Korban Pilkades Ricuh Bima: Bupati, Gubernur Hingga Kapolda Bungkam
Oleh: Mu’amar Adfal, S.H (Tim LPW NTB dan Koordinator KOMPAK)
Matinya Muardin menjadi tragedi pahit dan bersejarah bagi keluarga, anak serta cucunya. Menjadi sejarah kelam bagi pesta demokrasi yang berlangsung di Kecamatan Ambalawi, Kab. Bima. Musibah yang sama tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi pada masa yang akan datang.
Pilkades serentak, ricuh, menjadikan Muardin sebagai tumbal. Kondisi ini akan menjadi preseden buruk bagi Pilkades serentak di Kab. Bima. Siapa yang bisa memberikan kepastian bahwa pesta demokrasi di Kab. Bima ke depan akan baik-baik saja.
Kendati aparat penegak hukum mengaki mengerahkan kekuatan TNI dan Polri untuk menjaga keamanan selama pelaksanaan pesta demokrasi. Dimaksudkan untuk kelancaran, aman dan terkendali. Karena, peristiwa yang menimpa Muardin, justru terjadi disaat aparat keamanan melakukan tugasnya mengamankan pesta demokrasi.
Kisah Tangis Demokrasi
Demokrasi adalah sistem yang di anut oleh bangsa Indonesian yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, serta kesamaan hak. Menghargai pendapat, keberagaman, kepercayaan, pilihan, cita-cita, serta mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang termuat dalam “Pasal HAM UUD 1945”.
Di lansir dari “Kumparan.com (2/3/19)”, sebagai pembanding, ada kisaran ratusan bahkan ribuan penyelenggara dan pengawas pemilu bernasib seperti Rudi dan Niman. Berdasarkan data KPU per Rabu (1/5) malam, total 380 meninggal dunia, 3192 dalam keadaan sakit. Jumlah itu belum termasuk korban dari jajaran pengawas pemilu.
Infografis Korban Nyawa di Pemilu Raya, Bawaslu mencatat 79 orang pengawas meninggal. Sementara, korban dari pihak kepolisian hingga saat berita ini diturunkan juga sudah mencapai 22 orang yang wafat. Dengan penyebab kematian para korban beragam. Tetapi, sebagian besar dari mereka mengalami serangan jantung. Rentetan panjang proses pemilu diduga menjadi menjadi pemicunya.
Hingga pada 6 Juli 2022, Pilkades serentak (Kab. Bima) masih menelan peristiwa yang memakan korban nyawa. Beberapa korban luka-luka akibat tembakan gas air mata dan satu korban tembakan di kepala hingga meninggal dunia (Muardin). Di duga kematian Muardin akibat terkena benda tumpul (hasil autopsi jenazah dan keterangan saksi-saksi), dugaan kuat mengarah akibat terkena tabung peluru gas air mata.
Walaupun kematiannya berbeda-beda penyebab (antara kelelahan dengan konflik), namun tragedi pemilu 2019 hingga Pilkades serentak Kab. Bima 2022, terekam peristiwa yang sama yakni peristiwa menumbalkan manusia. Ini menyimpulkan bahwa demokrasi dari tahun ke tahun tidak aman, selalu saja menawarkan tumbal.
Hukum dan Sistem Penegakan
Hukum materil akan tegak apabila hukum formil berlaku tegak. Jadi perangkat hukum formil menjadikan hukum ini sebagai pejantan sesungguhnya yang bisa memberikan rasa aman, nyaman, damai serta ketertiban.
Hukum dalam sistem penegakan menyerukan kesamaan bagi setiap manusia asas (aquall). Ini jelas di uraikan dalam asas hukum pidana tentang kesamaan di depan hukum. Namun tidak secara tegak lurus diberlakukan, atas kepentingan-kepentingan tertentu, kemurnian hukum tergeser oleh sistem penegakan yang tidak taat hukum.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa Penegakan hukum terjadi apabila ada ketidak serasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (Tritunggal).
Namun penegakan hukum akan tidak maksimal bila di pengaruhi oleh faktor hukum (kebijakan), penegak hukum (tidak profesional) sarana atau fasilitas (tidak memadai), kondisi masyarakat (hilang kepercayaan) dan pengaruh kebudayaan (bertolak belakang).
Selain dari faktor-faktor tersebut timbul faktor-faktor yang menyayat moral hukum. Seperti halnya kasus “Sambo dan Teddy Minahasa”. Yakni tindakan inkonsistensi serta an-profesional Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini yang memicu lunturnya kepercayaan publik pada tubuh institusi Kepolisian RI, sehingga tuntutan Reformasi Birokrasi sedang gencar dilakukan.
“Setiap masyarakat dianggap tahu hukum “, asas yang menjadi dasar untuk menutup sebuah alasan dari perbuatan yang melawan hukum. Skalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara.
Disini peran Lembaga-lembaga penegak hukum atau lembaga terkait dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen. Seperti halnya membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi. Yang berwenang melakukan penegakan hukum.
Misteri Kematian Muardin
Mulai dari mengajukan laporan oleh pihak keluarga hingga dengan tahap-tahap BAP Saksi-saksi, autopsi jenazah, hingga kini belum ditemui titik terang siapa yang berbuat di balik meninggalkannya Muardin.
Berdasarkan uraian kuasa hukum Muardin (PBH LPW) yang di wakilkan oleh Adhar, S.H.,M.H menyatakan sampai hari ini belum di temui benang merah atas kasus yang menimpa klien kami. Pihak penegak terkait harusnya bertindak lebih dan melampaui dari kami sebagai bentuk tanggungjawab sumpah jabatan serta tanggung jawab moral. Bahkan beberapa catatan hasil investigasi Tim kami, menyatakan ada indikasi pengaburan fakta-fakta hukum, mengintimidasi saksi-saksi, dan mengungkap seolah-olah kasus ini tidak bisa di ungkap siapa pelakunya, “Sampai hari ini kami belum bisa menentukan siapa yang bisa di sangkakan oleh karena belum ada alat bukti”, ungkap Penyidik Polres Bima Kota.
Miris, apakah kematian Muardin di anggap seperti hal matinya anak ayam?. Apakah tidak ada yang terluka, berduka, ataukah kematian Muardin menjadikan matinya nurani Kepolisian Resor Bima Kota, Polda NTB serta Pemda Bima dan Pemprov NTB?. Dimana Kapolres Bima Kota? Dimana Bupati Bima? Dimana Kapolda NTB ? Dimana Gubernur NTB ?
Tugas pokok dan wewenang Polri diatur melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang pada Pasal 13, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman kepada masyarakat.
Kalau saja kasus yang menimpa Muardin tidak secara terang di proses dan tidak pula menemukan kesimpulan, tentu akan menambah catatan buruk bagi institusi Kepolisian.
Tidak hanya polisi sebagai penegak hukum, pemerintah Kabupaten Bima dalam hal ini Bupati Bima juga harus bertanggung jawab atas peristiwa ini. Sebagai bentuk pemerintahan yang baik, pengayom, melindungi, serta sebagaimana falsafah “Bima Ramah”.
Artinya percikan falsafah itu tidak hanya hidup dalam genggaman kata, semboyan saja, tetapi hidup dalam napas perjuangan, napas Pemda Bima.
Harusnya peristiwa ini tidak mesti melibatkan pemuda/mahasiswa, LSM, serta kelompok-kelompok tertentu. Kalau nurani instansi pemerintah, kepolisian itu kuat nan pemerhati.
Jangan salahkan masyarakat kalau keberlakuan sistem hukum absolutisme dalam dataran masyarakat atas hilangnya kepercayaan terhadap institusi Kepolisian dan pemerintah itu terjadi di Kabupaten Bima.
Editor: Safran, S.H., M.H
* Tulisan ini pernah dimuat di Bimanews.id, dengan judul “Kematian Muardin, Matinya Nurani Para Pemimpin”, tanggal 6 November 2022