Pemberhentian Hakim MK dan Matinya Negara Hukum
Oleh: Abdul Fattah – Taman Metajuridika FH Unram, Ketum HMI Komisariat Hukum
Pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto adalah konspirasi tingkat tinggi. Pelakunya bukan warga negara atau orang-perseorangan, melainkan lembaga tinggi dari dua cabang kekuasaan, Legislatif dan Eksekutif.
Skenarionya bermula dari tafsir ngawur DPR atas surat pemberitahuan MK mengenai perubahan mekanisme masa jabatan hakim yang tidak lagi berdasar periodisasi melainkan merujuk usia pensiun hakim. Atas dasar itu, DPR tiba-tiba mengadakan rapat paripurna yang memutuskan pemberhentian hakim MK Aswanto dan mengangkat Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, sebagai hakim pengganti.
Tindakan serampangan itu didasari alasan yang lebih ngawur lagi. DPR menganggap produk-produk legislasinya kerap dianulir oleh Aswanto. Mengapa DPR tidak memperbaiki produk legislasinya? Mengapa DPR secara berulang bahkan terkesan sengaja membuat produk legislasi yang akan digugat di MK? Bukankah itu menyiratkan bahwa sedari awal produk legislasi DPR bermasalah? Mengapa menyalahkan pihak yang berani menyatakan sampah sebagai sampah?
Tidak berhenti disitu, sekalipun publik dan kelompok intelektual seperti mantan-mantan Hakim Konstitusi menyatakan fakta bahwa tindakan itu tidak berdasar dan menerobos hukum, pemimpin kekuasaan eksekutif, yakni presiden malah abai dan tetap menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.114/P/Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi.
Presiden memperpanjang hidung dan daftar kebohongannya sendiri, setelah sebelumnya pada 05 Oktober menegaskan akan patuh pada peraturan perundang-undangan dalam menyikapi upaya penggantian hakim oleh DPR. Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, melayangkan dalih asbun, bahwa Presiden tidak bisa mengubah keputusan DPR. Padahal keputusan itu melanggar hukum, bukankah dengan mengikutinya Presiden juga turut melanggar hukum?
Konspirasi tingkat tinggi ini sebenarnya tidak hanya melibatkan DPR dan Presiden, sikap MK yang pasif, enggan menolak bahkan sekedar mengomentari turut menunjukan keterlibatan. MK seharusnya menyerukan penolakan, menyatakan tindakan DPR tidak berdasar, menabrak hukum atau inkonstitusional.
Skenario lancung tanpa dasar hukum apapun itu dilakukan semata-mata atas dasar kepentingan politik. Kedua lembaga tinggi negara yang keberadaannya dimungkinkan oleh hukum dan konstitusi malah dengan telanjang menerobos konstitusi. Berikut argumen-argumen yang menguak sesat pikir DPR dan Presiden.
Pertama, menghianati Konstitusi. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 telah dengan terang mengatur bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” Tindakan serampangan DPR merupakan perusakan atas kemerdekaan hakim. Ini akan menjadi preseden bagi hakim MK. Kedepannya, dalam memutus perkara yang diajukan, hakim konstitusi akan selalu dibayangi pemberhentian oleh DPR.
Kedua, menabrak UU MK. DPR mengabaikan Pasal 23 Undang-Undang MK. Padahal pasal yang dibuat oleh DPR sendiri itu, telah mengatur syarat-syarat pemberhentian hakim konstitusi, baik secara hormat maupun tidak hormat. Namun bila dicermati muatan pasal tersebut, pemberhentian Aswanto oleh DPR tidak memenuhi satupun ketentuan pasal tersebut.
Terakhir, merusak Negara Hukum. Negara Hukum, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, mengharuskan pemisahan cq pembagian kekuasaan. Tiap-tiap lembaga negara memiliki kewenangan masing-masing yang terlarang untuk diterobos secara serampangan. Tindakan DPR dan “persetujuan bisu” oleh Presiden menabrak batasan kewenangan antara lembaga tinggi negara. lebih dari itu, semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan pembatasan kekuasaan. Tindakan DPR sama sekali tidak berdasar dan melampaui batasan kekuasaan nya.
Melihat praktik bernegara kita, nampaknya Indonesia sebagai negara hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak lagi relevan, sekedar untaian kata yang menghias konstitusi kita. Harusnya, berdasarkan praktik bernegara kita, Indonesia bukan negara hukum, melainkan negara politik kekuasaan. Intervensi DPR dan Presiden atas MK merupakan tindakan yang amat lancung. Ajal MK, konstitusi dan negara hukum justru dijemput oleh penjaganya sendiri.
Editor: Zaki Akbar, S.H