Penahanan 10 Demonstran di Bima, Kegagalan Pemda dan Polisi

0Shares

Oleh: David Putra Alfatih – Pemuda Monta Selatan, Mahasiswa FH Unram

Polre Bima telah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap 10 demonstran di Kabupaten Bima. Aksi demonstrasi, yang berlangsung selama empat hari, menuntut perbaikan jalan yang ada di Kec. Monta, wilayah pesisir bagian selatan. Langkah polisi, merupakan bentuk kegagalan Pemda Kab. Bima dan Polisi menggunakan pendekatan hukum pidana yang berciri kausatif (pencegahan) dalam membaca peta permasalahan di wilayah Kabupaten Bima.

Pada dasarnya, masa aksi yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Monta selatan itu menuntut perbaikan infrastruktur jalan di wilayah mereka. Aksi dilakukan setelah pemberitahuan melalui surat, dan ada keterangan aksi akan berlangsung dalam waktu lama. Harusnya polisi membaca ancaman dan mendeteksi kemungkinan pecahnya konflik, tugas polisi adalah menggali, bukan serta merta menggunakan hukum pidana dengan primum remidium, sehingga hal itu harusnya disampaikan kepada pemerintah daerah, dan mendorong untuk minimal merespon serius pemicu aksi.

Persoalan pemblokiran jalan, apabila ditinjau dari hukum pidana, baiknya juga dipahami secara mendalam oleh polisi, karena pemblokiran jalan oleh demonstran adalah bagian dari distribusi keadilan yang dilakukan oleh Pemda Kab. Bima, sehingga itu adalah sarana menyampaikan pendapat, dan bagian dari rangkaian protes yang tidak direspon oleh Pemda Kab. Bima.

Berdasarkan delik yang digunakan oleh Polisi, maka juga tidak memiliki dasarnya untuk sampai pada dugaan kuat melakukan tindak pidana, karena penetapan tersangka dan penanahan dilakukan terhadap orang yang diduga kuat melakukan tindak pidana, bukan demonstran yang jelas-jelas memperjuangkan hak rakyat, tidak bijaksana rasanya jika diperlakukan selayaknya penjahat. Hal itu, memperkuat cara-cara pemerintah untuk mengatasi persoalan dengan kekuasaannya, karena gagalnya mereka mengirimkan pesan keadilan.

Artinya, penetapan tersangka yang di lakukan oleh pihak penegak hukum terhadap masa aksi yang di tangkap itu menciderai demokrasi dan salah sasaran. Pemblokiran jalan itu atas dasar kepentingan umum dimana infrastruktur jalan salah satu akses yang di lewati oleh masyarakat sehari hari untuk mencari nafkah dan meningkatkan perekonomian, tuntutan aksi masa itu bukan atas dasar kesengajaan melainkan atas dasar kepentingan banyak orang dan tidak menimbulkan bahaya bagi orang.

Bahkan dalam aksi mahasiswa tersebut tidak melakukan kerusakan atau menghancurkan dan merusak bangunan, masa aksi melakukan blokir jalan itu atas dasar kepentingan umum guna untuk di perbaiki jalan yang rusak agar bisa di lewati oleh masyarakat yang bukan hanya wilayah Monta selatan saja.

Lalu, kewenangan dari penyidik melakukan penyelidikan tindak pidana pemblokiran jalan tersebut apakah ada perbuatan pidana yang di hasilkan.? Ini yang mesti penegak hukum cermati, jangan sampai penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut mengundang instabilitas dan mosi tidak percaya terhadap penegakan hukum..

Disisi lain penegakan hukum melakukan pembubaran paksa terhadap masa aksi sekaligus melakukan tindakan represifitas tersebut apakah itu bisa di benarkan.? Sementara dalam kondisi pembubaran paksa tersebut masa aksi tidak sama sekali melakukan perlawanan dan tindakan yang mengakibatkan kericuhan bersama masyarakat maupun pihak kepolisian. Justru yang ada pihak kepolisian dalam aksi jilid 4 melakukan represifitas terhadap masa aksi.

Sementara juga, pihak kepolisian mesti memahami konsep HAM. Polisi yang melakukan tindakan melanggar HAM wajib mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik profesi kepolisian, disiplin dan hukum yang berlaku. Sanksi ini tertuang dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Perkap Nomor 14 ini juga mengatur tentang larangan melakukan kekerasan saat polisi bertugas. Dalam Pasal 13 Ayat 1 huruf e tertulis, “Setiap anggota Polri dilarang berperilaku kasar dan tidak patut.”

Sementara Pasal 15 huruf e berbunyi, “Setiap anggota Polri dilarang bersikap, berucap dan bertindak sewenang-wenang.” UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah mendasari tindakan polisi dengan mengatur secara ketat saat bertugas, yakni Pasal 14 huruf i dan Pasal 19.

Pasal 14 huruf i berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas pokok, Polri bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”

Dalam konferensi pers kepolisian mengatakan bahwasanya masa aksi sempat di peringatkan tapi tidak mau dan melakukan perlawanan itu tidaklah benar. Sementara Dalam Vidio yang beredar justru terjadi pembubaran paksa dan aksi represifitas.

Ini adalah salah satu anomali penegakan hukum kita. Kepentingan banyak orang yang menjadi prioritas masa aksi justru di tandai dengan tindakan pidana, sementara pihak kepolisian yang melakukan pembubaran paksa dan represifitas terhadap masa aksi tidak di persoalkan.

Penegakan hukum harus mampu berdikari, dan harus membebaskan masa aksi yang di tangkap tersebut, mereka bukan kriminal maupun bandar narkoba, mereka adalah mahasiswa yang terketuk nuraninya. Jika pihak kepolisian tidak memahami akan hal tersebut, maka Polda NTB harus berbesar hati untuk mencopot Kapolres kabupaten Bima, karena ada gagal mendeteksi dan mengelola permasalahan di Kabupaten Bima.

Editor: Mu’amar Adfal, S.H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp