Kekuasaan Di Balik Perpanjangan Jabatan Kepala Desa
Oleh: Abdul Fatah (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram, Ketum HMI Komisariat Hukum Unram)
Seperti semua demonstrasi lainnya, tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa dibungkus dengan kemasan ‘keadilan’.
Seolah dengan memenuhi tuntutan itu keadilan akan dapat diwujudkan. Padahal, tuntutan itu sendiri merusak konsepsi keadilan, sebab isinya sarat akan kepentingan bahkan mengabaikan akal sehat.
Teks ini akan mengurai problem keadilan dan bagaimana keadilan seharusnya ditempatkan. Titik tolak adalah demonstrasi perpanjangan masa jabatan kepala desa, dengan teori hukumnya Hans Kelsen sebagai pisau analisis.
Dengan demikian tulisan ini juga akan sedikit meluruskan miskonsepsi tentang teori hukum murni atau hukum positif Kelsen yang dewasa ini banyak dikritisi. Bila terjadi miskonsepsi, maka amat mungkin kritik yang berkembang juga kurang tepat, bila tidak keliru.
Menyelidik Keadilan
Sepanjang sejarah, keadilan menjadi ide paling abstrak, kabur dan bahkan kadang-kadang dalam praktiknya ngawur. Perintis awal filsafat seperti Plato, Aristoteles hingga yang paling modern yakni John Rawls menguraikan konsep tentang keadilan.
Teks ini akan menguraikan konsep keadilan Hans Kelsen. Selain karna konsep keadilan tersebut diatas amat luas dan terbatas untuk diulas, pilihan itu diambil karna konsepsi keadilan Kelsen kerap disalah-pahami.
Pertama, para konsep teori hukum positif Kelsen kerap dipahami secara reduksioner, dengan definisi bahwa keadilan hanya terbatas pada terpenuhinya ketentuan norma (pasal-pasal) dalam peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya, Kelsen tidak senaif itu, ada banyak aspek yang terlewatkan. Ia bahkan mula-mula mengkritisi konsep ‘keadilan’.
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory mengungkap bahwa keadilan yang dideduksikan dari ide hukum alam tidak lebih dari dalih-dalih yang dilacurkan untuk menjustifikasi (membenarkan) kepentingan kelas tertentu. Bila keadilan merupakan sesuatu yang objektif, yakni kenyataan, maka negara dan undang-undang tidak dibutuhkan untuk membuat manusia bahagia.
Dalam konteks demonstrasi perpanjangan kepala desa, jelas kepentingan kelas yang diuntungkan adalah para kepala desa dan di atas itu, politisi serta partai politik yang mengakomodir tuntutan demi mengamankan basis ditataran lokal.
Kembali ke Hans Kelsen, bila ia turut mengkritisi keadilan yang kerap digunakan demi membenarkan kepentingan tertentu, lantas bagaimana sebenarnya keadilan dalam konsepsi Kelsen?
Pertama, Kelsen nampaknya sepakat dengan utilitarianisme Jeremy Bentham, bahwa keadilan adalah “the greatest happiness of the greatest number.” atau kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya rakyat. Namun sebagai pemikir yang hidup dalam arus positivisme, ia menyadari bahwa kebahagiaan bukan merupakan hal yang objektif, melainkan subjektif dan amat emosional.
Kelsen berpandangan bahwa suatu tata aturan fungsional atau dalam istilah lain ‘adil’ manakala mampu mendatangkan kegembiraan sosial. Maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial, yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan individu sosial oleh suatu tata aturan hukum.
Kritkus Kelsen barangkali akan berpandangan bahwa kelsen inkonsisten, sebab menyatakan sesuatu adil atau tidak adil berdasarkan parameter kebahagiaan yang amat subjektif. Tapi sesungguhnya Kelsen menyadari benar, dalam pemenuhan kebutuhan individu sosial, hampir selalu terjadi pertentangan kepentingan. Diantara pertentangan dua atau lebih kepentingan, adil kerap dijadikan dalih pembenaran salah satu pihak yang sifatnya sentimentil dan subjektif, sehingga amat relatif.
Untuk mengatasi relativitas klaim keadilan yang amat subjektif, sentimentil dan emosional itu, Kelsen berkesimpulan bahwa kriteria keadilan, yakni ‘benar’ atau ‘salah’ hanya dapat disediakan oleh hukum positif. Sehingga keadilan adalah pemenuhan atau pelaksanaan ketentuan hukum positif itu sendiri.
Perpanjangan: Keadilan atau Kepentingan?
Kembali ke persoalan perpanjangan masa jabatan kepala desa, dengan demikian jelaslah, bahwa tuntutan perpanjangan masa jabatan bukan merupakan ‘aspirasi keadilan’, melainkan tidak lebih dari aspirasi yang subjektif, sentimentil, emosional, pretensiun dan bahkan amat tendensius. Berikut akan diuraikan.
Pertama, ketentuan normatif dari hukum positif, yakni Pasal 39 UU Desa telah amat terang dan jelas mengatur ketentuan yang adil, yakni masa jabatan kepala desa selama 6 tahun tiap periode. Dengan menuntut perpanjangan masa jabatan, kepala desa telah melampaui ketentuan itu dan dengan sendirinya melecehkan keadilan.
Kedua, para kepala desa itu bukan hanya melampaui ketentuan normatif dari hukum positif, melainkan menabrak ketentuan ideal atau acuan yang tercantum dalam grundnorm (norma dasar) yakni Konstitusi UUD 1945. Padahal Kelsen dalam teorinya menegaskan bahwa hukum tidak boleh mengacu apalagi tunduk pada anasir lain di luar hukum, melainkan semata pada ketentuan hukum positif yang berjenjang. Nilai ideal, etis, atau moral tidak dinegasikan, tetapi hendaknya dimuat secara positif dalam grundnorm.
Idealitas demokrasi menghendaki sirkulasi atau pergantian kekuasaan, telah dimuat dengan amat terang dalam konstitusi melalui Pasal 7 UUD 1945, seharusnya ketentuan yang sama diadopsi pada seluruh tingkatan kekuasaan untuk menghindari kecenderungan korup kekuasaan. Bukankah anjloknya Indeks Prestasi Korupsi Indonesia sekaligus juga menyingkap urgensi pembatasan kekuasaan dan pentingnya pengawasan. Sepanjang reformasi, Indek Persepsi Korupsi anjlok di titik terendah pada masa rezim yang kerap menghembuskan isu amandemen konstitusi, penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan.
Memimpikan Keadilan
Sesungguhnya yang adil harus dikembalikan. Praktik legislasi tidak boleh dilakukan secara tertutup apalagi kilat. Alih-alih diabaikan, aspirasi dan opini masyarakat seharusnya ditampung, di atas semuanya undang-undang tidak seharusnya dijadikan instrumen bagi kepentingan segelintir elit kekuasaan, undang-undang yakni hukum positif harus kembali mengemban tugasnya sebagai pembawa keadilan, memisahkan yang benar dari yang alah.
Bila praktik praktik berhukum negara kita hanya merepresentasikan kepentingan segelintir elit yang cenderung koruptif, maka bukan tidak mungkin, identitas, moralitas dan nilai etis ideal yang termuat dalam konstitusi akan raib, jadi teks-teks mati.
Karl Von Savigny telah jauh-jauh hari memperingatkan, bahwa hukum itu tumbuh, berkembang lalu kemudian binasa bersama dengan raibnya identitas sebuah bangsa atau negara. Bila praktik berhukum kita masih terus dipertahankan, dimana kepentingan kekuasaan politis dan ekonomis elit dominan, sementara kepentingan masyarakat diabaikan, maka identitas kita sebagai bangsa dan negara juga akan sirna, bersamaan dengan eksistensi kita.
Editor: Hamdi, M.AP