Merdeka “Dicengkeram” Kolonialisme Tanah: Menguak Kisah Kelam Masyarakat Gili Terawangan
Oleh: Satria Madisa (Mahasiswa FH Unram)
Milan Kundera dalam novelnya, “Kitab Lupa dan Galak Tawa” menyajikan satire (sindiran) (yang reflektif untuk nalar dan nurani yang menguak kebengisan kolonialisme. Kolonialisme disindir sebagai “segerombolan” remaja nakal disebuah Pulau yang asing, sedangkan yang dikolonialisasi (terjajah) adalah seorang perempuan dewasa yang tersesat di Pulau itu. “Apalah arti seorang perempuan dewasa yang tersesat ditengah gerombolan laki-laki nakal?”
Indonesia (bangsa-bangsa) pernah “mengulum” kebengisan kolonialisme Belanda. Sejarah mencatat, berabad-abad lamanya. Indonesia juga mendekam dalam “pelukan” Fasisme Jepang 3,5 tahun lamanya. Sebagai eks kolonialisme Belanda dan Fasis Jepang, Indonesia punya “memori kolektif” yang pedih untuk dirasa kembali. Memori kolektif itulah yang menegaskan penjahajan dalam bentuk apapun harus dihapus di Bumi Manusia.
Memahami bengisnya “keterjajahan” dengan nurani, akan menegaskan penting dan mulianya kemerdekaan. Karena inilah, 17 Agustus 1945 ketika para pendiri republik menyatakan dan menegaskan kemerdekaan dari “belenggu” kolonialisme, rakyat Indonesia menyambut dengan sukacita yang mendalam, dengan berderai air mata kebahagiaan. Hingga disaat agresi militer Belanda rakyat dengan berdarah-darah mempertahankan kemerdekaan.Walaupun proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 berlaku sebagai de facto, pernyatan kemerdekaan itulah “titik tonggak” republik ini berdiri.
Berpijak pada sejarah Kolonialisme dan Fasis Jepang, kita mengenang seluruh jenis kezhaliman beranak pinak. Mereka memperlakukan rakyat sebagai “buruh” dan “ternak” dinegerinya sendiri. Manusia-manusianya dieksploitasi seenak jidat sendiri. Bumi, air, dan seluruh kekayaan alam dieksploitasi, dilacuri, dan dipasarkan dalam waktu yang sangat panjang.Peringatan 76 Tahun Indonesia Merdeka, belum ada “apa-apanya” dibandingkan lama dan pedihnya penjajahan yang berabad-abad lamanya.
Demi kemerdekaan, entah sudah berapa “periodesasi” generasi yang menjadi martir atau penghianat republik. Bersamaan dengan sebesar dan dalamnya kekayaan bumi, yangg dikeruk untuk menyumpel dan mengisi perut kolonialis itu. Kebenarannya ada nilai yang tak bisa dibeli, yang dikorbankan untuk tegaknya republik.
Kisah Sunyi “Kolonialisme Tanah” Dibalik Megahnya Gili Trawangan
Kemegahan pariwisata yang mendunia di Gili Trawangan hari ini, merupakan kalkulasi “logika peradaban”. Bahwa disetiap kemegahan tidak saja dihasilkan dari “dialetika pikiran” , “dialektika kepongahan”, melainkan juga “pergulatan darah-darah”. “Selalu ada keteraniayaan, dibalik cerita kemegahan. Keteraniayaan (penulis menggunakan diksi: kolonialisasi) ikut serta mengungkap “sisi lain” yang bisa dipahami nurani.
Kisah Kolonialisme tanah dan turunanya, merupakan kisah sunyi yang berlangsung sampai peringatan kemerdekaan republik. Kisah itu dimulai pada tahun 1980-an yang ditandai kebangkitan Pariwisata Lombok. Kisah ini diwujudkan dengan “pergeseran” kebijakan negara dari pertanian dan perkebunan ke Pariwisata yang secara filosofis (bahkan dilevel klaim dan tujuan) dimaksudkan untuk; sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Melalui “pintu pariwisata inilah” investasi dibuka seluas-luasnya.
Alih-alih memakmurkan rakyat, investasi yang digelorakan negara, malah menjadi jerat untuk menelantarkan rakyat. Adalah Guru Besar Universitas Mataram, Prof. Zainal Asikin dalam penelitiannya: “Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Terlantar di Gili Trawangan Lombok, 2014)” menyuguhkan ironi dari tragedi konflik tanah antara rakyat melawan Kapital dan Negara.
Membaca dan memahami penelitian tersebut, penulis berupaya membuat sinopsis dari kisah-kisah kolonialisasi yang sangat panjang itu. Kisah itu berawal dari kepempinan Gubernur Kedua NTB, H.R Wasita Kusumah (1968-1973) yang memberikan lahan yang digarap masyarakat semasih semak belukar. Lahan itu atas nama investasi pariwisata diberikan Hak Guna Usaha (HGU) pada, putranya (25 Ha), kerabatnya (25 Ha) dan Sekda NTB kala itu (25 Ha) yang bukan pengusaha dan tidak memahami pariwisata.
Begini sinopsis menurut penulis: tanah perkebunan itu dirampas (land dispossion) dari rakyat Gili Trawangan demi dalih “investasi” pariwisata yang semula ditemukan dan digarap rakyat semasih menjadi kawasan yang dipenuhi semak-belukar. Tanah itu kemudian oleh penguasa kala itu (H.R.Wasita Kusuma) memberikan tanah seluas 75 Ha, untuk anak-anaknya yang bukan pengusaha, kerabatnya dan segelintir pejabat. Kisah ini dimulai dari “perampasan tanah”, lalu “pengambilalihan tanah”, kemudian tanah ditelantarkan. Tanah yang ditelantarkan kemudian diambil alih Pemerintah pascanya, disaat masyarakat kembali memasuki, lalu diberikan Hak Guna Bangunan pada PT WAH (1996-2026) dan Hak Guna Usaha pada PT GTI, (sejak 1993, untuk 70 tahun kontrak) kemudian ditelantarkan lagi oleh PT tersebut. Hingga masyarakat yang mengelola tanah terlantar itu kemudian “mengganti”pekerjaan membangun Pariwisata selama puluhan tahun ditelantarkan.
Kisah Rakyat Gili Trawangan melawan Kapital dan Negara merupakan sejarah mengelola tanah sendiri yang ditelantarkan korporasi yang secara filosofis hendak ditelantarkan negara. Kisah ini berdiri tegak atas keuntungan kapital dan segelintir pejabat yang selalu merugikan rakyat. Kisah ini adalah “kekalahan berkelanjutan rakyat” berhadapan dengan PT yang diduga kuat “berbisnis tanah” negara. Kisah ini sejatinya harus “selesai” diera kolonialisme Belanda. Namun sayang, melaui PT GTI dan kepongahan Pemerintahan, reka ulang kolonialisme telah dirasakan masyarakat Gili Terawangan (konflik tanah), sejak 1993 berhingga hari ini.
Menurut penulis kisah tersebut adalah kisah “penjajahan tanpa penjajahan” meminjam pandangan Daniel Dhakidae, dalam tulisannya, “Tanah, Kekuasaan dan Kapital” yang dimuat di Majalah Prisma. Hal ini sesuai dengan penelitian Prof. Zainal Asikin, menyatakan bahwa; kebijakan yang salah dibidang pertanahan dikawasan pariwisata; sikap tidak tegas Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan dalam menegakkan hukum pertanahan; kecemburuan masyarakat asli Gili Trawangan; lemahnya tanggungjawab pengusaha; tidak adanya perlindungan hukum bagi penduduk asi Gili Trawangan dan arogansi penegakan hukum yang dengan semena-mena meobohkan bangunan vila masyarakat merupakan berbagai macam faktor yang menyulut konflik pertanahan di Gili Trawangan.
Menegakkan “Daulat Rakyat”…!!
Pra keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB memutuskan adendum, terjadi pro-kontra yang cukup serius antara berbagai pihak, lebih khususnya Gubernuran dan DPRD. Dialetika antara “adendum (pembaharuan) dan pemutusan kontrak mencuat tajam. Umumnya, Pemprov menyatakan bahwa; apakah adendum, kemaslahatan rakyat yang utama. Sementara DPRD NTB getol menyuarakan putus kontrak. Setelahnya, Pemprov NTB menyatkan adendum. Menurut Pemprov “putus kontrak banyak mudaratnya, adendum banyak manfaatnya. (Lihat, Antara News, 13 Juli 2021 “Pemprov NTB Putuskan Adendum Kontrak PT GTI”.
Alih-alih menegakkan daulat rakyat, Pemprov NTB malah membuat kebijakan yang ditentang rakyat. Mengenai ini berlakulah “gerakan ganda” (double movement) bahwa reorganisasi ruang dalam rangka memperluas modal tanpa henti dapat berujung gerakan tanding dalam masyarakat yang berupaya mempertahankan diri dari ekspansi pasar dan perampasan terhadap tanah dan sumberdaya lainnya yang menjadi andalan hidup lainnya. (Lihat, Noerfauji Rachmat, Meneliti Proses Kebijakan Land Reform Indonesia Dalam Jurnal Prisma, Negara dan Kapital dalam Konflik Agraria).
Faktanya, rakyat menolak adendum tersebut. Diduga, Pemprov NTB tidak benar-benar menegakkan daulat rakyat dalam keputusan sepihak adendum, dalam pengertian tidak deliberatif (responsif dan partisipatif) meletakan rakyat sebagai tujuan. Bahkan, diduga rakyat tidak benar-benar dilibatkan dalam memutuskan kebijakan, rakyat tidak tahu menahu isi adendum, dan adendum tersebut bukanlah dilakukan demi kemaslahatan rakyat. Menganalisis keterangan Gubernur NTB dalam akun media sosialnya, (30 Juli 2021) menyatakan “Lagi pula sering apa yang dilaporkan, belum tentu persis sama dengan kejadian riel lapangan” ketika mengunjungi masyarakat Gili Trawangan, sebagai analisis dapat dimaknai sebagai, kebijakan adendum tidak berdasarkan kebutuhan rakyat. Atau menggunakan data sekunder, bukan data primer.
Mengenai ini, 13 poin keterangan Facebooknya, yang menjadi “kronologi” atau dasar-dasar adendum, justru menurut hemat penulis ditengarai hanya karena dua alasan. Pertama tidak benar-benar membela daulat rakyat. Kedua Pemprov tidak punya keberanian menghadapi “potensi” di Gugat PT GTI yang dengan jelas menelantarkan tanah selama puluhan tahun. Sikap tersebut, jika menggunakan istilah Tan Malaka, “Tidak perlu berunding dengan Maling yang mencuri isi rumah kita”. Padahal jika “daulat rakyat” ditegakkan, Pemprov tidak perlu benteng, sebab Rakyat sendiri yang membentenginya. Bukankah Pemprov mempunyai dasar konstitusional memutus kontrak? Inilah yang menurut penulis alibi Gubernur. Yang mendukung moral dan intelektual penulis menyematkan predikat padanya; The Master Of Alibi.
Merasa tidak dilibatkan dalam adendum, tidak menghendaki adendum atau menghendaki putus kontrak dengan PT GTI dan menolak PT Apapun “mencengkram” 75 Ha, tanah itu, dengan pertimbangan bahwa rakyat bisa “berbuat” dan mengelola tanah “sebaik-baiknya” sembari berkontribusi lebih besar dari PT “Penelantar” “tanah negara” itu, menyikapi kebijakan adendum Rakyat bersurat pada Jokowi. Dilansir dari Antara News, bahwa rakyat meminta putus kontrak PT GTI dan mendesak Gubernur membatalkan adendum. Hal ini menegaskan bahwa adendum bukan demi rakyat, lalu untuk kepentingan siapa-siapa?
Rakyat Gili Trawangan Berdaulat; Hadiah 76 Tahun Indonesia Merdeka
Terlepas dari “kejanggalan demi kejanggalan” dimana Lembaga dan Alat Negara “berketerangan” inkonsisten dan “berlawanan” dengan dirinya sendiri dalam menyoal PT GTI yang ditengarai perbedaan pimpinan KPK dan Kejati NTB. (Lihat, perbedaan pandangan Kejati “lama” dan Kejati “baru” dengan keterangan KPK “lama” dan KPK “baru” diberbagai media massa). Masalahnya, Pemprov beralasan bahwa kebijakan adendum atas rekomendasi para pihak, yang diantaranya Kejati NTB dan KPK, fakta sosialnya, rakyat dan opini publik menghendaki putus kontrak. Disamping komitmen rakyat yang menegaskan kesiapan mengelola “tanah negara” itu. (Lihat, Kesenjangan yang tajam kontribusi pajak rakyat (mencapai 2 miliar) per tahun, dengan pajak PT GTI (20 Juta) per tahun).
Masalah tanah adalah soal “kemerdekaan” dan soal “kehidupan manusia”. Dua hal ini merupakan hakikat kemanusiaan yang adil dan beradab. Problemnya, sengketa tanah antara rakyat dengan negara (kapital) selalu berdarah-darahnya pada rakyat semata. Mengenai ini, tulisan Daniel Dhakidae dalam Jurnal Prisma “Tanah, Kekuasaan dan Kapital” menyatakan bahwa, drama perebutan tanah baik sesama individu dalam masyarakat maupun perebutan paksa oleh negara dalam hal melucuti hak milik (land disposseession) serta perebutan paksa dalam artian pendakuan sepihak atas tanah (land approprition) menjadi drama kehidupan yang mengalirkan darah dan airmata. Rumah-rumah dibongkar paksa, dengan alasan semua dibangun diatas “tanah negara” tragedi biasa, sehari-hari.
Dalam hal ini, sejarah kekuasaan (negara) dan kapital telah mengalahkan rakyat berkali-kali dalam konflik tanah. Merugikan martabat manusia berulang kali. Pengalaman rakyat dan berbagai hasil riset membuktikan. Bahkan rakyat kerap kali berada diposisi “selalu kalah” dan “dikalahkan”.
Demi daulat rakyat, kolonialisasi harus kita hentikan. Semua manusia yang masih mempunyai “nurani” harus bergerak bersama mewujudkannya. Bahwa atas nama “kemakmuran” tidak berati membenarkan “menelantarkan” kehidupan. Masyarakat Gili Trawangan berhak memegahkan nalar dan nurani juga masa depan anak cucunya, semegah pesona Pariwisatanya.
17 Agustus 2021 merupakan peringatan 76 Tahun republik ini merdeka. Momentum ini harus menjadi “refleksi nasional” negara agar berhenti mengadopsi dan menginovasi kolonialisme terhadap rakyat. Bumi, air dan seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan atas nama rakyat untuk kepentingan mafia tanah, segelintir, penguasa dan korporasi. Bendera merah putih harus berkibar setinggi-tingginya di Gili Trawangan Lombok Utara 17 Agustus mendatang. Sudah saatnya perampasan dan penelantaran tanah selama berpuluh tahun dihentikan, sudah saatnya rakyat Gili Trawangan berdaulat atas “tanah negara”. Rakyat harus diberi kesempatan menyambung kehidupan dalam rangka mewujudkan tugas negara. Sudah saatnya belenggu mesin-mesin yang bercokol di atas tanah itu harus angkat kaki atau “diusir”. Hadiah terbaik untuk rakyat Gili Trawangan ialah kebebasan menggunakan kemanusiaan tanpa digerogoti mesin-mesin. Kita mesti ingat, klaim kesejahteraan, tidak harus meruntuhkan, apalagi membunuh kemanusiaan yang adil dan beradab. NTB Gemilang harus mengabarkan pada dunia bahwa rakyat bisa menang dan merdeka melawan kapital.
*Didedikasikan untuk Menghormati Peringatan Kemerdekaan 76 Tahun Republik dan Masyarakat Gili Trawangan, serta semua manusia yang masih menggunakan nalar dan nuraninya dengan baik.
Mataram, 10 Agustus 2021.