Desa Mpili Donggo Sebar Kesadaran Hukum, Mengembalikan Nilai Hukum Perlu Dukungan Pemda dan APH
Agenda Dialog Publik dengan tema “Literasi Konstitusi: Upaya Mewujudkan Kesadaran Hukum Masyarakat” yang diinisiasi oleh Karang Taruna Samakai Desa Mpili Kec. Donggo, Kab. Bima bekerjasama dengan LPW NTB, pada Jumat (28/04/2023) memberikan pesan kesadaran hukum serta harapan bagi pembangunan di Kabupaten Bima dan penegakan hukum di tingkat desa.
Kegiatan yang dimulai pukul 15.00 hingga 18.30 WITA itu dihadiri oleh Narasumber Taufan, S.H.,M.H selaku Dosen dan Direktur LPW NTB dan Muchlis, S.H.,M.H dari Bagian Hukum Pemda Kab. Bima, dan dihadiri oleh berbagai unsur, dari Kepala Desa, Sekretaris, Kepala Dusun, BPD, Ketua Adat, Kepala Sekolah, guru, tokoh masyarakat, aktivis, pemuda, mahasiswa, masyarakat setempat hingga masyarakat dibeberapa desa lain sekitarnya.
Kegiatan berlangsung penuh antusias, dari sambutan Kepala Desa, Ketua Karang Taruna, uraian narasumber dan respon pertanyaan maupun masukan dari peserta.
Sesi sambutan Kepala Desa, Sahir, S.Pd menyampaikan kebanggaan atas inisisasi dari Karang Taruna, karena diharapkan terus memperkuat pilar sosial di desa.
“Dari kegiatan ini perlu langkah lebih lanjut dan harus dilakukan lagi ke depannya”, tuturnya.
Ketua Karang Taruna, Alfin, menyatakan bahwa banyak kasus yang terjadi sehingga perlu pemahaman bersama melalui upaya kesadaran hukum masyarakat.
“Kasus perkawinan dini, narkoba, perkelahian. Upaya bersama perlu dilakukan untuk mencegah”, ujarnya.
Alfin berharap ada dukungan dari berbagai pihak, dari pemerintah daerah pemerintah desa dan seluruh masyarakat.
Pada sesi paparan narasumber, Taufan, S.H.,M.H. selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram) sekaligus Direktur LPW NTB. Mengawali paparan ia menyampaikan literasi bukan hanya soal baca tulis, tapi memaknai dan menyelami teks, sehingga berpengaruh pada pikiran dan tindakan.
“Untuk itu, literasi Konstitusi adalah menjiwai spirit Konstitusi UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar kita dalam berbangsa dan bernegara”, ungkapnya.
Selanjutnya Taufan menyampaikan poin jenis kesadaran hukum yang dibutuhkan dan usaha penyelesaian melalui jalur pidana, perdata dan administrasi yang dapat ditempuh. Taufan menyorot agenda yang diadakan itu sebagai bentuk energi dan harapan untuk penyelesaian setiap permasalahan di desa ke depannya.
“Dari semangat teman-teman muda ini mengisyaratkan ada kekuatan besar, dan harus kita ledakan bersama untuk sesuatu yang positif membangun kesadaran hukum”, katanya.
Ia menyampaikan bahwa kesadaran hukum harus tumbuh dari masyarakat, karena hukum yang baik adalah hukum yang lahir dari nilai-nilai masyarakat.
“Kita optimis, dengan adanya kegiatan ini sebagai sesuatu yang positif, karena elemen kunci dalam kesadaran hukum setidaknya terpancarkan dari kegiatan ini. Maka kita semua harus kelola dengan baik, terutama pemerintah sebagai pemegang kewenangan”, sambungnya.
Taufan, juga menegaskan bahwa dengan semakin banyak kasus atau perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan, maka seolah fungsi sosial sudah hilang. Padahal dapat dilacak bahwa bagaimana masyarakat memiliki cara mereka untuk menyelesaikan setiap masalah.
“Hadirnya negara maka mengubah pola dan cara pikir masyarakat. Ketika kasus dan perkara selalu masuk peradilan, berarti menandakan ada kegagalan sistem sosial. Masyarakat kita dulu menyelesaikan masalah di tingkat bawah di desa. Kalau sekarang mengandalkan peradilan. Itu artinya fungsi sosial sudah hilang”, terangnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa semakin seringnya kasus masuk peradilan, maka akan membuat jarak hubungan antar masyarakat.
“Jadi peradilan itu sebenarnya juga akan menimbulkan masalah lain, kedekatan individu dan masyarakat, akan menciptakan jarak, potensi konflik dan disharmonisasi”, urainya.
Selain itu, Taufan menyampaikan persoalan penting lain yaitu usaha penegakan hukum dan kebijakan pemerintah mempengaruhi kesadaran hukum masyarakat.
“Cara-cara pemerintah dan penegak hukum menjalankan hukum akan menentukan kesadaran hukum masyarakat. Ketika penegak hukum cenderung mempermainkan hukum dan pemerintah menjalankan hukum atas kepentingan individu dan kelompok, maka masyarakat juga tidak percaya, ini tentu akan mempengaruhi kesadaran hukum. Begitupun dengan Pemda, kebijakan yang tidak berpihak akan membuat kepercayaan terhadap hukum hilang”, bebernya.
Untuk itu, usai kegiatan, Taufan mengatakan bahwa usaha kesadaran hukum adalah upaya mengembalikan fungsi masyarakat untuk menampilkan nilai hukumnya, karena kebutuhan hukum dan hukum yang harus ada, berdasar pada masyarakat sendiri.
“Maka ke depan, ketika ada kasus perlu diselesaikan dulu tingkat desa, tentu harus ada dukungan Pemdes, Pemda dan Penegak Hukum, karena juga harus diberi petunjuk dan diawasi, namun tidak mendikte masyarakat, pemda dan APH (aparat penegak hukum) hanya perlu memberikan rambu-rambu, hal-hal yang dapat dilakukan dan tidak. Itu artinya, pemdes, pemda dan APH diberikan pemahamanan dahulu. Dan terpenting, disesuaikan dulu aturan yang mempersulit, kemudian berikan pemahaman masyarakat melalui upaya pendampingan.
“Sehingga jika serius, langkahnya yaitu Pemda kab/provinsi sesusi kewenangan menunjuk sekitar dua desa sebagai pilot project, bentuk road map atau blue print ataupun rencana aksi, di dalamya terlibat pemangku kepentingan, baik dinas, APH hingga lembaga negara lain dan lembaga non pemerintah.”, urainya
Ia menyinggung bahwa pemda provinsi juga dapat berperan dengan kewenangannya, menurutnya itu sebagai salah satu misi NTB Gemilang, yaitu NTB aman dan berkah.
“Kalau tingkat provinsi itu ada usaha mendorong peran Bale Mediasi, kalau di Bima tentu bisa menyesuaikan dengan nilai hukum masyarakat, tapi setidaknya itu sebagai bentuk semangat yang dapat ditiru, walaupun Bale Mediasi sendiri belum kuat dan masih banyak yang harus dibenahi”, tuturnya.
Ia pun menyampaikan harapan, penegak hukum justru tidak mempersulit usaha masyarakat dalam penyelesaian perkara. Penyelesaian tingkat desa dapat diwujudkan juga dengan kesadaran hukum penegak hukum, dengan adanya sistem peradilan yang sudah ditata, maka perlu upaya bersama dalam menentukan langkah dan penyelesaian yang berkeadilan bagi semua.
“Tantangannya terdapat SOP maupun aturan teknis tingkat lembaga masing-masing, jadi penegak hukum yang di bawah beralasan jalankan aturan, padahal ada aturan di atas yang harus diperhatikan pula, sehingga tidak memaknai arti hukum sesungguhnya yang ada dalam Konstitusi maupun UU, mereka bertindak justru menggerogoti esensi hukum”, tutupnya.
Muchlis, S,H., M.H, selaku Fungsional pembentukan peraturan perundang-undangan pada Bagian Hukum Pemda Kab. Bima, menyampaikan bagaimana penting pembentukan aturan tingkat desa yang dirumuskan sesuai kebutuhan masyarakat.
“Pemdes bisa membentuk Perdes sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dengan memperhatikan ketentuan lain di atasnya”, bebernya.
Muchlis, menyorot pula permasalahan yang seringkali terjadi yaitu pembentukan aturan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan aturan lainnya.
“Pembentukan Perdes harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan, jangan sampai bertentangan karena akan masalah ke depannya bagi pemdes”, terangnya.
Untuk itu, Muchlis dan bagian hukum Pemda membuka diri dengan pemdes maupun masyarakat untuk dilibatkan dalam upaya kesadaran hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Mengingat pentingan hukum dalam perumusan kebijakan dan tindakan masyarakat, maka saya semangat untuk dilibatkan seperti kegiatan semacam ini, kami bagian hukum akan hadir ataupun nanti sebaliknya kami akan undang”, tutupnya.
Laporan: Karang Taruna Samakai Desa Mpili
Editor: Mu’amar Adfal, S.H