Menemukan “Bima Ramah” di Kerusakan Jalan
Oleh : Satria Madisa – Tim Advokasi LPW NTB
Kesenjangan pemerintahan, buruknya kebijakan publik, retaknya tatanan sosial dan kesenjangan informasi cenderung menjadi “bahasa publik” Kabupaten Bima. Bima seperti sebuah tubuh manusia yang dihuni ragamnya penyakit. Penyakit-penyakit itu bergumul dalam satu tubuh, dan merusak antibodi yang membuat tubuh itu tidak berdaya dan menjadi pesakitan. Tubuh yang pesakitan itu setiap saat digerogoti dan membuat luka semakin mendidih dan berdarah. Luka yang berdarah tentu menyiksa.
Seperti halnya dokter yang gagal mengdiagnosis penyakit-penyakit tersebut, para pemimpin daerah dengan seluruh hal yang terkait, tidak bisa merumuskan solusi untuk merestorasi atau berikhtiar mewujudkan pemulihan besar-besaran demi memperbaiki dan memperindah daerah.
Asas pemerintahan yang baik dan bersih ditimbun dalam wacana, kebijakan publik tidak deliberatif (partisipatif dan responsif), tatanan sosial semakin hari semakin rusak, kesenjangan sosial terus menjadi headline yang mengisi ruang publik, prestasi daerah hanya bisa terpublikasi via media lokal yang menjadi kemitraan daerah, sementara masyarakat masih ada yang tidak bisa terpenuhi kebutuhan dasar untuk mengakses dan menikmati keadilan pembangunan.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan pejabat Pemkab yang tersandung Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. “Rusaknya tatanan sosial (salah satu contohnya: marak teror panah), kesenjangan pemerintahan (merambahnya KKN), buruknya kebijakan publik (KKN bergairah, keadilan pembangunan rakyat terpinggirkan, juga adanya dugaan penggelapan APBD melalui Penyertaan Modal Daerah yang ratusan miliar) hanyalah sinopsis (kisah ringkas) memprihatinkan kondisi dan masa depan daerah.”
Aneh tapi nyata, demi kebijakan yang bercampur kepentingan bisnis dan politik dalam kebijakan publik yang cenderung KKN (lihat dan cermati, peristiwa keluarga istana berdagang sembako BPNT) juga penyertaan modal daerah pada Perusda atau Perumda yang diduga fiktif, Pemerintah daerah bergairah. Namun saat rakyat, memprotes kondisi jalan “kewenangan daerah” yang mengalami kerusakan bertahun, Pemerintah tidak bersemangat mewujudkannya. Bahkan dengan enteng bicara: APBD kita tidak cukup dan alasan-alasanya.
Padahal dalam setiap LKPJ Bupati Bima lima tahun terakhir, dijelaskan banyak sekali prestasi dan penghargaan yang didapatkan. Padahal dalam “tampilan” LKPJ Pemerintah secara umum punya prestasi. Prestasinya adalah, IPM terus meningkat, kesejahteraan terus meningkat, lapangan pekerjaan semakin terbuka dan kemiskinan semakin menurun. Apakah prestasi itu faktual dan sesuai RPJMD, faktanya tidak.
Melihat Kesenjangan di Kerusakan Jalan
Kerusakan jalan “kewenangan” Kabupaten Bima dalam data apalagi dalam realitas mengerikan adanya. Masih banyak wilayah administratif Bima yang “mengulum” ketimpangan pembangunan dan terpinggirkan dalam autensitas kebijakan publik Pemerintah. Kondisi itu nampak mencekam ditengah kecenderungan miskinnya inisiatif untuk melayani pembangunan. Ditambah kenyataan bahwa masyarakat harus memprotes selama bertahun dari jalan yang rusak bertahun untuk mau diperbaiki daerah. Jalan rusak bukan hanya miskin dalam percakapan kebijakan publik, melainkan miskin dari atensi intelektual dan media massa.
Alhasil, untuk mendapatkan hak untuk menikmati keadilan pembangunan, masyarakat yang mengalami harus terbiasa menerima kenyataan sekaligus membiasakan menggemakan protes.
Sebagai contoh, dilansir melalui katada.id, warga Dusun Mangge Rombo Desa Laju (Kec. Langgudu) selama 76 tahun Indonesia merdeka masih terisolasi dari pembangunan jalan. Setiap hari dalam menjalankan aktifitasnya warga disana harus berjalan kaki sejauh Satu Kilo Meter untuk mendapatkan pelayanan publik. Sejak kepemimpinan Bupati, Hj. Indah Dhamayanti Putri dan Wakil Bupati Dahlan, M. Nor (2015 sampai sekarang) masyarakat disana terabaikan mendapatkan haknya.
Contoh yang sama, terjadi di Desa Kalodu Kec. Langgudu, 3,5 Kilo Meter jalan “kewenangan” daerah sejak Bupati dan Wakil Bupati Bima memimpin, mengalami kerusakan yang kerusakannya semakin mengerikan. Contoh lainnya, hampir seluruh desa di Kecamatan Donggo dan Soromandi mengalami kerusakan selama bertahun-tahun juga diabaikan daerah (pra protes pemuda yang massif selama bertahun-tahun). Penulis menduga, kondisi miring itu terjadi disejumlah besar wilayah Kabupaten Bima. Hebatnya, berbagai masyarakat di Bima kini mulai membangun gerakan kreatif, memperbaiki jalan rusaknya melalui swadaya masyarakat.
Penting penulis tegaskan bahwa Pemerintah tidak deliberatif membangun jalan yang menjadi kewenangannya juga tanggungjawab moral dan konstitusionalnya. Pemerintah tidak pernah terjun kemasyarakat, berdiskusi, berdialog dan menyerap aspirasi masyarakat. Bahkan, saat protes tiba pemerintah cenderung berdalih macam-macam. Dalih terbesar, APBD tidak cukup.
Beda jika urusan kepentingan internal penguasa. Mereka lupakan Pendemi. Mereka berubah jadi “hamba aturan”. Mereka bahkan “bertengkar” untuk mempertahankan, menjaga kepentingannya. Miliaran rupiah APBD dianggarkan untuk “Mobil Dinas Baru” penguasa, disaat bersamaan masyarakat mengulum ketidakadilan infrastuktur. Ratusan miliar hendak digelontorkan untuk “penyertaan modal” yang tidak dimaksudkan untuk sebagian besar kepentingan masyarakat, mulut-mulut penguasa yang memerintah itu tak ada yang bilang anggarannya tidak ada.”
Bima Ramah Dikerusakan Jalan?
Bima Ramah adalah visi singkat dari Bima Religius, Aman, Makmur, Amanah dan Handal. Melalui visi ini sepantasnya “penyakit-penyakit yang menggerogoti satu tubuh manusia” tidak menyandra Bima. Bima tidak dalam kondisi sekarang jika visi tersebut diwujudkan dengan penuh kejujuran, integritas dan rasa tanggungjawab. Melalui pembangunan yang handal dan makmur mestinya 6 tahun kepemimpinan bima ramah, infrastruktur dapat diselesaikan. Mengingat visi itu indikator tercapainya pembangunan.
Setiap tahun jumlah APBD Kabupaten Bima hampir mencapai 2 Triliun. Dari jumlah APBD tersebut, setiap tahun digelontorkan kisaran 100 miliar untuk pembangunan infrastruktur yang meliputi, “peningkatan”, “rehabilitasi” dan “pemeliharaan” infrastruktur yang salah satunya pembangunan jalan. Data Pemkab Bima (LKPJ Bupati 2019) menyatakan bahwa jalan mantap kabupaten Bima 2018 itu 369.32 km menjadi 378,392 km di tahun 2019. Tiga tahun (2016-2019) Pemkab Bima meningkatkan jalan mantap sepanjang 9,1 km. Apakah ini keberhasilan?
Dilansir dari Bima Dalam Angka 2021, total panjang jalan kewenangan Kabupaten Bima itu: 831.611 km. Menurut jenisnya, jalan itu dibagi menjadi kategori yakni, aspal: 449,38 km, kerikil: 149,30 km, tanah; 215,11 km, dan jalan penetrasi 17,82 km. Dari perspektif kondisi jalan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kondisi “jalan baik” pada tahun 2019 itu 315,26 km, menjadi 349,76 km pada tahun 2020 dan menjadi 428,628 di tahun 2021. Kedua, kondisi “jalan sedang” pada tahun 2019 itu 63,14 km, menjadi 79,17 km tahun 2020 dan menjadi 33, 722 km di tahun 2021. Ketiga, kondisi “jalan rusak” pada tahun 2019 itu 165,88 km, menjadi 72, 93 km pada tahun 2020 dan menjadi 340,348 km di tahun 2021. Keempat kondisi kondisi jalan “rusak berat” pada tahun 2019 itu 297,34 km, menjadi 329,76 km, tahun 2020 dan menjadi 28,917 km di tahun 2021.
Merujuk data tersebut, penulis dapat uraikan bahwa: trend peningkatan “jalan baik” dari tahun 2019 ke 2021 mengisyaratkan kemajuan. Trend penurunan kualitas “jalan sedang” pada tahun 2020 ke tahun 2021 nampak progresif. Sedangkan trend peningkatan “jalan rusak” meningkat tajam dari tahun 2020 ke tahun 2021, serta trend penurunan “jalan rusak berat” pada tahun 2020 ke 2021 berlangsung sangat tajam.
Apa yang kita simpulkan dari data ini. Lalu apa yang dimaksud Pemerintah peningkatan jalan “mantap”?
Peningkatan jalan mantap, berbanding lurus dengan peningkatan jalan rusak. Patut diduga, selain format kebijakan publik tidak deliberatif, Pemerintah Daerah buruk paradigma pembangunannya. Bahwa, sebagai analisis meningkatnya jalan rusak dalam fakta sebenarnya karena paradigma pembangunan yang hanya tahu: peningkatan jalan. Paradigma ini berpotensi disertai penggelapan jabatan demi KKN. Pemkab Bima tidak benar-benar dalam realitas mengalokasikan anggaran untuk rehabilitasi dan perawatan infrastruktur. Apa yang terjadi?
Jalan yang mulai rusak yang mestinya bisa dialokasikan anggaran perawatan dan rehabilitasi dengan harus terpaksa semakin rusak setiap tahun. Kerusakan itu harus memanjang baru diperbaiki melalui peningkatan jalan. Hal inilah yang membuat jalan rusak di Bima semakin meningkat, seperti bom waktu. Selama 5 tahun terakhir berapa kilometer jalan rusak Bima yang diperbaiki melalui perawatan dan rehabilitasi? Dalam data dan dalam fakta tidak bisa ditemukan.
Belajar Dari Bupati Kolaka Utara
Dilansir dari koran Tempo (2016) Bupati Kabupaten Kolaka Utara, Rusdah Mahmud merupakan salah satu keteladanan bagaimana pentingnya political will dalam memimpin daerah. Mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat untuk membangun daerah menjadi kekuatan membawa daerahnya hijrah dari daerah terpinggirkan.
Rusdah Mahmud merupakan Bupati Kolaka dua periode. Memimpin sejak 2007 hingga 2017. Bupati itu berhasil menorehkan capaian penting dalam pembangunan Kolaka Utara sejak periode pertama. Walau hanya APBD kecil, 600 Miliar dia mampu membangun Masjid Agung untuk 123 desa di Ibu Kota Kabupatenya. Dia mampu meningkatkan IPM dari 63 persen 2005 menjadi 70,65 persen menjadi 70,65 persen pada 2016.
Begitupun upaya penurunan tingkat kemiskinan, dapat ditekan dari 26,4 persen tahun 2005 menjadi 16,41 persen pada 2013. APBD kecil bukan alasan untuk bosan mewujudkan pembangunan rakyat, Pemkab Kolaka Utara terus melakukan berbagai upaya pembangunan daerah, antara lain dengan membuka daerah-daerah terisolir dengan akses jalan. Potensi daerah, pertanian, perkebunan, pertambangan dan kelautan punya “icon” atau produk unggulannya masing-masing. Hebatnya, bukan hanya mengajak rakyat berpartisipasi dalam pembangunan, Pemkab Kolaka Utara membangun komitmen dengan DPRD untuk merencanakan pembangunan yang pro rakyat. Tentu diusia yang masih 11 tahun, Kabupaten Kolaka Utara mampu keluar dari 100 daerah daerah tertinggal.
Tulus Ikhlas Membangun Bima
Boleh saja APBD bima “miskin” yang harus dipastikan bahwa manusia terpelajar yang mengemban amanah publik nalar dan nuraninya kaya. Boleh saja sekarang Bima penyakitan, yang harus dipastikan ada keberpihakan untuk mengobatinya. Boleh saja kita terbelakang, kita daerah yang kaya potensi daerah.
Sepanjang daerah dikelola dengan nalar dan nurani (keberpihakan ilmu), sepanjang ada upaya memperbaiki tata pemerintahan dan kebijkan publik yang berorientasi memakmurkan dan mengharumkan daerah, bima tidak lagi berada dalam kondisi “kehilangan generasi”. Kita harus pastikan kita punya kekayaan nilai-nilai untuk survive dimasa mendatang. Bima harus benar-benar berbenah.
Penulis percaya, jika niatnya tulus dan ikhlas mencintai daerah, tentu Pemerintah, DPRD dan masyarakat bisa berkoloborasi dan bersinergi mengobati Bima. Kita harus bahu membahu mewujudkan itu. Pemkab, perlu memberikan warisan politik yang baik. Sedang rakyat perlu “ingatan” alternatif. Kita wajib memastikan bahwa kepemimpinan ala “bandar” dan “makelar” tidak lagi membuat kita menyusuri daerah gagal. Sebab jika terjadi, kita akan menjadi homo homini lupus atau menjadi srigala bagi manusia lainnya.