Geliat Pembangunan KEK Mandalika, Refleksi Sikap Pemole Masyarakat Sasak
Pemerintah, telah menetapkan wilayah Mandalika Lombok Tengah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Imbasnya, geliat pembangunan terus dilakukan, semenjak tahun 2014 mengalami peningkatan yang sangat drastis, bahkan di tengah situasi Covid-19, pekerjaan terus digenjot untuk mencapai target. Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika (KEK Mandaliaka) diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika .
KEK Mandalika disipakan sebagai pusat pariwisata, diantaranya untuk menyelenggarakan event bertaraf internasional, sepertia World Superbike dan MotoGP. Selain itu, sarana ataupun fasilitas pendukungnya pun terus dilakukan pembangunan untuk memenuhi hasrat wisatawan.
Gairah pembangunan yang dilakukan di KEK Mandalika, tentu berpotensi memberikan dampak positif maupun negatif terhadap berbagai aspek, mulai dari sosial, budaya, maupun ekonomi masyarakat. Sehingga, momentum pembangunan perlu kembali menoleh jejak luhur, agar gerak semesta senantiasa berpihak pada masyarakat sasak, NTB dan bangsa Indonesia.
Masyarakat tradisional Sasak sangat terikat pada alam. Keterikatan ini tidak hanya bersifat filosofis, tapi juga berdimensi fungsional. Seperti kesadaran akan pola hubungan interdependensi antara alam dengan manusia. Kesadaran ini melahirkan sistem tradisional dalam rangka pelestarian sumber daya alam. Tanah dimuliakan melalui berbagai upacara dan sistem “maliq” (Berarti keramat, tuah yang bersandar pada ruang supranatural) yang dimaksudkan agar sesato (hewan), kekayon (tumbuh-tumbuhan) dan kumilit kumalat (penghuni alam selain manusia) tidak terganggu karena kehadiran dan perlakuan manusia.
Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah ketergantungan pada alam, sehingga satu-satunya harapan untuk menunjang hidup dan kehidupannya adalah kemurahan dan keramahan alam. Kesadaran akan ketergantungan pada alam, menyebabkan masyarakat tradisional berusaha ramah dan memperlakukan alam dengan berbagai kearifan. Bagi masyarakat tradisional Sasak alam juga dipandang sebagai salah satu jalan kasih Tuhan kepada hambanya, dengan ungkapan “paice” (anugrah)– “bukti” – “barang tesodoq” (barang titipan Allah) dan lain-lain.
Pandangan lain yang menunjukkan ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam adalah adanya pandangan tentang eksistensi alam sebagai suatu yang memiliki “ruh”, sesuatu yang hidup, sehingga harus diperlakukan sebagai realitas yang hidup. Pandangan inilah yang menyebabkan masyarakat tradisional tidak mengeksploitasi alam, tetapi cendrung bekerjasama dengan alam. Dalam konsep ini, tanah tidak hanya sebagai objek, tetapi dipandang sebagai sumberdaya dan faktor produksi yang independen dan harus dipahami dengan baik jika mengharapkan kerjasama yang baik.
Dengan demikian, masyarakat tradisional Sasak yang menginginkan kehidupan yang sejahtera dan berkesinambungan, harus mampu berkomunikasi dengan alam, memahami karakter alam dan kebutuhan-kebutuhannya.
Pemaanfaatan alam di KEK Mandalika, harusnya menempatkan alam, manusia dan tuhan sebagai sumber pergerakan, hal itu sesuai dengan garis luhur yang diturunkan kepada masyarakat sasak. Dalam konsep modern, beririsan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang menempatkan pembangunan untuk generasi mendatang. Dalam masyarakat Sasak, lebih dari itu, melindungi alam adalah tugas suci untuk generasi akan datang.
Pemanfaatan sumber daya tanah air pada masyarakat Sasak, sangat erat kaitannya dengan sistem keyakinan dan filosofi tentang hubungan antara manusia dengan alam, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan vertikal dengan Tuhan.
Masyarakat Sasak tradisional secara sadar mengikatkan diri pada sistem kepercayaan menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan alam dan sistem “maliq” maupun anjuran dan awig-awig yang mengaturnya. Kesadaran ini membangun mekanisme hubungan yang apresiatif dan menguntungkan antara alam dengan lingkungan bagi pelestarian alam. Kesadaran tersebut, membangun sikap “pemuliaan” (Sasak: pemole) terhadap alam.
Sikap pemole ini melahirkan konsep dasar pemanfaatan tanah serta segala yang ada di pemukiman dan segenap isinya dengan “sikap tanggung jawab untuk melakukan tugas suci”. Tanggung jawab bersama kepada alam, kepada yang menganugerahkan alam dan kepada generasi mendatang.
Tanggung jawab ini juga bermakna kesinambungan pemanfaatan dan fungsi sosial, serta perwujudan rasa syukur atas anugrah Yang Maha Kuasa yang demikian besar kepada manusia. Berdasarkan konsep dasar tersebut, maka masyarakat Sasak tradisional mengorientasikan pemanfaatan lingkungan alam untuk kesejahteraan bersama secara berkesinambungan dan sesuai dengan dinamika alam.
Editor: Taufan
Sumber Bacaan “Pemole”: Lombok Style Dokumen, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah.