Diskusi Publik IKMAL Mataram, Sorot Perubahan Iklim, Kerusakan Hutan, Kebencanaan hingga Penegakan Hukum
Mataram – Ikatan Mahasiswa Ambalawi Mataram (IKMAL Mataram) adakan Dialog Publik dengan tema “Peran Mahasiswa Membaca Peta Kebencanaan dalam Menghadapi Perubahan Iklim di NTB”, di Aula Perpustakaan Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pusda NTB), pada Sabtu (29/10/22) pukul 14.00 hingga 16.30 Wita.
Dalam kegiatan tersebut Ikatan Mahasiswa Ambalawi Mataram (IKMAL) melibatkan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang di wakili oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTB, serta perwakilan organisasi masyarakat sipil Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB) bersama dengan Pusat Bantuan Hukum LPW NTB (PBH LPW NTB).
Hadir Ketua dan Pengurus Ikatan Mahasiswa Bima Mataram (IMBI) serta organisasi paguyuban Se-Kab/Kota Bima dan Dompu wilayah Mataram.
“Kegiatan ini kami libatkan instansi Pemerintah Provinsi, NGO, pemuda dan mahasiswa Se-Kab/Kota Bima dan Dompu. Kegiatan ini bertujuan mencegah hal-hal yang tidak di inginkan dan bisa memastikan langkah apa yang perlu di lakukan oleh pemuda dan mahasiswa hari ini”, tutur ketua IKMAL Mataram, Al Fariji Nato dalam sambutannya.
Pihak DLHK yang diwakili Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Mursal S.P., M.Si., menguraikan kondisi kritis hutan di NTB yang membutuhkan perhatian serius dari semua khalayak baik pemerintah, masyarakat, hingga pemuda dan mahasiswa.
“Kondisi hutan gundul (iklim lokal) di sebabkan oleh masyarakat NTB sendiri, bukan masyarakat Kalimantan, Maluku, dan Jawa, tetapi orang NTB”. Jelas DLHK dalam menyampaikan materi.
Lanjutnya, sekitar 30 Unit Gudang Jagung yang berjejer di sepanjang jalan Pulau Sumbawa dengan harga jagung sangat tinggi mencapai kisaran 4000- 5300/kg, memicu petani memperluas area tanah garapan bahkan hutan tutupan Negara.
Menurut Mursal, penegakan perusakan hutan sudah dilakukan oleh Pemda Provinsi, dengan menangkap dan memproses pelaku, mulai dari masyarakat hingga keterlibatan oknum penegak hukum. Namun, untuk masyarakat lokal tidak serta merta ditangkap, banyak juga yang dilepas.
“Kita menggunakan pengelolaan hutan sosial, jadi masyarakat lokal bisa mengelola dengan izin, namun pelaksanaannya banyak izin dialihkan oleh masyarakat”, urainya.
Mursal, juga menyorot tantangan perizinan pengelolaan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
“Pemda tiba-tiba harus menerima kertas perizinan yang dikeluarkan Kementerian, sehingga daerah tidak bisa untuk menolak”, tanggapnya.
Direktur LPW NTB, Taufan dalam kesempatan menguraikan mulai dari aspek sejarah perubahan iklim, kesadaran global, pembangunan berkelanjutan sampai dengan kebencanaan yang akhir-akhir ini melanda Indonesia dan NTB.
Dalam pembukaannya, Taufan menyatakan bahwa soal perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari.
“Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas,” ungkapnya.
“Perusakan hutan, lingkungan, perubahan iklim hingga bencana, kebijakan pemerintah paling banyak mempengaruhi”, bebernya.
Ia mengkaitkan dengan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika (KEK Mandalika) yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
“Perizinan di KEK Mandalika itu dipermudah, bahkan diberikan insentif bagi invenstor yang mau membangun, jadi ibaratnya kita berikan penghargaan kepada perusak alam, dan kita melakukannya dengan topeng hukum. Semuanya dibuat aturan. Secara hukum itu jadi sah dan memang tidak salah, tapi secara etika lingkungan, pemerintah cacat kelakukan”, katanya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Taufan menguraikan mulai dari UU Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta kehadiran Omnibus Law “UU Cipta Kerja”.
“Awalnya KEK Mandalika adalah kebijakan dengan Perpres, mulai dari situ mulai bergerak instumen pusat, daerah seolah harus terima saja, kemudian dirubah ketentuan teknis Perpress, PP hingga Permen,” ungkapnya.
Taufan pun menegaskan bahwa kehadiran Omnibus Law menjadi malapetaka bagi otonomi daerah dan menambah ruang dampak perubahan iklim.
“Semenjak disahkan Omnibus Law semakin memperkuat pemerintah pusat untuk memainkan dominasi, jika sebelumnya dengan Perpres dan PP, tetapi dengan UU Cipta Kerja, maka dengan persetujuan DPR, maka seperti ada konsensus Omnibus Law sebagai mesin pembangunan peneror alam”, tegasnya.
Kemudian, harapan dan pesan terakhirnya terkait peran mahasiswa dan semua pihak, bahwa dengan bertitik tolak pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, bahwa peran mahasiswa tentu kewajiban pelaksanaan pembelajaran sesuai bidang ilmu dengan cara pikir ekologis.
Disamping itu, dengan adanya merdeka belajar, mahasiswa dapat terlibat dalam kegiatan terkait berbagai hal dalam penyelenggaraan kebencanaan dan perlindungan lingkungan hidup.
“Dalam kebencanaan misalnya, mahasiswa dapat berperan memberikan saran dalam kebijakan pemda pada masa pra bencana, serta dalam masa kedarurat maupun pasca bencana”, urainya.
Menurut Taufan, banyak orang berpikir perubahan iklim hanya pemanasan global, tetapi semuanya saling terhubung.
“Kenaikan suhu hanyalah awal dari mulainya perubahan iklim. Karena Bumi adalah sebuah sistem, di mana semuanya terhubung, perubahan di satu area dapat memengaruhi perubahan di semua area lainnya,” tuturnya.
Ia mengatakan, konsekuensi dari perubahan iklim saat ini antara lain, kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hebat, naiknya permukaan laut, banjir, pencairan es kutub, badai dahsyat dan penurunan keanekaragaman hayati.
Untuk itu, pada perubahan iklim menurutnya banyak hal bisa dilakukan, dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan serta terakit kesadaran dan perilaku.
“Kita memiliki banyak aturan sektoral terkait peran yang harus diperhatikan, dari UU Lingkungan Hidup, UU Pencegahan dan Perusakan Hutan, UU Penataan Ruang, UU Persampahan, dan aturan terakit peran masyarakat dalam berbagai peraturan”, tutupnya.
Unsur Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTB, Oman Sumantri, S.Hut.,M.Si selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dalam kesempatan itu, menguraikan bahwa NTB adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang daerahnya berpulau-pulau dan rawan bencana.
“Kondisi geografis, menjadi salah satu ancaman bagi kita semua masyarakat NTB,” bukanya.
Ia menyampaikan bahwa peran yang bisa dilakukan yaitu mulai dari pra bencana, masa bencana atau kedaruratan dan pasca bencana.
“Peran yang banyak dilakukan selama ini yaitu masa bencana, padahal harus diperhatikan masa pra bencana seperti membangun kesadaran dan edukasi masyarakat”, tutupnya.
Adhar, S,H.,M.H, dalam kesempatan selaku ketua PBH LPW NTB, menyorot soal penegakan hukum yang tidak memberikan keadilan terhadap masyarakat petani.
“Kami pernah menanganani kasus ilegal logging, dari pelakunya petani hingga oknum. Untuk petani cenderung serampangan menggunakan hukum, banyak hukum acara pidana yang tidak diperhatikan”, tuturnya.
Tetapi lanjutnya berbeda dengan pelaku yang memiliki relasi kekuasaan.
“Giliran pelaku yang memiliki hubungan dengan penegak hukum, walau sudah jelas tindak pidananya, proses berbelit dan tak kunjung penyidikan,” tutupnya.
Adhar menjelaskan, pelaku kerusakan hutan ada tiga yaitu pengusaha, pemerintah, dan masyarakat sendiri. Kenapa penguasa selalu berlindung dibalik izin meskipun proses pengurusan izin banyak yang dilanggar,
“Pemerintah selalu memudahkan izin terlebih lagi banyak oknum menyalagunakan kewenangan yang dimilikinya,” kritinya.
Adhar menegaskan, masyarakat yang tidak sadar hukum terlebih karena terdorong kebutuhan primer karena kurangnya lapangan kerja. Dari segi penegak hukum dan penegakan hukum banyak sekali oknum penegak hukum yg tidak menegakkan hukum dengan adil.
“Penegak hukum dalam menegakkan hukum terhadap pelaku kerusakan hutan terkadang tajam kebawah tumpul ke atas,” lanjutnya.
Menurut Adhar, peran mahasiswa dalam membaca peta bencana dan perubahan iklim di NTB dilihat dari peran mahasiswa sebagai agen perubahan dan agen kontrol dapat memantau kebijakan trategis baik kebijakan pemerintah Provinsi NTB maupun kebijakan Kabupaten dan Kota se NTB.
“Karena implikasi dari kebijakan tersebut akan mengakibatkan bencana alam. Dalam membaca kebijakan tersebut mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan mahasiswa melakukan kontrol. Hal tersebut sebagai bentuk pencegahan,”, urainya.
Selanjutnya dari segi penindakan Mahasiswa dapat membaca dari segi substansi hukum, penegak hukum, dan penegakan hukum.
“Dari substansi hukum sebagai contoh UU perusakan hutan banyak sekali yang dilanggar karena tidak efektif nya kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berakibat kerusakan hutan”, pungkasnya.
Pada sesi tanya jawab banyak peserta mengajukan pertanyaan yang menarik, pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan oleh para peserta sangat tajam dan mendalam tentang masalah di NTB.
Terlihat dari beberapa peserta menyampaikan secara emosional tentang kondisi petani NTB yang hidupnya hanya bersandar pada gunung, kebun, juga sawah. Oleh karenanya gundulnya hutan, bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor, semunya gara-gara petani, salah petani.
“Pemerintah NTB seolah-olah cuci tangan, semuanya menyalahi masyarakat yang hanya menyanggupi hidupnya pada sektor pertanian, pada hal itu semua wujud dari ketidakmampuan pemerintah NTB dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, mana NTB Gemilang?”. Ungkap Doali mahasiswa asal Monta.
Laporan: Mu’amar Adfal, S.H
Dokumentasi