OPINI

Menguji Kelayakan “Penghargaan” Kabupaten Bima “Layak” Anak

0Shares

Oleh: Satria Madisa –  Mahasiswa FH UNRAM, Relawan LPW NTB

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima kembali bisa berbangga, pasca diumumkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendapatkan penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2021. Penghargaan ini menjadi istimewa setelah pada tahun 2019 Pemkab Bima diberikan penghargaan yang sama.

Berdasarkan Peraturan Negara Pemberdayaan dan Perlindungan Anak No. 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (Permen Nomor 11 Tahun 2011) bahwa, KLA merupakan Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk terpenuhinya hak dan perlindungan anak.

Definisi yang sama juga dinyatakan dalam berbagai Permen terkait terdapat dalam; Permen No. 11 Tahun 2011 (Indikator Kab/Kota Layak Anak); Permen No. 13 Tahun 2011 (Panduan Pengembangan Kab/Kota Layak Anak) dan Permen No. 14 Tahun 2011 (Panduan Evaluasi Kab/Kota Layak Anak).

Penghargaan KLA mesti dimaknai sebagai reward yang diberikan negara melalaui pimpinan kementerian terkait karena “komitmen terintegrasi”, “kebijakan” dalam “memenuhi dan melindungi” hak anak yang dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Hal ini sesuai dengan Permen No. 11 Tahun 2011 tentang Indikator KLA yang menerangkan bahwa, pemenuhan 31 hak anak merupakan Indikator KLA.

Membedah Indikator KLA

Indikator KLA telah diatur dalam Permen No. 11 Tahun 2011. Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan (2) penguatan kelembagaan dan pemenuhan klaster (kelompok) hak-hak anak menjadi “kunci” pemberian penghargaan KLA. Dalam perspektif penguatan kelembagaan ada 7 indikator yang harus dimiliki oleh daerah yang mendapatkan penghargaan KLA, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6.

Indikator tersebut adalah; adanya peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk pemenuhan hak anak; presentasi anggaran untuk pemenuhan hak anak termasuk anggaran untuk penguatan kelembagaan; jumlah peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang mendapatkan masukan dari Forum Anak dan kelompok anak lainnya; tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) terlatih KHA dan mampu menerapkan hak anak ke dalam kebijakan, program dan kegiatan; tersedia data anak terpilah menurut jenis kelamin, umur, dan kecamatan; keterlibatan lembaga masyarakat dalam pemenuhan hak anak; dan keterlibatan dunia usaha dalam pemenuhan hak anak.

Sedangkan dalam perpektif klaster hak anak sebagaimana diatur dalam pasal 7 meliputi terpenuhinya: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus.

Jika mencermati pengertian KLA ada tiga kata kunci yang mesti dijadikan indikator utama “urgensi” penghargaan itu diberikan, yakni “komitmen terintegrasi”, “kebijakan” dan Pemenuhan/perlindungan hak anak.

Tiga kata kunci inilah yang mesti dijelaskan “daerah” pada Kementerian terkait, sebelum memutuskan kelayakan daerah mendapatkan penghargaan KLA. Tiga kata kunci itu yang menjelaskan 31 hak anak telah terpenuhi sebagai norma dasar (indikator KLA). Tiga kata kunci itu pula yang penulis ajukan sebagai “uji kelayakan” Kabupaten Bima ditetapkan sebagai KLA. Tentu kita berharap bahwa penghargaan KLA diberikan berbasis “komitmen terintegrasi”, “kebijakan” dan “pemenuhan/perlindungan” hak anak. Tidak serta merta ditengarai hanya ketersediaan peraturan daerah dan jumlahmya, jumlah anggaran pemenuhan/perlindungan hak anak dan kelembagaan, nama-nama “forum anak”, dan pemenuhan aspek administratif.

Mengurai Data-Data

Dilansir dari media Tempo, (Publikasi 10 Oktober 2015) berdasarkan keterangan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Kabupaten Bima merupakan daerah tertinggi kasus kekerasan terhadap anak. Data itu mengungkap bahwa 40 kasus kekerasan pada anak pada tahun 2014, meningkat menjadi 50 kasus pada tahun 2015 yang terjadi dimulai Januari sampai Oktober. Pemerkosaan, pencabulan dan penganiayaan yang disertai kekerasan mendominasi. LPA NTB juga menyatakan bahwa kasus tersebut belum termasuk pengaduan masyarakat. Maka tak heran data Litmas Bapas menguak fakta yang mencengangkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum di Kabupaten Bima dari 2 Kasus pada 2016, kemudian meningkat secara progresif menjadi 48 kasus. Jumlah itu merupakan yang tertinggi di Kabupaten/Kota di NTB.

Data kekerasan terhadap anak sejak 2015 mempunyai tren yang selalu meningkat. Tahun 2019 Kabupaten Bima dapat penghargaan KLA, 2021 kembali dapat penghargaan KLA, sedang pada tahun 2020 berdasarkan data Dinas Sosial (Dinsos) Pemprov NTB jumlah kasus kekerasan pada anak meninggi. Bagaimana tidak, telah terjadi 72 kasus kekerasan terhadap anak, yang rincian kasus didominasi penganiayaan, pencabulan dan pemerkosaan.  72 Kasus itu merupakan “juara 1” di Pulau Sumbawa dan masuk 3 besar tertinggi se-Kab/Kota di NTB. Belum lagi kekerasan terhadap anak yang cukup masif terjadi pada tahun 2021, dan Kabupaten Bima tidak memiliki kelembagaan integrasi layaknya Kabupaten/Kota se-pulau Lombok dengan Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif (PKSAI).

PKSAI merupakan amanat dari Kementerian Sosial untuk mendeteksi segala jenis kerentanan untuk ditangani secara cepat dan tepat melalui kelembagaan integrasi perangkat daerah, kelembagaan non pemerintah, lembaga pendidikan bahkan dapat melibatkan swasta.

Berangkat atas dasar data-data yang penulis uraikan ini, bagaimanakah wujudnya “komitmen terintegrasi”, “kebijakan” dan “pemenuhan/perlindungan” 31 hak anak yang menjadikan Kabupaten Bima mendapatkan penghargaan Kabupaten Layak Anak? Bagaimana perlindungan khusus Pemkab Bima terhadap anak yang mengalami korban kekerasan dan eksploitasi?

Berkaca Pada Tumpang Tindih DTKS, Zona Merah Konflik, Rusaknya Infrstruktur dan Ekologis

Belum lama ini Pemerintah Provinsi NTB melalui surat Wakil Gubernur menginstruksikan pada Kepala Daerah Kab/Kota untuk membenahi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kabupaten Bima merupakan daerah yang “lelet” mengevaluasi dan merombak DTKS, sekaligus yang mengalami tumpang tindih DTKS yang cukup parah.

Tumpang tindih DTKS jika dianalisis secara kritis akan berkorelasi langsung pada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Bahwa seringkali keluarga yang berhak mendapatkan perlindungan sosial: Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan jaminan kesehatan BPJS dilapangan menjadi tidak mendapatkan, hingga berdampak pada anaknya. Kondisi itu berkontribusi langsung pada tumpang tindihnya pemenuhan 31 hak anak. Kondisi ini nyata adanya, seringkali di media massa kita lihat “solidaritas dinamis” masyarakat menggalang donasi untuk pemenuhan kehidupan keluarga dan kesehatan, hanya karena sudah dijepit kemiskinan, diperparah tidak terakomodir dalam DTKS. Dulu bahkan ada mayat bayi yang pulang bersama ibunya menggunakan “jasa ojek” hanya karena biaya ambulan tak sanggup dibayar.

Kabupaten Bima masih konsisten menjadi zona merah konflik sosial. Setiap tahun bentrok berdarah “antar” kampung menjadi “headline” media massa. Penganiayaan dan pembunuhan sudah menjadi hal yang biasa. Kondisi ini pasti berdampak terhadap anak. Lebih khususnya pada aspek psikologi.

Tercemarnya lingkungan sosial, yang didukung rusaknya pembangunan infrastruktur (ruang publik) dan rusaknya lingkungan karena hutan yang mengalami peningkatan pengerusakan setiap tahun, “mimpi buruk” yang panjang buat anak. Tak perlu cerdas, sudah banyak study yang membuktikan “broken home” saja mempengaruhi mentalitas anak, apalagi jika itu rusaknya “tatanan sosial”, infrastruktur, dan kerusakan ekologis bergumul dalam satu tempat.

Kabupaten Bima sudah tercemar, untuk bertumbuhnya manusia dewasa saja “susah”. Apalagi untuk bertumbuhnya anak-anak. Hingga penghargaan KLA yang penulis duga, “berbasis perbaikan administratif” tidak memberikan jaminan bahwa “tumbuh kembang” anak terjaga. Apalagi pemenuhan dan perlindungan haknya. Bima bukan daerah yang baik untuk terwujudnya masa depan baik untuk anak, disaat kita semua menjadikan “identitasnya” semata soal administratif. Untuk menumpuk penghargaan yang sebenarnya tidak berharga untuk anak.

Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak barangkali jangan mudah menyerah terhadap “kardus”, apalagi terpesona dengan “presentasi”. Investigasi penting, apakah benar-benar ada “komitmen terintegrasi”, “kebijakan” dan “pemenuhan/perlindungan” hak anak berdasarkan Indikator KLA atau hanya “bualan” semata?

Jelasnya, masa depan anak negeri jangan hanya diukur dari “norma-norma”, “angka-angka” dan pemenuhan syarat administrasi saja. Kondisi empiris yang ditampilkan dalam sudut lain data di atas, justru menunjukan kondisi yang sebaliknya. Untuk dokumen rinci “Profil Anak” saja tidak ada, kok bisa dapat penghargaan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp