Pemulihan Pariwisata Lombok Pasca “Rentetan” Gempa

0Shares

Oleh: Febrian Humaidi Sukmana, S.E., M.M

Jika kita membuka kembali catatan rangkaian gempa yang terjadi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, maka kita akan dapati fakta bahwa rangkaian gempa tersebut terjadi antara rentang waktu bulan Juli sampai dengan September. Merujuk pada data yang penulis kumpulkan dari situs resmi BMKG, gempa Lombok dengan kekuatan M ≥ 5.0 tidak kurang dari 37 kali terjadi, dimulai dari Minggu 29 Juli 2018 sampai dengan 11 September 2018. Adapun titik gempa menyebar dari Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, dan Barat Laut Sumbawa. Sebagai akibat dari bencana ini, kerugian ekonomi menurut keterangan BPBD Nusa Tenggara Barat ditaksir mencapai triliunan rupiah. Penghitungan tersebut didasarkan pada 5 sektor yang terkena dampak, yakni pemukiman, infrastruktur, ekonomi produtif, sosial budaya, dan lintas sektor. Namun perlu juga untuk diingat dan diberikan apresiasi, berbagai institusi/lembaga yang berwenang untuk melakukan kegiatan evakuasi dan penanganan bencana saat itu telah melaksankan tugas dengan baik. Tetapi yang perlu menjadi perhatian saat ini adalah tanggung jawab tersebut tidaklah selesai sampai disitu saja, tugas baru (rekonstruksi dan rehabilitasi) bagi institusi/lembaga harus diakselerasikan langkah demi langkah sehingga dapat diselesaikan sesuai dengan target yang telah ditetapkan atau bahkan lebih cepat.

Tanpa bermaksud mengenyampingkan masyarakat yang terdampak bencana, penulis akan memfokuskan pembahasan ini pada sektor pariwisata. Mengapa hal ini penting? Faktanya, dampak bencana tidak hanya dirasakan oleh masyarakat secara umum, namun industri pariwisata yang menjadi salah satu sektor unggulan di Nusa Tenggara Barat, khususnya pulau Lombok ibarat mendapat “pukulan keras” akibat rentetan bencana gempa yang terjadi. Industri pariwisata khususnya di pulau Lombok memiliki nilai strategis tersendiri karena sektor ini merupakan salah satu sektor utama yang menjadi tumpuan mata pencaharian masyarakat (khususnya Lombok Utara, Lombok Barat dan Lombok Tengah). Maka dari itu, sangat beralasan jika issue yang mencuat adalah khawatiran berbagai pihak terkait lesunya pariwisata Lombok yang akan berdampak langsung pada pendapatan masyarakat sehingga pada akhirnya menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah.

Terkait dengan dampak bencana pada sektor pariwisata, temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Bijan Khazai, Farnaz Mahdavian, dan Stephen Platt dalam sebuah artikel yang berjudul “Tourism Recovery Scorecard (TOURS) – Benchmarking and monitoring progress on disaster recovery in tourism destinations” (terbit bulan Maret 2018 di International Journal of Disaster Risk Reduction) menyimpulkan bahwa pengaruh negatif dari bencana alam tidak hanya sangat berpengaruh pada sektor pariwisata yang ada di Negara berkembang, Negara maju juga menghadapi masalah yang hampir serupa.

Memasuki awal tahun 2019 ini, pariwisata Lombok masih menghadapi masa-masa sulit karena dalam tahap rekonstruksi dan rehabilitasi/pemulihan secara menyeluruh, baik dari aspek sarana prasarana fisik, aspek ekonomi, bahkan aspek sumber daya manusia (mental masyarakatnya). Fakta ini bisa diverifikasi melalui data kunjungan wisatawan ke Lombok baik wisatawan domestik dan mancanegara yang turun drastis pasca bencana.

Banyak ahli bidang kepariwisataan menyatakan bahwa, tantangan yang sangat berat dalam mengelola pemulihan destinasi pariwisata pasca bencana adalah memulihkan citra dan reputasi destinasi yang dapat dipengaruhi oleh liputan media yang negatif atau tidak akurat. Laporan media sering kali memiliki dampak yang meluas terhadap suatu daerah tujuan wisata yang terkena dampak bencana, dan menimbulkan tantangan yang berat terhadap daya jual tujuan wisata tersebut. Mungkin alasan inilah yang menyebabkan Pemerintah Pusat tidak ingin menetapkan Bencana Gempa Lombok menjadi status Bencana Nasional. Karena kekhawatiran akan citra dan daya jual pariwisata Lombok akan tergangu secara signifikan, terlebih lagi Lombok merupakan salah satu Kawasan Ekonomi Khusus dengan sektor unggulan yaitu pariwisata.

Pada beberapa kasus, bencana dapat memiliki efek jangka panjang, perbaikan dan pemulihan bukan hanya dilihat dari sudut pandang kerusakan fisik atau upaya pembangunan kembali sarana prasarana dengan lebih baik, namun perhatian terhadap psikologi masyarakat lokal dan wisatawan yang terdampak (mengurangi atau menghilangkan trauma akibat bencana) dan membangun kembali kepercayaan pasar pariwisata merupakan hal yang sangat fundamental. Faktor inilah yang menyebabkan hambatan yang dihadapi untuk pemulihan bertambah besar dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Maka dari itu pemerintah (baik pusat dan daerah) dan para pelaku dalam industri pariwisata harus memiliki suatu rencana yang terukur dan aplikasi manajemen strategis yang baik untuk menangani perbaikan dan pemulihan pasca bencana. Mengkomunikasikan pesan-pesan positif yang mampu meningkatkan kembali kepercayaan dari pasar pariwisata (wisatawan domestik dan mencanegara) mutlak dilakukan. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan yang proaktif, perencanaan dan pelaksanaan yang terintegrasi akan sangat mendukung kemampuan sektor ini untuk pulih dari krisis dan bencana.

Selanjutnya, pertanyaan yang mungkin akan sering muncul pasca bencana (dalam konteks pariwisata Lombok) salah satunya adalah “bagaimana mendorong mereka (wisatawan) untuk kembali?” Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dipahami melalui uraian berikut.

Pada fase awal penanggulangan bencana, salah satu kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menarik untuk diamati adalah dikeluarkannya kebijakan untuk mengevakuasi seluruh wisatawan asing keluar dari Lombok. Kebijakan ini seharusnya tidak dilihat dari sudut pandang negatif. Kebijakan tersebut sebenarnya mencerminkan upaya responsif dan antisipatif dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjaga stabilitas industri pariwisata. Pemerintah tampaknya sangat menyadari bahwa penanggulangan dan pemberian layanan yang cepat dan tepat saat terjadinya bencana menjadi salah satu indikator penting yang mendapat perhatian serius dari konsumen industri pariwisata. Upaya responsif dan antisipatif tersebut akan memberikan kesan positif bagi wisatawan terkait persepsi dan kepercayaan mereka pada peran serta pemerintah untuk mendukung kenyamanan dan keselamatan wisatawan di daerah tujuan wisata. Tentu hal ini akan memberikan nilai tambah bagi sektor pariwisata di Indonesia pada umumnya. Persepsi positif dari wisatawan terkait faktor keamanan dan keyamanan yang mereka dapatkan memungkinkan mereka terhindar dari trauma berat yang menyebabkan mereka tidak perlu lagi khawatir untuk kembali mengunjungi daerah pariwisata pasca bencana.

Upaya lain yang juga dapat dilakukan pasca bencana untuk “mendorong mereka (wisatawan) kembali”, yaitu dengan memberi informasi terkini tentang keselamatan, kenyamanan dan status infrastruktur, atraksi, akomodasi, restoran/kuliner, dan fasilitas pendukung lainnya dan memastikan para wisatawan menyadari area yang tidak terpengaruh/terdampak sehingga mereka memiliki tujuan alternatif meskipun berada di satu daerah yang sama (misalnya pulau Lombok). Penting untuk diperhatikan, ketersediaan akses ke informasi yang obyektif dan dapat diandalkan juga sangat membantu dalam melawan efek negatif dari media yang memberitakan secara belebihan tentang bencana yang dialami, dan memastikan pengunjung dapat membuat pilihan berdasarkan informasi yang disediakan.

*Penulis adalah Dosen STIE 45 Mataram dan Peneliti LPW NTB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp