Matinya Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Oleh: Muhamad Afif (Anggota HMI Komisariat Hukum UNRAM)
Akhir-akhir ini telah ramai di jagad dunia maya. Oknum kepolisian melakukan tindakan represifitas terhadap warga negara. Tindakan-tindakan tersebut seringkali didukung oleh dalih yang disampaikan oleh pihak kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Memperingati dua tahun kinerja rezim indonesia maju dibawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf. HMI cabang Mataram mengambil inisiasi untuk sedikit melakukan kilas balik terhadap apa yang telah dilakukan oleh jokowi-Ma’ruf serta problematika apa saja yang terjadi pada era rezim ini. Dengan berbagai kajian yang mendalam serta didukung oleh data-data yang diperoleh. Kader HMI se-cabang mataram sepakat untuk memenuhi kewajiban moralnya sebagai organisasi perjuangan.
Penyampaian orasi dari tiap-tiap orator berjalan begitu saja tanpa adanya gangguan sedikitpun. Substansi-substansi kritik diekspresikan melalui resonansi vokal tiap orator. Namun, sepanjang penyampaian orasi tersebut berlangsung tidak memberikan respon terhadap massa aksi. Akibat dari kekecewaan tersebut, massa aksi mengepresikan wujud kekesalannya tersebut melalui bakar ban. Aksi pembakaran ban ini merupakan puncak kulminasi dari wujud kekesalan tersebut. Aksi pembakaran ban ini tentu tidak diterima begitu saja.
Kepolisian sebagai aparatur keamanan untuk mengamankan keberlangsungan aksi tersebut langsung mengambil langkah untuk memadamkan api yang menyala melalui ban yang dibakar. Balasan dari massa aksi pun tidak diam begitu saja. Dengan menghadang pihak kepolisian untuk menghentikan pemadaman api tersebut. hingga terjadilah sedikit gesekan diantara kedua pihak tersebut. Asap yang keluar setelah pemadaman, memburamkan pandangan massa aksi. Sehingga kiranya beberapa oknum kepolisian memanfaatkan kesempatan itu dengan sedikit merepresi massa aksi dengan tujuan memundurkan para demonstran tersebut.
Kepolisian yang secara idealnya hadir sebagai the guardian (penjaga hukum). Sebagaimana semboyan kepolisian yang menyebutkan bahwa polisi hadir untuk melayani, melindungi dan mengayomi. Tetapi yang terjadi pada praktiknya, sangatlah jauh dari apa yang di idealkan. Jauh dari cita-cita das sollen-nya. Sebagai penjaga terhadap keberlangsungan penyampaian narasi-narasi kritis tersebut, kini pihak kepolisian telah berubah menjadi sosok brutal yang mempertontonkan aksi brutalitasnya dihadapan rakyat. Aparatur penegak hukum, wabil khususnya pihak kepolisian yang seyogyanya sebagai penjaga bagi keberlangsungan pemenuhan hak asasi manusia, justru melanggar hak asasi manusia tersebut.
Jika praktik-praktik brutalitas tersebut tetap dibiarkan terjadi, lebih-lebihnya lagi tindakan tidak manusiawi itu dilakukan oleh sosok yang memberikan jaminan bagi keberlasungan keamanan warga negara. Maka yang menjadi pertanyaan besar bagi kita semua adalah masyarakat percaya pada siapa?.
Mahasiswa saja yang mejadi mitra kritisnya pemerintah, sebagai bentuk evaluasi check and balance terhadap sistem kebijakan, namun Itu tak dipandang manusiawi oleh pihak kepolisian. Pada siapa masyarakat mendapatkan jaminan keamanan bila pihak-pihak penjamin bagi keberlangsungan ketertiban tersebut justru menerobos apa yang menjadi tugas dan fungsinya.
Watak kepolisian ini menghadirkan Distrust (Ketidakpercayaan) bagi masyarakat. Tindakan tindakan manusiawi tersebut tetap dilanggengkan dan lama-kelamaan akan mempengaruhi budaya hukum kita, sehingga melahirkan watak aparat yang “ringan tangan” terhadap rakyatnya. Dalam institusinya seharusnya POLRI menindak tegas oknum-oknum yang menjadi “Preman Berseragam”, mengatasnamakan hukum dalam kekerasan, sehingga POLRI harus membuktikan visi humanisnya dan demokratis dihadapan rakyat dengan MEMECAT okum yang bersangkutan.
Editor: Safran, S.H.,M.H
Sebaiknya melihat referensi balik dari pihak ke 2, agar tidak tenggelam dalam opini provokatif.