia anak yakni putus sekolah, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi, anak terlantar, tindak pidana lainnya juga rentan terjadi.
“Banyak kasus terjadi akibat dari perkawinan anak, dari putus sekolah, kemudian kesehatan, itu kemudian menurun lagi masalah pada anak-anak yang dilahirkan, banyak anak berhadapan dengan hukum adalah anak hasil perceraian dari perkawinan usia anak”, ungkapnya.
Joko Jumadi, mengingatkan bahwa telah ada Perda Pencegahan Perkawinan Usia Anak, dan sudah ada sanksu dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentan Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu dicantumkan pada Pasal 10, ancamannya sembilan tahun penjara, terkait pemaksaan perkawinan, termasuk perkawinan anak.
“Untuk itu, mari kita sama-sama mencegah agar tidak terjadinya perkawinan anak, sampaikan pada masyarakat, untuk menunda, karena akan banyak dampak”, tutupnya.
Taufan, menyambung berbagai uraian dari materi sebelumnya, memaparkan terkait kondisi sosiologis berdasarkan data BPS, KemenPPA, dan hasil penelitian perkawinan usia anak di wilayah Kab. Lombok Tengah pada tahun 2021. Penelitian yang didanai oleh Gugah Nurani Indonesia, menggandeng Relawan Sahabat Anak, dilakukan pada Desember 2020 sampai dengan Februari 2021. Penelitian yang dilakukan timnya yaitu pada 15 desa/9 kecamatan se-Kab. Lombok Tengah, dengan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian itu, telah dilakukan laporan dan pembahasan dengan metode FGD, mengundang seluruh stakeholder di Lombok Tengah pada tahun 2021.
Menurutnya, dalam melakukan upaya pencegahan maka harus memahami akar permasalahan yang terjadi, terkait penyebab, kondisi wilayah, masyarakat dan permasalahan anak itu sendiri.
Tujuannya agar dapat mendeteksi permasalahan dan menentukan formula kebijakan dan upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Dari hasil penelitian lapangan menunjukan, angka perkawinan usia anak jauh melampaui data yang ada, yang tercatat itu hanyalah bagian kecil.
“Hanya 2,39 persen yang tercatat, sisanya 97,61 persen tidak tercatat. Untuk pendidikan, paling besar adalah tamatan SMP 50 persen, SMA 38 persen, SD 10 persen dan sisanya tidak sekolah”, urai Taufan.
Terkait dengan alasan, menurut Taufan beragam, namun tidak bisa disimpulkan serta merta bahwa itu adalah penyebab utama, tapi perlu pendalaman, penelitian lebih lanjut dan analisis berbagai pendekatan, karena banyak faktor yang berkelindan, namun setidak-tidaknya bisa menjadi gambaran awal bahwa faktor dari anak itu sendiri, lingkungan, keluarga dan masyaarakt menjadi faktor-faktor yang melingkupi.
Dengan mencermati data, maka itu menjadi sebuah ancaman besar ke depan. Bagaimana tidak, angka yang kita ketahui tentu mempengaruhi cara kita menyelesaikan dan melakukan pencegahan. Ke depan, akan menjadi masalah besar pada pertumbuhan SDM, juga bidang lainnya, sosial maupun ekonomi.
“Perlu diingat, hasil pernikahan anak, akan memicu permasalahan sosial lain, pertumbuhan SDM, pendidikan sampai pada tingkat kejahatan”, urainya.
Data lainnya diungkap yaitu angka kehamilan anak justru jauh lebih besar, hal ini bisa dikaitkan dengan perkawinan usia anak yang tidak tercatat. Ia pun, mengingatkan bahwa tidak cukup melihat perkawinan anak hanya dari data statistik yang tercatat pada dispensasi perkawinan di pengadilan agama, karena kenyataannya banyak yang tidak tercatat, dan harus menggunakan data-data lain untuk menelusuri perkawinan anak.
Ia menguraikan, Pertama, data dari Pengadilan Agama pada Tahun 2018 ,2019, 2020 di 12 Kecamatan Se-Lombok Tengah berjumlah 186 orang/jiwa yang mengajukan dispensasi nikah. Kedua, Data Dari Kemenag wilayah Lombok Tengah pada tahun 2019 dan 2020 di 12 Kecamatan Se-Lombok Tengah berjumlah 1.626 yang mengajukan dispensasi nikah. Ketiga, data dari Dinas Kesehatan Lombok Tengah pada Tahun 2018, 2019, 2020 di 15 Pukesmas di 9 Kecamatan yang melakukan persalinan berjumlah 1.981 orang/jiwa, sementara jumlah keseluruhan di 28 Pukesmas dari 12 Kecamatan Se-Lombok Tengah berjumlah 4322 orang/jiwa yang melakukan Persalinan dibawah usia 19 tahun. Sedangkan jumlah data kehamilan pada tahun 2020 di usia di bawah 18 tahun dari 12 Kecamatan kabupaten Lombok tengah sejumlah 4.994 orang/jiwa. Keempat, Data Dinas sosial yang merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Anak (DTKS) pada tahun 2020 di 9 kecamatan di 15 desa di Lombok Tengah berdasarkan status perkawinan di bawah 18 tahun berjumlah 155 orang/jiwa, dan terdapat 331 orang/jiwa yang memiliki Kartu Identitas berupa Akta/buku Nikah dan Kartu Keluarga. Sementara dari semua total desa/lurah di 12 kecamatan se-Lombok Tengah pada tahun 2020 berjumlah 1.078 orang/jiwa dan terdapat 2.660 orang/jiwa yang memiliki Kartu Identitas berupa Akta/buku Nikah dan Kartu Keluarga.
Dari temuan penelitian, Taufan menyampaikan aspek hukum untuk merespon itu yaitu penyelesaian dan pencegahan. Keduanya dapat menggunakan instrumen hukum pidana, penyelesaian tidak harus berujung penjara, tapi terdapat banyak mekanisme yang telah disediakan. Namun, ia mengatakan lebih tepat untuk mengedepankan aspek pencegahan dengan berbasis pada permasalahan, penyebab dan strategi kebijakan.
“Dengan mengetahui angka yang tinggi, gambaran kondisi, penyebab dan lainnya, setidaknya ada kesiapan instrumen hukum dan kebijakan meresepon berbagai situasi ke depan”, tuturnya.
Dari hasil penelitian, ia menyampaikan beberapa poin yang harus diperhatikan, yaitu pertama merapikan data. Data perkawinan usia anak belum terintegrasi, bahkan pemerintah desa pun tidan memiliki data pasti, sehingga penting untuk integrasi data perkawinan usia anak dengan model pengelolaan kasus dan data satu pintu yang dikelola oleh satu unsur pemerintah daerah.
Kedua, kontrol sosial belum berjalan, karena salah satu faktornya adalah masyarakat tidak melihat perkawinan anak sebagai sesuatu yang sangat membahayakan untuk masa depan bangsa dan pencapaian kesejahteraan, sehingg perlu memperkuat peran masyarakat.
Ketiga, intervensi peran Pemerintah Desa dalam mendeteksi perkawinan usia anak.
Keempat, peran Pemda dan Pemdes untuk mendorong pencegahan, meliputi pembentukan aturan, program strategis dan menggunakan berbagai pendekatan.
Kelima, alasan perkawinan usia anak ataupun faktor yang mempengaruhinya sangat beragam, umumnya anak mengakui suka sama suka, hal ini memberikan indikasi berbagai faktor lain yang memicu, faktor lingkungan sosial, faktor pengasuhan dan pada puncaknya faktor budaya tidak mempersulit dilangsungkannya perkawinan.
Keenam, perlu penelusuran lebih lanjut untuk menentukan faktor utama dan kesalinghubungan antar faktor dalam memuluskan perkawinan usia anak.
Ketujuh, pendekatan pencegahan perkawinan usia anak perlu dilakukan secara persuasif, selama ini pendekatan cenderung represif dengan menempatkan stigma yang berlebihan terhadap perkawinan usia anak sehingga menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat yang mengkaitkan dengan hukum adat, dampaknya dalam penelitian pun sulit menelusuri data karena perangkat desa dan masyarakat sangat tertutup. Artinya, menghindari menakut-nakuti masyarakat dengan sanksi jika menelusuri data sebenarnya. Dengan adanya keterbukaan, maka akan lebih optimal dalam penyelesaian dan pencegahan.
Taufan mengharapkan basis kondisi sosial menjadi dasar upaya yang diambil, sehingga hasil penelitian dan rekomendasi dapat menjadi acuan bagi pemdes maupun masyarakat dalam mengoptimalkan gerakan pencegahan. Di samping itu, ia mendorong Pemda untuk mengevaluasi dan menata ulang berbagai kebijakan untuk mengintegrasikan dengan permasalahan yang ada, tidak terkesan berjalan sendiri, tetapi perlu sikronisasi semua kebijakan, karena satu permasalahan tidak bisa hanya dilihat satu dimensi kebijakan.
Pada akhir dialog, Taufan mengapresiasi kegiatan FORMASI, dengan harapan mampu direspon dan ditindak lanjuti oleh Pemda dan Pemdes, “Semoga, ke depan, desa-desa juga dapat berperan lebih, mengambil bagian, dan melakukan berbagai upaya pembentukan kebijakan dan pemberdayaan, misalnya membentuk Satgas sesuai amanat Perda maupun mengoptimalkan komunitas literasi dan pemuda, karena pencegahan perkawinan usia anak menjadi salah tanggungjawab dan kewajiban semua, terutama pemerintah daerah dan pemerintah desa”, tutupnya.
Laporan: Mu’amar Adfal, S.H