Kontradiksi Hak Perempuan Pekerja dalam Pengesahan RUU Kesehatan Ibu dan Anak

0Shares

Oleh: Riska Ari Amalia, S.H.,M.H – Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram

Hari Keluarga Nasional diperingati setiap tanggal 29 Juni. Dalam momentum tersebut, Ketua DPR Puan Maharani mengingatkan pentingnya pencegahan permasalahan gizi kronis, atau yang dikenal sebagai Stunting. Dikutip dari detik.com, Puan memberikan keterangan:

“Selamat memperingati Hari Keluarga Nasional tahun 2022 untuk seluruh keluarga di Indonesia. Mari kita jadikan momen Hari Keluarga Nasional untuk lebih aware lagi terhadap persoalan gizi anak,” kata Puan dalam keterangan tertulis, Rabu (29/6/2022).

Tak lupa, Puan juga mengajak masyarakat mendukung RUU KIA (Rancangan Undang-Undang Kesehatan Ibu dan Anak) yang sedang digarap oleh DPR untuk segera disahkan sebagai undang-undang. Menurut Puan, salah satu focus utama dalam RUU KIA adalah pencegahan stunting.

Dalam naskah akademik yang diunggah oleh Baleg DPR, semangat RUU ini berkaitan dengan hak warga negara yang dijamin oleh UUD NRI 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan. Bahkan anak memiliki pasal tersendiri, yakni Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan secara khusus bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Ada beberapa poin penting yang diatur dalam draft RUU KIA, yaitu cuti bagi ibu yang melahirkan selama 6 bulan, cuti bagi ibu yang keguguran selama 1,5 bulan, kemudian pemenuhan laktasi dan waktu istirahat bagi ibu yang bekerja. Pemenuhan hak ini merupakan angin segar bagi keluarga. Ibu baru memiliki rentang waktu yang lebih panjang dalam pemenuhan kebutuhan anak. Diharapkan dengan rentang waktu sekian, ibu dapat lebih fokus mengurus anak dan mencegah tingginya angka stunting. Selain itu RUU KIA turut memfasilitasi hak seorang suami untuk mendampingi istri yang baru melahirkan dan keguguran, poin pentingnya terletak pada hak cuti bagi suami yang istrinya baru melahirkan sebanyak 40 hari, sementara bagi suami yang istrinya keguguran memiliki hak cuti selama tujuh hari.

Perempuan Pekerja

Sejak Kamis, 30 Juni 2022, RUU KIA telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Ketua DPR RI Dikutip dari tempo.com tanggal 30 Juni 2022, Puan Maharani menyebut RUU KIA akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki tumbuh kembang yang baik agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Sejak awal RUU KIA dibahas hingga disahkan menjadi sebuah RUU, media nasional telah banyak mengangkat berita tersebut. Sebagian masyarakat mengapresiasi inisiatif DPR sebagai sebuah solusi bagi ibu yang baru melahirkan. Namun kenyataan di lapangan belum tentu memenuhi ekspektasi masyarakat akan kehadiran RUU KIA.

Berdasarkan data dari BPS tahun 2018-2021, presentase jumlah pekerja perempuan dalam sektor formal selama 3 tahun terakhir lebih rendah dibandingkan presentase jumlah pekerja laki-laki. Mengapa presentase jumlah pekerja pekerja perempuan lebih rendah dibanding laki-laki? Padahal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Indonesia hanya mengatur pemenuhan hak standar bagi pekerja perempuan. Ini tentu menjadi pertanyaan yang membutuhkan jawaban solutif agar pemenuhan hak bekerja pada laki-laki dan perempuan berimbang.

Ambiguitas Hak

Seharusnya data itu, menjadi pedoman oleh DPR dalam menyusun sebuah RUU yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. DPR harus lebih mengkaji isi dari RUU tersebut, apakah pemenuhan hak bagi perempuan sebuah solusi atau justru melemahkan posisi tawar perempuan sebagai pekerja. Sebaliknya, data BPS terbaru pada tahun 2017-2019 menujukkan bahwa presentase pekerja perempuan dalam sektor informal lebih dominan dibanding pekerja laki-laki. Dalam hal ini DPR Kembali harus mempedomani data, apakah RUU ini dapat diaplikasikan dalam sektor formal atau informal? Mengingat perbedaan sektor, dan jenis pekerjaan musiman ataupun pekerjaan rutin turut berdampak terdampak praktek pemenuhan hak pekerja di lapangan, khususnya bagi pekerja perempuan.

Selanjutnya APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) juga mengkritik RUU KIA. Dikuti dari Kompas.com tanggal 27 Juni 2022, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J Supit menyatakan, angka stunting bisa diturunkan dengan perbaikan layanan kesehatan bagi ibu hamil jadi tidak terkait langsung dengan ibu yang bekerja, terlebih kondisi ekonomi saat ini belum pulih sepenuhnya akibat pandemi covid-19 turut memberatkan pengusaha untuk menerapkan aturan tersebut. Dalam press release resmi tertanggal 21 Juni 2022, Komnas Perempuan mengapresiasi RUU KIA sekaligus mengingatkan bahwa pengaturan tersebut dapat membatasi hak bekerja pada perempuan. Dalam pembahasan RUU KIA, DPR dihadapkan beberapa PR yang belum selesai, yakni berdialog dengan APINDO sebagai pihak yang terdampak, riset data mengenai pemenuhan hak bekerja perempuan di lapangan, serta harmonisasi dengan peraturan ketenagkerjaan lainnya.

Editor: Adhar, S.H., M.H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp