Penegakan Hukum Sebagai Upaya Menjaga Hutan
Hutan mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan agar tercipta kestabilan alam dan merupakan bagian kesetabilan hubungan manusia dengan alam agar memberikan kehidupan yang sehat bagi umat manusia, sebagai fungsi ekologis
Indonesia merupakan Negara yang mempunyai hutan yang luas hutan menurut data kementerian lingkuangan hidup dan kehutanan (KLHK) luasnya mencapai 125.922.474 hektare. Dengan laus hutan Indonesia tersebut sayangnya masih banyak terjadi penebangan liar, alih fungsi hutan menajdi pemukiman, kebakaran, perambakan. Akibat penebangan kayu yang secara besar-besaran dan secara illegal membuat hutan secara ekosistem terganggu.
Dari penelitian yang dilakukan Matthew Hansen dari University of Maryland dikutip dari Tempo.co, bahwa hutan utama Indonesia telah hilang sebanyak 6.020.000 hektare pertahun. Hutan di Indonesia sendiri merupakan lahan utama dalam keanekaragaman hayati yaitu mengandung 10 persen mamalia, dan 17 persen spesies burung di seluruh dunia. Dengan temua data tersebut sehingga Indonesia bertanggung jawab atas kesetabilitas dunia.
Faktor yang banyak terjadi di Indonesia yaitu permasalahan illegal loging. Yang semakin hari semakin meningkat, hal ini tidak terlepas pada penegakan hukum. Menurut penelitian yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi dan oraganisasi lingkungan hidup di Indonesia penegakan hukum terkendala dengan subsatansi hukum, struktur hukum, kultur hukum, dan sarana prasarana.
Penegakan hukum dibidang kehutanan, merupankan kejahatan yang dikriminilisasi, sebagai perbuatan pidana sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Secara substansi hukum lahirnya undang-undang sebagai terobosan dalam menjaga kelestarian hutan dari tindakan pelaku kejahatan dibidang kehutanan, kebijakan legislative tersebut memberikan perluasan perbuatan yang dapat dikriminalisisa baik objek maupun subjek pelaku kejahatan illegal loging itu sendiri.
Dengan adanya istrumen hukum tersebut penegak hukum harus lebih responsive dan progresif, dan juga harus melibatkan masyarakat karena seperti yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo (2011:7) hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya artinya hukum tidak dapat mewujudkan janji-janji serta kehendak yang ada dalam peraturan hukum, seperti mengenakan pidana terhadap pelaku illegal loging. Hal ini seimbang dengan semangat UU dengan asas dan tujuan penyelenggarakan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakayatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan hutan tercapai.
Keseimbangan antara substansi hukum dengan aparat penegakan hukum (stuktur hukum), dan peran masyarakat (kultur hukum), dibidang kehutanan akan memberikan perlindungan dan kelesatarian terhadap hutan di Indonesia, yang dikenal dengan paru-paru dunia. Kemudian saranan harus dibangun untuk mendukung 3 (tiga) elemen tersebut dengan membangun pos-pos penjaga yang lebih banyak disetiap hutan yang dilindungi.
Untuk menutup tulisan ini, penulis teringat kalimat yang disampaiakan Teverne “berikan saya penegak hukum yang baik, maka walaupun hukum kurang baik, akan dapat mewujudkan masyarakat yang tertib”. Dari ungkapan tersebut ada kesadaran hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai positif tentang hubungan manusia dengan alam baik aparat penegak hukum maupun masyarakat dalam menjaga hutan, sekalipun aturan tidak ada ataupun tidak sempurna, manusia harus mampu menyisihnya.
*Penulis adalah Advokat dan Pengacara Publik pada Bidang Advokasi dan Bantuan Hukum LPW NTB