Mencari Asa Dari “Reruntuhan” Banjir Bandang Bima dan Dompu
Oleh: Satria Madisa
Sore itu dari jauh, “pesona” serpihan-serpihan perih menghias jagad maya. Postingan-postingan bertajuk “banjir bandang” menguasai dinding beranda. Curah hujan cukup tinggi dimulai hari Kamis berhingga Jumat awal April berbuah banjir, bunyi rilis pemerintah. Luapan air lumpur “hitam kecoklatan” menguasai jalan raya, lorong perkampungan, area pertanian, menyeret ternak, hingga menghanyutkan manusia. Tiang-tiang listrik roboh, jembatan-jembatan penghubung antar desa putus, malam berubah hitam dan mencekam.
Hari itu, berubah menjadi hari yang sangat panjang lagi melelahkan. Dari jejak postingan media sosial saja mengungkap kengerian, bagaimana “rasanya” merasakan langsung kondisi itu? Dari jejak postingan itu pula, kita tahu masyarakat terdampak “hidup” dalam suasana yang mencekam. Apakah rasa was-was, ketakutan, kecemasan, kelaparan yang dibalut kegelapan ‘menguasai nalar” ataukah sebagian “warna rasa” hidup dalam setiap orang yang terdampak.
Seperti biasa musibah apapun “jenis kelaminya” selalu menjadi ruang uji kemanusiaan kita. Dimedia massa postingan bertakjub “Pray For Bima”, “Pray For Dompu” menguasai arena. Sedangkan masyarakat yang belum terdampak, mulai mencari celah membantu keadaan. Seperti biasa pula “pejuang kemanusiaan” yang bukan dari Pemerintah selalu berdiri dibarisan paling depan, dengan seluruh pikiran dan kerja kemanusiaan. Merekalah volunter yang pada ujungnya jadi bassis data pemerintah, yang nantinya hilang dari ingatan pemerintah. Mereka itulah yang asam garam pada situasi yang mencekam itu. Baru muncul yang namanya politisi dan pemerintah. Bahkan anehnya ada juga “batang tubuh” pemerintah tidak sama sekali kelihatan disituasi yang mencekam itu.
Sedangkan anak negeri, seperti biasa menggelar “rapat darurat” untuk menghimpun kesepakatan, tentang apa langkah, sikap dan cara melayani korban bencana. Mereka inilah yang memadati jalan raya, disetiap persimpangan lampu merah dan tempat yang dianggap strategis “menggalang donasi” untuk korban terdampak. Tol udara juga disasar, pamflet-pamflet “galang donasi” tampil jumlah banyak di dinding media sosial dari berbagai perkumpulan dan organisasi. Situasi musibah, ketuhanan yang nyata iyalah kemanusiaan.
Banjir bandang yang berlangsung selama 9 jam lamanya itu, yang dimulai pada hari Jumat 2 April menjadi hari yang panjang untuk masyarakat 30 Desa pada Kecamatan Bolo, Madapangga, Woha, Palibelo, Belo, Monta dan Wera. Data masyarakat terdampak ini merujuk keteraangan pers Pemerintah Kabupaten Bima (baca: BPBD Bima) yang dirilis, Sabtu (3/4). Data itu menyebutkan bahwa “Dua warga tewas, 12 rumah rusak, 3 jembatan putus, 60 hektare lahan pertanian rusak, 25 hektare lahan tambak rusak, dan 8. 037 kepala keluarga dengan 25.945 jiwa terdampak”.
Data pemerintah itu mengalami pembaharuan pada Minggu (5/4), setelah dilakukannya hitungan cepat (quick count). BPBD Bima mencatat dan melaporkan bahwa kerugian karena banjir bandang itu mencapai Rp. 680.569.000.000 dengan total 47 desa terdampak dari 8 Kecamatan. Membaca laporan pemerintah itu, nampak terlihat seluruh variabel dihitung. Apakah benar-benar jujur proses perhitungannya, kita serahkan pada waktu.
Penulis menganggap, Jumat itu menjadi hari panjang nan mencekam untuk masyarakat terdampak ditunjang ketidakhadiran para petinggi daearah di “malam pertama” masyarakat bergulat dengan air lumpur, rasa was-was, ketakutan, kelaparan dan kegelapan. Bupati pilihan masyarakat Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri hari itu sedang berada di Kota Mataram. Demikian anaknya, M. Putera Ferryandi yang dipilih partai Golkar menjadi ketua DPRD, berada di Kota Mataram. Wakil Bupatinya Hj. Indah Dhamayanti Putri, Dahlan. M.Nor juga tidak berada di Kabupaten Bima.
Namun, faktanya gejala-gejala banjir bandang Bima sudah terdeteksi dari aktifitas hujan yang cukup tinggi, dan progresnya dilaporkan melalui media sosial oleh masyarakat. Demi kepentingan apa para petinggi ini tidak hadir membersamai masyarakat hanya para petinggi itu yang mengetahui pasti, jelasnya dalam situasi darurat kehadiran para pemimpin daerah sangatlah berarti dan menentukan, baik untuk masyarakat juga untuk kerja-kerja pemerintahan. Situasi kebencanaan itu seperti situasi perang yang menentukan. Dalam perang pemimpin harus berada digaris terdepan untuk memberi kekuataan moral demi keluar sebagai pemenang. Tidak boleh pemimpin bersembunyi atau lari dalam perang yang sudah ada berada didepan mata.
Sabtu pagi, Bupati dan Ketua DPRD Bima terbang dari Mataram menuju Bima. Siangnya hadir “berlumpur” ria bersama warga, tidak lupa membawa nasi bungkus yang tidak bisa disediakan Andi Sirajudin (Kepala Dinas Sosial), yang pada malam yang mencekam itu mengatakan “Dinas Sosial tidak punya anggara untuk beli nasi,”. Statement Andi Sirajudin benar secara tekstual (norma) namun fatal secara kontekstual apalagi disituasi krisis, komunikasi pemerintah harus dipoles sedemikian rupa agar tidak blunder, dan terkesan tumpul memaknai norma.
Statement yang saya sebut memalukan dimalam itu barangkali karena kepala daerah tidak hadir memimpin OPD untuk berjibaku berhadapan dengan situasi bencana. Kehadiran Bupati sabtu itu saya duga menjadi sinyal Pemkab itu bergerak, termasuk yang pada ujungnya BPBD Bima melakukan hitungan cepat tentang kerugian daerah. Pada situasi lain, sikap berbeda ditunjukan Bupatinya masyarakat Dompu. Di malam yang mencekam bupati itu hadir membersamai masyarakatnya. Hadirnya nampak memberikan energi positif untuk masyarakat Dompu “pulih dari bencana” tanpa kegaduhan-kegaduhan yang sebaliknya hidup sebelum kehadiran nama-nama pejabat Bima diatas.
Efek “Kejut” Banjir Bandang 2021
Banjir bandang yang terjadi begitu mengerikan di Kabupaten Bima telah menyita perhatian publik yang luas. Presiden Jokowi turut berbela sungkawa. Menteri Sosial terjun ke Bima membawa miliaran rupiah bantuan, didampingi kerumunan Pejabat yang dikawal langsung Bupati. Ibu Risma nama Menteri Sosial berjibaku dengan lumpur, membersikan sisa-sisa reruntuhan yang dipantau Bupati. Demikian juga dengan lembaga negara dan alat-alatnya, melayani “reruntuhan” dalam bendera kesatuan warga negara dan kemanusiaan.
Kerusakan hutan menjadi tema sentral namun “tendensius” yang disebut negara juga para pejabatnya yang menjadi asbabul nujul banjir bandang bima. Disebut tendensius, didasari kenyataan bahwa “krisis kejujuran” berjamur memahami dan menafsirkan secara holistik (utuh) varian apa saja dibalik diksi “kerusakan hutan” tersebut. Ruang publik seperti di “sensor” sedemikian rupa untuk mengarahkan pada perladangan liar (baca: petani jagung). Ruang publik melupakan bahwa selain perladangan liar yang membuat hutan NTB rusak, hilang dan kritis yang trendnya mengalami peningkatan “progresif” bergumul faktor: investasi, ijin pemanfaatan kayu dalam kawasan hutan dan illegal logging. Ruang publik juga melupakan bahwa dibalik itu mengucapkan semiotik (tanda) buruk dan timpanganya konsep pembangunan, distribusi keadilan dan tata ruang. Situasi itu berjumpa “mesra” dikala Hukum berubah menjadi permainan sekerumunan anak-anak ditengah seorang gadis dewasa.
Seperti biasa, saat bencana ekologis menerjang NTB umumnya, khusunya Pulau Sumbawa para pejabat daerah pasca diakhiri saling lempar kewenangan penanganan hutan (basisnya UU Pemda) menyuguhkan narasi yang sama. “Mengembalikan fungsi hutan, hingga alat-alat negara “obral” penindakan tegas terhadap pelakunya.” Situasi itu muncul kembali pasca banjir bandang 2021. Meski menurut ilmu pengetahuan butuh waktu 100 tahun untuk mengembalikan hutan NTB dengan anggaran triliunan rupiah, berbasis kesadaran bersama.
Penulis merasa terkejut dan terperangah reaksi yang datang dari Polda NTB pasca banjir bandang Bima. Irjen Pol Moh Iqbal (Kapolda NTB) menyatakan akan melakukan investigasi terkait indikasi perbuatan melawan hukum yang menyebabkan banjir bandang bima 2021. (Lombok Post, Rabu 7 April 2020). Melakukan investigasi pasca banjir bandang, tanda Polda NTB “terkejut” dan tidak memahami fakta-fakta utuh dari kerusakan hutan di NTB dengan seluruh faktornya. Merujuk data Dinas Linngkungan Hidup dan Kehutanan, 350 ribu hektare hutan di NTB mengalami kerusakan dengan trend setiap tahun mengalami peningkatan. Data FITRA NTB, menyatakan 80 Persen dari, 1,07 juta hektare kritis (www.infoanggaran.com).
Sementara, data WALHI NTB yang dicatat sampai tahun 2017 seperti dilansir dari Lombok Post, menyebutkan, tambang menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan NTB dengan jumlah “sumbangan” sebanyak 228 ribu hektare. Total kerusakan hutan dengan trend yang progresif meningkat mengisaratkan bahwa, investasi tambang, ijin pemanfaatan hasil kayu dalam kawasan hutan, illegal loging dan perladangan liar (perluasan lahan jagung) yang dimulai dari “skenario” kebijakan Upaya Khusus Padi Jagung dan Kedelai (Upsus Pajale) 2015 yang menjadikan Pemerintah NTB berprestasi meningkatkan produksi jagung serta meletakan NTB sebagai “lumbung jagung nasional” iyalah ragam variabel yang membuat hutan di NTB rusak, hilang dan kritis.
Menyerahkan “perladangan liar” sebagai satu-satunya biang keladi bukan saja diskriminatif, paradoks, munafik, melainkan juga mengkerdilkan petani jagung. Mengangkat tembok yang satu dengan meruntuhkan tembok lainnya tidak bisa menjembatani kita keluar dari bayang-bayang darurat ekologis. Negara dan alatnya juga mesti berterimakasih, absennya visi pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis kebijakan pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) dengan program-program yang menyentuh dari akarnya telah dilayani jagung. Karena jagung juga Pemerintah di NTB diduga melakukan korupsi puluhan miliar dari program pengadaan bibit jagung (upsus pajale) yang dimaksudkan meningkatkan produktifitas jagung yang oleh Kejati “Anak Buah” Gubernur NTB, Kepala Dinas Pertanian ditetapkan sebagai 1 dari 4 tersangka.
Sebelum banjir bandang 2021, tahun-tahun sebelumnya Pulau Sumbawa jadi langganan banjir bandang. Selain banjir bandang juga kerusakan hutan telah berbuah: bencana krisis air yang sangat besar. Data BPBD NTB seperti dilansir Suara NTB (2020) mengungkapkan, 9 dari 10 Kab/Kota yang tersebar di 77 Kecamatan, 257 Desa/Kelurahan atau 736.492 jiwa terdampak krisis air. BPBD NTB juga menyebutkan Kabupaten Bima sebagai daerah yang mengalami bencana krisis air terparah.
Pertanyaanya, mengapa Polda NTB bereaksi melakukan investigasi pasca banjir 2021? Tahun-tahun sebelumnya kemana? Bukankah banjir itu perkara tahunan, krisis air juga tahunan dan kerusakan hutan asbabulnujulnya?
Meski salah momen, menurut penulis investigasi harus dilakukan. Apakah investor, para penjahat kayu dan petani bahkan oknum-oknum ditubuh Pemerintah dan aparat besar harapan diungkap tuntas dari akar-akarnya. Tidak mungkin Polda NTB hanya berani menindak para petani.
Membangun Dari Reruntuhan
Dewasa ini, walau Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (berkembang pesat), melindungi hajat hidup warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial (tujuan bernegara) menjadi masalah yang tak kunjung sampai pada tujuan. Informasi dan data-data ketidakadilan masih berjamur dalam seluruh etalase kehidupan berbangsa dan bernegara. Mendekati 1 abad republik, paradigma kolonialisme dalam ragam perilaku dan tindakan masih menjadi headline yang mengisi ruang publik. Cita-cita negara hanya diobral dalam teks manis pancasila dan konstitusi kita. Penulis berpendapat ketidakadilan yang “memekar” dalam berbagai rupa yang ditunjang IPM dan Literasi bangsa indonesia yang tidak bisa membaik.
Bukan saja Sumber Daya Alam yang diukuasai segelintir oligark. Sumber Daya Manusia bernasib sama. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis hanya tampil mayoritas dalam dua hal, pertama teks konstitusi. Kedua teks pejabat negeri. Setelah post-modrnisme, feodalisme lama masih tumbuh eksis mengurai ironi. Feodalisme, penulis anggap faktor bhatin yang melegitimasi ketidakadilan. Termasuk dalam konteks: hutan, masyarakat, pemerintah dan banjir bandang. Situasi ini barangkali telah mendarah daging seperti istilah “disorder of law” yang diperkenalkan Charles Sampford, atau dalam pandangan, C.f Gary Saalman Jr yang menyatakan, “Dewi Themis dalam kenyataanya tidak memegang pedang dan timbangan dalam keadan mata tertutup. Themis dalam kenyataanya senang bermain mata dengan pedang dan timbanganya. Ia buka dewi yang tulus, tetapi sebaliknya culas dan pilih kasih. Atas nama “timbangan” (keadilan), ia ayunkan pedangnya kepada kaum miskin dan minoritas yang termarginalkan. Sidang-sidang pengadilan menjadi sandiwara dengan biaya mahal demi memberi legitimasi terhadap skenario kekuasaan”. (Shidarta 2013, “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum”).
Tidak perlu punya pangkat dan sekolah tinggi untuk menguarai asbabul nujul banjir bandang dan bencana ekologis lainya. Barangkali manusia post modrn memerlukan idiologi alternatif sebagai “pegangan” hidup setelah humanisme telah membuat alam terjajah. Kita barangkali memerlukan filsafat neo-humanisme (persaudaraan sesama makhluk) untuk dijadikan pegangan hidup. Kesulitan disini iyalah “transisi” yang sukar. Menjadi manusia demi manusia saja pekerjaan yang sangat sukar.
Tapi kehidupan harus berlanjut. Banjir bandang akan selalu jadi sajian dimusim hujan dan krisis air akan menjadi sajian setiap musim kemarau. Kita harus terlatih menghadapi ini, disamping menagih seluruh kebijakan yang tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran untuk mengsubsidi hutan kita. Kita sepakat saja bila tak ada dusta diantara negara, pemerintah dan warga negara NTB bisa pelan-pelan mengembalikan hutan tutupan dan lindung yang rusak, hilang dan kritis itu. Namun, bila semua masih belum jujur dan bekerja bersama-sama, kita akan collapse. Keruntuhan peradaban itu akan paling cepat terjadi di Pulau Sumbawa.
Pemerintah Provinsi NTB memiliki Perda No. 14 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Hutan. Dalam perda itu, Pemprov NTB wajib mengalokasikan sedikitnya 2 persen dari total APBD untuk perlindungan dan rehabilitasi hutan. Menurut Fitra NTB, aloksi APBD untuk kehutanan 2017-2020 hanya 0,6 persen, sedangkan alokasi APBD 2021 tidak mencapai 2 persen.
Gubernur NTB juga sudah menerbitkan morotorium penebangan dan perederan hutan kayu, melalui intruksi gubernur: 188.4.5-75/Kum tertanggal18 Desember 2020 yang ditujukan pada Dinas LHK, Perhubungan, Kepala Penyelenggara Pelabuhan se-NTB, Satgas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Bapedda dan Bupati/Walikota se-NTB. Poin-poin krusial intruksi Gubernur menurut penulis terdiri dari:
- Menghentikan sementara kegiatan penebangan sementara seluruh kegiatan penebangan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan kayu dikawasan hutan.
- Meningkatkan operasi pengamanan dikawasan hutan melalui kegiatan patroli dan penjagaan secara ketat
- Melarang pengangkutan kayu melalui pelabuhan.
Merujuk data FITRA NTB, hutan itu rusak tidak lepas dari sikap Pemprov NTB yang terlalu mudah mengobral perijinan pada perusahaan dikawasan hutan, yang mayoritasnya berupa ijin pertambangan dan ijin usaha pemanfaatan kayu. Keterangan ini paradoks dengan morotorium Gubernur yang berkesan “cuci tangan” dan tidak terukur menerapkan aturan. Gubernur sendiri keluhkan kelolosan kayu walau ada morotorium yang perintahnya jelas dan terang pada seluruh sektor terkait melarangnya. Mengapa bisa kelolosan, ini juga masaalah. Bagaimana dengan pengangkutan kayu pra bergulirnya morotorium?
Situasi pelik ini, mestinya perintahkan seluruh perusahaan atau penambangan yang membuat hutan rusak dihentikan secara permanen. Disamping mendesak Polda menginvestigasi perusahaan tambang dan perusahaan pemegang ijin usaha hasil kayu dalam kawasan hutan yang diduga membuat hutan rusak. Setelah itu, barangkali geliat “semesta” menanam dan merawat pohon harus jadi idiologi bersama demi kehidupan bersama kita semua.
Mataram, 9 April 2021
*Penulis adalah Aktivis HMI dan Relawan LPW NTB