Kisah Kelam Lubang Jalan “Bima Ramah”
Oleh: Satria Tesa, S.H – Tim Hukum LPW NTB
Lubang-lubang jalan telah mengilhami merebaknya perlawanan mahasiswa dan pemuda. Hujan kritik dan protes silih berganti mengobok-obok zona nyaman Pemerintah Daerah tiga tahun terakhir. Memang nyata adanya, kezholiman selalu melahirkan perlawanan atau perjuangan keadilan. Tentu kerusakan jalan daerah buah dari kebijakan pembangunan yang tak bisa membaca kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.
Pemerintah tidak punya niat baik menuntaskan masalah, tidak punya perencanaan yang jelas, feodal, berlaku tidak adil serta terkungkung APBD yang disebutnya terbatas. Atas dasar itulah meluasnya jalan daerah yang mengalami kerusakan. Kondisi ini sesuai dengan fakta bahwa 374 Kilo Meter (Km) jalan mengalami kerusakan dari total jalan daerah yang mencapai 831 Km. Ini artinya jalan dalam keadaan mantap itu 413 Km dan 43 Km dalam keadaan sedang. (Bima Dalam Angka, 2023).
Bupati dan Wakilnya, sampai hari ini belum pamer prestasi dibidang pembangunan infrastruktur. Publik juga belum mendapatkan informasi total jalan yang ditingkatkan, direhabilitasi dan dipelihara selama mereka memimpin daerah. Namun, sebelum pemerintahan mereka berakhir 2024 nanti, puluhan triliun anggaran negara telah selesai dikelola.
Selain merebaknya perlawanan, lubang-lubang jalan telah “memupuk” kreatifitas sosial atau solidaritas masyarakat. 2022 lalu warga Desa Mpili, Oo, dan Desa Kala Kecamatan Donggo bergotong royong menanam beton pada banyak sekali lubang jalan. Kini, warga Desa Wadukopa Kecamatan Soromandi berencana “mengaspal” jalan sepanjang 1 Km dengan Beton Molen berkualitas tinggi. Bukan hanya itu, warga tersebut juga telah menggali parit sepanjang 2 Km, menggunakan alat berat. Tak tanggung-tanggung biaya yang dikumpulkan mencapai Rp. 1,3 Miliar. Demi memperindah jalan kewenangan Pemkab Bima itu.
Gerakan swadaya tersebut muncul setelah jalan mengalami kerusakan bertahun-tahun. Khusus Jalan Wadukopa, telah rusak berumur lebih dari 7 Tahun. Pemerintah enggan melaksanakan tanggungjawab memperbaiki jalan. Pernah ada usulan, pembahasan dan penetapan 1 Miliar dari APBD 2023 oleh Pemerintah (Banggar DPRD dan TPAD), untuk menyicil perbaikan tersebut, namun sayang ada oknum culas yang “mencopet” dan mengalihkan ditempat lain. Sebelum RAPBD diteken Bupati dan ketua DPRD menjadi APBD (Perda APBD).
Masyarakat kemudian mengambil alih tanggung jawab tersebut. Gerakan masyarakat tersebut memang tidak membuat seluruh jalan rusak yang ada berubah menjadi indah seperti ketika diaspal atau hotmik oleh negara. Setidak-tidaknya ruas-ruas dengan kerusakan terparah sedikit lebih mantap untuk dilalui. Penulis optimis cara itu bisa mengurangi potensi kecelakaan lalu lintas dan membantu sedikit mempercepat mobilitas sosial-politik masyarakat dan Pemerintahan. Kabar baiknya, Polres Bima juga ikut melakukan hal yang sama dengan memperbaiki jalan rusak di Kecamatan Sanggar. Betapa menggembirakan jika Polres melakukan dibanyak tempat lain, menggandeng Kejari Bima bahkan penyidik KPK. Bukankah ini menakjubkan?
Gerakan swadaya masyarakat Donggo-Soromandi patut jadi “perjuangan keadilan” yang bisa dilakukan masyarakat lainnya. Khususnya yang dililit masalah kerusakan terparah, serta berumur panjang. Gerakan tersebut bisa jadi pelengkap pajak yang dibayarkan setiap tahun. Langkah itu bisa memberi makna tentang kehendak menata daerah, jika otoritas malas atau menutup pintu kebijaksanaan dalam melaksanakan tugasnya.
Tentu ini menjadi penting, disaat Pemerintah barangkali punya banyak kesibukan lain. Dibanding mengurus kepentingan dan kebutuhan rakyat. Meskipun Pemerintah dibekali gaji, tunjangan, biaya operasional, honor dan sederet fasilitas mewah dan mentereng yang juga mahal sekali, rakyat harus paham mereka juga manusia yang harus mengurus dirinya, keluarganya, komunitas hingga kroni-kroninya.
Memahami ini, tentunya, memberikan pesan bahwa baiknya tidak terlalu berharap atasnya. Apalagi jika pemimpin pemerintahannya diisi manusia yang sibuk memperkaya diri sendiri, keluarganya sendiri dan komunitas serta kroninya. Barangkali lebih membuat mereka hidup berarti dengan membangun “keluarganya” sendiri, dibandingkan membangun “Dou Labo Dana”.
Faktanya, hanya nyawa saja yang belum diberikan masyarakat untuk pemerintah demi mengurus urusan jalan. Pikiran, pajak, darah dan penjara telah terberi. Sejak 31 Mei lalu, lebih dari selusin generasi muda, telah mendekam dalam penjara. Kini total 18 orang sedang diproses hukum, 16 orang bersidang di Pengadilan Negeri Bima, 2 orang lainnya telah ditahan aparat Polres Bima.
Lubang-lubang jalan itu kisah kelam, yang jadi perenungan setiap generasi. Bahwa kedepannya, kita harus berharap bahwa Tuhan tidak memberikan kita Pemimpin dengan karakter “binatang buas” yang “pemakan segala”. Jikapun terberi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme semakin mendarah-daging, mengisi tubuh daerah kita. Disaat bersamaan, kesenjangan pembangunan merajalela. Potensi generasi bangsa “dituntun” ke penjara menjadi tak terelakan.
MERDEKA KITA SAYANG. MERDEKA..!
-17 Agustus 2023, Menghormati 78 Tahun Kemerdekaan Indonesia Kita-