“Kecelakaan” Penghentian Penyidikan
Penghentian penyidikan, berdasar KUHAP Pasal 109 ayat (2) yaitu dengan alasan: tidak cukup bukti, bukan peristiwa pidana dan demi hukum.
oleh : Taufan, SH., MH. (Direktur LPW NTB dan Dosen Unram)
Polda NTB, telah resmi menghentikan kasus korban pembegalan “Amak S”, dengan alasan pembunuhan terpaksa. Penghentian penyidikan, berdasar KUHAP Pasal 109 ayat (2) yaitu dengan alasan: tidak cukup bukti, bukan peristiwa pidana dan demi hukum. Jika alasannya karena daya paksa atau pembelaan terpaksa, sudah digariskan secara ketat oleh hukum pidana. Sehingga, tidak tepat menjadi alasan dihentikan. Karena, yang menilai itu adalah hakim, bukan polisi.
Polisi memang memiliki dasar Perkap No. 16 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dalam penghentian penyidikan. Pada Pasal 30 ayat (2) dinyatakan, “penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemafaatan”. Namun, perlu juga meneruskan memperhatikan ayat (3) bahwa “penghentian penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Artinya, tidak serta merta mencari salah satu aturan ayat untuk digunakan, dan langsung menyimpulkan dapat diterapkan. Dalam konsepsi hukum, harus dimaknai secara keseluruhan aturan dan sistem hukum.
Di sisi lain, kedudukan Perkap tidak lebih kuat dari UU, dalam hierarki peraturan perundang-undang, Perkap tidak termasuk dalam jenis dan hierarki Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perkap masuk dalam kategori Pasal 8 terkait peraturan lain. Hal itu memberikan makna sifat dan kedudukan dari Perkap, ia harus dikesampingkan jika aturan di atasnya mengatur lain.
Konteks Pasal 30 ayat (2) Perkap No. 16 Tahun 2019, penggunaannya harus tetap memperhatikan aturan, sistem dan perkembangan hukum. Misalnya yang telah digunakan yaitu, penghentian dengan berbasis keadilan restorative justice, yang juga telah diatur Perkap. Karena pada dasarnya pengaturan Pasal 30 ayat (2) itu juga, adalah sebuah konsep tujuan hukum sebagaimana pandangan Gustav Radbruch, penggunaannya harus diteruskan dengan dasar norma pelaksana. Jangan sampai dasar pasal itu, muncul kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan ketentuan di atasnya.
Untuk itu, penggunaan Pasal 30 ayat (2), sebagai “pengaman”, apabila tidak terdapat aturan lain, ataupun terjadi perubahan peraturan lainnya. Sehingga apabila aturan lain sudah jelas menggariskan dan memberikan saluran, tidak tepat menggunakan pasal ini sebagai penerobos.
Polisi adalah instrumen negara yang harus dijalankan sesuai aturan, tidak tepat membuat atau menabrak jalan penafsiran dan tata cara yang telah terlebih dahulu digariskan secara jelas, karena satu sisi itu sebagai bentuk tindakan kesewenang-wenangan.
Oleh karena itu, dalam menghadapi kasus Amaq S, adalah momentum untuk menunjukan fungsi hukum, sistem hukum dan bekerjanya sistem peradilan pidana. Dengan adanya desakan publik, tentu itu juga akan menjadi dilema pertimbangan Polisi. Di sisi lain hal itu memberikan tanda bahwa saluran hukum kita tidak berfungsi, peradilan telah berganti pada pengadilan jalanan dan pengadilan publik. Sehingga justru semakin meredupnya kepercayaan publik terhadap saluran sistem peradilan pidana.