OPINI

Babak Baru RKUHP, Membaca Arah Pikir dan Titik Akhir

0Shares

Oleh: Taufan, S,H.,M,H – Dosen Hukum Pidana FH Unram, Direktur LPW NTB

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), memasuki babak baru, setelah pada tahun 2019 mengalami gejolak penolakan bersama dengan RUU KPK. Alhasil, hanya RUU KPK yang berhasil disahkan oleh DPR. Pada tahun 2022, DPR kembali menargetkan, salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas 2022 adalah RKUHP.

Jika ditelisik, RKUHP menjadi rancangan terlama yang belum juga disahkan dengan usia lebih dari 51 tahun pembahasan. Sejak puluhan tahun silam, upaya rekodefikasi KUHP nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional di Semarang pada 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP). Namun, RKUHP ini tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional.

Melihat catatan sejarah, hal itu menjadi tidak mengagetkan, karena Belanda sendiri yang mewarisi KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, juga baru 75 tahun berhasil menyusun Wetboek van Strafrecht (WvS), sebelumnya berlaku Code Penal Perancis (Taufan, 2019).

Belanda di jajah Perancis, setelah merdeka, dari tahun 1811 sampai 1886, Belanda masih memberlakukan hukum pidana perancis, memang pada waktu itu terjadi upaya untuk menyusun, sama halnya seperti kita, terjadi beberapa perubahan substansi dan perdebatan juga di Belanda (Taufan, 2019).

Jika melihat sejarah WvS Belanda tersebut, artinya sampai dengan Juni 2022, kita hampir menginjak 78 tahun merdeka, telah melewati catatan angka Belanda, sehingga ada baiknya Indonesia melakukan pembahasan serius untuk menuntaskan amanat pembentukan KUHP Nasional.

RKUHP, telah melewati berbagai pembahasan, perubahan maupun perbaikan setelah berbagai akrobat penolakan. Terakhir kali yang dipublikasi adalah RKUHP tahun 2019. Terdapat beberapa catatan permasalahan, hingga salah paham publik terhadap ketentuan RKUHP, dibungkus oleh narasi media yang menampilkan wajah hukum pidana yang represif. Itu, menambah deret panjang penundaan pengesahan. Barangkali, kita belum percaya diri untuk keluar dari saluran prinsip hukum pidana Belanda yang mengakar.

Dalam RKUHP 2019, menyatakan bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 serta asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti KUHP warisan pemerintah colonial Hindia Belanda. Dari konsideran ini, ada pikiran untuk perlahan meninggalkan jejak kolonial, walau dalam prinsip yang digunakan pembentukan setiap pasal, masih satu nafas dengan KUHP Belanda.

Hal itu, ditunjukan dengan dasar prinsip dan rumusan pasal yang diformulasikan dalam penyusunan, baik perumusan perbuatan pidana, pertanggungjawaban maupun aspek pemidanaan.

Konsideran RKUHP, juga menyatakan hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal itu jelas terlihat spirit Pancasila yang diperjuangkan oleh RKUHP, yang kemudian menegaskan bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.

Dari dasar pikiran demikian, nilai-nilai yang diusung oleh RKUHP merupakan nilai komprehensif dan kompromis, dari prinsip hukum universal dengan titik pusat pada nilai-nilai bangsa Indonesia. Sehingga, substansi dan arah pikiran terus menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, praktisi, juga publik secara meluas. Hal itu, sekaligus menguji daya tahan argumentasi formula pasal yang bertahan. Diskusi, mengokohkan pikiran terus bergulir, namun kita tentu harus tahu kapan waktunya berhenti, menentukan titik akhir, konsensus.

Lampiran:
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019 (Unduh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us

Follow us on Facebook Subscribe us on Youtube Contact us on WhatsApp