Menakar Problematika Lingkungan
Oleh: Lisdalifa Titis Sufiana – Duta Lingkungan NTB 2020
Pada hari Kamis 22 April lalu, merupakan peringatan Hari Bumi Internasional. Peringatan ini sekaligus sebagai momentum untuk merefleksikan keadaan bumi saat ini. Bukan hanya sekedar ajang euphoria semata, melainkan sebagai peringatan sekaligus penyemangat untuk umat manusia dalam menghadapi kerusakan yang semakin parah diakibatkan oleh prilaku mereka sendiri.
Dengan rasa angkuh yang kerap kali diimbangi dengan keegoisannya mendahului setiap tindakan tanpa memikirkan dampak yang berakibat fatal untuk sekelilingnya. Sehingga munculah permaslahan lingkungan seperti kemerosotannya debit air tawar, maraknya kasus banjir di beberapa tempat, perubahan iklim, sampah berceceran dimana-mana dan masih banyak lagi bencana yang tengah kita hadapi dalam kurun waktu dekat ini.
Kekeliruan dalam mengimplementasikan pendekatan pada alam menimbulkan dampak yang dirasakan semua mahluk hidup di bumi. Bertindak bahwa memiliki posisi paling penting yang menjadikan diri sebagai sentral dari lingkungan sehingga merasa lingkungan berhak untuk di eksploitasi habis-habisan. Hal ini merupakan refleksi turunnya nilai etika dari pada manusia. Memiliki sifat angkuh bukanlah cerminan dari mahluk yang memiliki kecerdasan di atas makhluk lainnya melainkan dengan kecerdasan yang ada sebaiknya dijadikan sebagai landasan agar terampil dalam bertindak dan berfikir.
Atau, mungkin karena merasa itu adalah keunggulan sehingga beranggapan bahwa setiap tindakanya benar. Manusia telah gagal memahami serta mengimplemntasikan pernyataan dari “memanusiakan manusia”. Pernyataan yang seharusnya bukan lagi dipahami hanya ketika melakukan hubungan baik antar sesama manusia saja, namun telah memiliki cakupan yang luas. Dengan melakukan kebermanfaatan atas setiap tindakan yang di lakukan baik kepada sesama manusia, diri sendiri, bahkan mahluk lainya adalah keutuhan dari pernyatan tersebut.
Maka, terlahirlah manusia-manusia yang tidak peduli etika. Mengenyampingkan kepentingan alam, menempatkannya setelah semua kebutuhan manusia usai terpenuhi. Perilaku ini memberikan penjelasan bahwa lingkungan dipandang bukan sebagai suatu keutuhan oleh sesama mahluk hidup sehingga melandasi pemberian kedudukan alam sebagai suatu objek daripada kebutuhannya. Bahkan alam dipandang sebagai sarana, tambang kekayaan, sumber kekayaan dan sumber energi yang harus memenuhi isi dompet-dompet dan saku untuk meraup keuntungan.
Dewasa ini, semakin banyak aktivis lingkungan yang turun andil dalam perlindungan dan kelestarian alam, namun tidak sedikit pula yang memanfaatkan dan menjadikannya sebagai kesempatan emas untuk mengeruk habis isi bumi hanya sekedar untuk memenuhi hasratnya demi kesejahteraan kelompok saja. Dapat dipahami, bumi hanya dijadikan objek untuk kemewahan hidup para kaum kapitalis global yang beralasan reboisasi dengan terus melakukan pengerukan secara buas melalui bisnis-bisnis ekstraktif dan melakukan pembukaan lahan besar-besaran tanpa ada perhitungan kemudian dilanjutkan dengan eksploitasi, akumulasi dan terus berekspensi. Sama halnya dengan apa yang tejadi di kawasan hutan kinpan atau hutan harapan; kontra ekologis. Tindakan reboisasi yang dijunjung oleh para elit sesungguhnya tak benar-benar memberikan dampak lebih baik untuk lingkungan.
Modus demi modus manusia bermunculan. Mulai dari mengeksploitasi alam habis-habisan, terbukti dengan ada tujuh juta hektar hutan mengalami deforestasi pertahun di dunia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh salah satu aktivis lingkungan, Sony Keraf. Selain itu, tercermin pada kasus yang tengah menimpa dua daerah di Indonesia beberapa waktu lalu, yakni banjir di Bima, NTB dan Seroja, NTT. Bencana tersebut harusnya menjadi momentum untuk merefleksikan diri, mengevaluasi segala kebijakan, bahwa sesungguhnya reaksi alam merupakan dampak dari ulah manusia. Adanya kecacatan dari cara berpikir manusia yang mengorbankan alam demi isi dompet. Alhasil bencana demi bencana yang terjadi menimpa warga setempat memberikan kerugian pada fasilitas, mental, fisik dan tentunya ekonomi.
Banjir diantara kedua daerah ini sebagai bukti dari kemarukan kaum manusia yang pada akhirnya memberikan imbas untuk mereka sendiri. Adapun kasus banjir yang terjadi di Bima tidak mungkin bencana yang sama terjadi berulangkali. Hal ini memberikan pembuktian bahwasanya ada yang salah pada tatanan pengelolaan lingkungannya. Area perbukitan yang seharusnya memiliki pepohonan besar tegak nyatanya telah mengalami penggundulan dan pergantian pokok tanam yang digantikan dengan tanaman jagung. Sudah sangat jelas akar-akar tanaman jagung tidak akan kuat menahan air di dalam tanah dengan curah hujan tinggi. Namun, inilah pola pikir para oknum lahan jagung yang lebih mementingkan kebutuhan perut dan dompet dengan mengorbankan ekosistemnya. Tentu hasil panen tak akan setara dengan akibat yang dirasakan.
Terjadinya krisisi ekologis pada manusia yang mengakibatkan eksploitasi alam besar-besaran terus dilakukan. Hal ini sesuai dengan teori etika lingkungan yang memandang bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta sehingga melahirkan pemikiran bahwa dunia diciptakan hanya untuk kepentingan manusia; antroposentris. Oleh karna itu banyak kalangan yang mengartikan hal ini sebagai suatu kelumrahan ketika manusia menguras alam demi memenuhi kepentingan dan kehidupannya tanpa memperdulikan kelanjutan lingkungan. Franz Magnis Suseno juga mengaitkan kejadian demi kejadian yang dihadapi alam dengan keberadaan manusia yakni dari pemikiran antroposentris dengan ekonomi kapitalis.
Ekonomi kapitalis berorientasi pada laba, hal yang terjadi hanyalah eksploitasi sumber kekayaan alam dengan terus menggali, membongkar, menebang, tanpa memikirkan resiko pada alam dan pencemaran yang akan dialami lingkungan karena dengan hal tersebut dapat meningkatkan biaya produksi yang menguntungkan. Jika saja proses produksi kapitalis dibiarkan maka akan selalu memberikan kerusakan pada alam melebihi apa yang tengah kita alami saat ini, baik dengan adanya pengaruh kerusakan iklim, polusi, limbah dan lain sebagainya. Sebab itulah paradima antroposentris mengkategorikan salah satu penyebab utama kerusakan dari alam dan lingkungan ialah manusia.
John Bellamy Foster pernah menyampaikan bahwa bumi telah diatur untuk korporasi dan industri sebagai arena perang saling berebut makan. Bumi hanya dijadikan objek untuk kemewahan hidup para kaum kapitalis global yang beralasan reboisasi dengan terus melakukan pengkerukan dengan buas melalui bisnis-bisnis ekstraktif bahkan sampai melakukan pembukaan lahan besar-besaran tanpa ada perhitungan yang kemudian melakukan eksploitasi, akumulasi dan selalu berekspensi. Sesungguhnya tindakan-tindakan yang dilakukan para kaum kapitalis ini adalah bentuk dari kontra ekologis. Dengan menjunjung reboisasi, para kaum elit sesungguhnya tak benar-benar memberikan keuntungan baik untuk lingkungan melainkan memperburuk dan memperkeruh keadaan dan ketahanan alam. Terbukti dengan adanya tanah longsor, banjir serta prihal kerusakan iklim dan polusi.
Tanpa disadari kerusakan bumi juga tenyata merusak manusia sendiri. Di bumi kita berpijak, seharusnya menjadi tempat kita mengada. Segala aktivitas kehidupan dimulai disini dan akan berakhir di tempat ini pula. Maka ketahanan dari alam akan membawa kehidupan lebih baik. Kondisi dari sebuah rumah menjadi cerminan dari sosok yang tinggal didalamnya jika saja tuan rumah adalah manusia dan rumah itu adalah bumi sehingga dapat diilustrasikan jika pemilik rumah penyayang hewan maka akan banyak peliharaanya berkeliaran di pekarangan. Jika penghuninya mencintai hal-hal yang indah maka tentu lingkungan di rumah itu akan bersih dan asri pula.
Sebaliknya, jika pemilik rumah tidak peduli dengan keindahan maka akan terdapat rumah yang kumuh dan dipenuhi jaring laba-laba, hal ini diakibatkan karena tidak terawatnya rumah tersebut. Begitupun apabila keadaan hutan di bumi semakin menggundul ini menandakan para manusia acuh karena adanya tingkat keegoisan dalam memposisikan diri sebagai pusat dari alam.
Seharusnya jika memang memposisikan diri sebagai pusat dan pemilik bumi, seyogyanya kita umat manusia menjaga dan melestarikannya, bukan hanya sekedar menggarap dan menghambur-hamburkan tanpa ada bentuk pemulihan dari setiap bencana guna membawa perubahan untuk bumi lebih baik untuk keberlanjutan hidup bersama. Kesadaran manusia saat ini akan memberikan perubahan untuk kehidupan ribuan tahun ke depan.
Editor: Hamdi, SPd., M.AP