Atraksi Tiga Periode dan Runtuhnya Konstitusi
Oleh: Adrian Islah – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram, Pengurus BEM, Ketua Umum Pengawal Ideologi Bangsa
Wacana Perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo memicu polemik akhir-akhir ini, seiring dengan perdebatan seputar amandemen kelima UUD 1945. Sebagian memberikan respon positif terhadap isu ini. Bahwa penambahan tersebut, baik masa jabatan presiden mejadi 7 tahun atau 8 tahun maupun tiga kali periode jabatan. Pilihan tersebut, tentu harus melalui perubahan/amandemen Konstitusi (UUD NRI 1945) yang juga harus didahului diskursus partisipatif masyarakat luas sampai dengan rangkaian pembahasan DPR, DPD dan MPR. Namun, gelombang wacana tersebut juga menimbulkan kegaduhan dan berpotensi menimbulkan degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi.
Demokrasi dan Konstitusi
Di dunia, hanya ada dua negara yang memberlakukan tiga periode masa jabatan presiden, yaitu Vietnam (3 Periode, 5 tahunan) dan Kiribati (3 periode, 4 tahunan). Apabila dikaitkan dengan kualitas pelembagaan demokrasi, Vietnam dan Kiribati kalaupun dijadikan sebagai pembanding atau acuan, masih dalam peringkat yang bawah. Vietnam bahkan masuk ke dalam kategori otoritarian dalam indeks Demokrasi Dunia versi The Economist Intelligence Unit (IEU) 2018 dengan peringkat ke-139. Sementara itu, Kiribati malah tidak tercakup dalam pengindeksan tersebut.
Indonesia justru berada diperingkat ke-65 di antara 167 negara, dan terkategori dalam demokrasi belum penuh (flawed democracy). Indeks demokrasi tersebut mengukur 5 kategori besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi-fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Kaitannya dengan urgensi wacana tiga periode masa jebatan, jelas secara empiris tidak lazim, secara normatif pun potensial menyumbat proses sirkulasi kepemimpinan, memusatkan kekuatan dan sumber daya politik, khususnya bagi petahana yang pada gilirannya bisa mencelakakan demokorasi dalam kubangan oligarki, bahkan otoritarianisme.
Berbicara tentang konstitusi negara tidak ada potensi yang diberikan konstitusi untuk memperpanjang, jadi gagasan-gagasan untuk diperpajangnya masa jabatan presiden justru kontraproduktif dengan semangat reformasi, sangatlah jelas bahwa penundaan Pemilu 2024 serta amandemen UUD 1945 tentang aturan masa jabatan presiden melanggar amanat reformasi. Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD 1945) mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia. Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Doktrin Negara Demokrasi
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk kemudian mengatur hubungan manusia dalam masyarakat perihal menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan.
Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua unsur golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu sendiri, Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas etis sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi, maupun oleh negara. Dengan demikian ia dapat mengintegrasikan serta membimbing aktivitas sosial penduduknya ke arah tujuan bersama.
Negara mempunyai tugas yang penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain, disamping itu negara juga memiliki tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas individu/orang perseorangan dan golongan agar dapat dicapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya, seperti apa yang mereka cita-citakan.
Maka dari itu kalau pun memang masa jabatan presiden ini diperpanjang implikasinya adalah ancaman tumbuhnya kekuatan pemerintah untuk merancang sebuah kebijakan yang tentu tidak demokratis, dan berpotensi membawa kita kembali pada masa orde baru.
Presiden Labil
Pada maret 2019 Jokowi menyebut wacana perpanjangan jabatan “menampar muka saya”, kemudian dibulan yang sama yakni maret 2021 Jokowi menolak wacana tersebut dengan dalih mejaga amanat konstitusi, dan kembali pada bulan maret 2022 Jokowi mengatakan bahwa ia tidak melarang siapapun untuk mengangkat aspirasi tersebut dengan dalih demokrasi sebagai tamengnya. Dari tiga pernyataan di atas jelas Jokowi sebagai Bapak Negara menunjukan sikap dan sifat yang labil (inkonsiten).
Sebagai seorang Presiden seyogyanya Jokowi harus menunjukan sikap yang tegas, kurangnya ketegasan dari Jokowi berdampak terdorongnya sekelompok rakyat untuk terus mendukung perpanjangan masa jabatan presiden, seperti sukarelawan Koalisi Bersama Rakyat (KOBAR) yang memasang baliho di berbagai wilayah sebagai bentuk kesetiaannya. Salah satu relawan Kobar dalam wawancara bersama Kompas menyebut, “Yang paling ideal adalah 15 Tahun sehingga pemimpin bisa menyelesaikan agenda pembangunan”.
Narasi Penundaan Pemilu
Inisiasi penundaan pemilu dikawal oleh tiga partai yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golongan Karya (GOLKAR). Para Ketua Umum dari partai-partai ini mengusulkan agar pemilu ditunda dengan alasan menjaga momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, juga menyampaikan usulan dari para penguasa yang mengharapkan perpanjangan masa jabatan Presiden dengan dasar yang sama.
Sementara itu elite politik lain mengaku bahwa penundaan pemilu sejalan dengan keinginan rakyat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengklaim big data berisi percakapan 110 juta warganet yang setuju akan penundaan pemilu 2024. Berbeda dengan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia yang justru berbanding terbalik, yaitu sebanyak 70,7% responden menentang perpanjangan masa jabatan presiden.
Perspektif Ketatanegaraan
Secara Ketatanegaraan, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945). Sementara untuk presiden menurut Pasal 7, mereka memegang jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Jadi secara normatif, penyelenggaraan pemilu dan presiden hanya menjabat selama dua periode itu merupakan kewajiban konstitusional yang tidak boleh dilanggar.
Wacana perpanjangan masa jabatan dan penundaan pemilu tidak memiliki argumentasi yang relevan dan tentu mengkhianati amanat konstitusi. Indonesia telah memiliki sistem dan konstitusionalitas pemilu yang mapan. Penundaan pemilu di Indonesia hanya pernah dilaksanakan sekali, yakni pada tahun 1945 yang ditunda hingga tahun 1955, hal ini dikarenakan kondisi negara pada saat itu sering mendapatkan agresi militer dari pasukan sekutu, wajar saja ketika pemilu ditunda, jelas berbeda dengan kondisi negara saat ini. Meminjam analogi “air kolam ikan apabila tidak diganti maka akan mengendap dan dapat memiliki bibit penyakit yang tinggi, maka harus diganti secara berkala”. Sama halnya dengan konsep kekuasaan, apabila tidak berganti secara berkala, maka akan muncul tanda penyakit detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang).
Argumen Islah
Dalam kajian Hukum Islam, Islah adalah memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Bertolak belakang dengan perilaku pemerintah hari ini, yang seharusnya di tengah-tengah Indeks kualitas Demokrasi Indonesia yang sedang menurun, persoalan semacam perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu hanyalah ide usang yang disodorkan sejumlah elite politik dengan beragam alibi tak sekadar menabrak konstitusi, tapi akan menimbulkan kecacatan demokrasi yang tentunya akan merusak tatanan sosial.
Hal-hal absurd seperti ini tentu akan membawa dampak serius yang tidak hanya melanggar konstitusi melainkan juga berbahaya pada kehidupan demokrasi dan iklim negara hukum di Indonesia. Di tengah krisis kesehatan dan perekonomian yang memburuk, pemerintah semestinya fokus pada agenda keselamatan rakyat dan menghentikan segala pergerakan nafsu kekuasaan. Pemindahan Ibu Kota Negara harus dihentikan karena menghabiskan anggaran, menghentikan pelaksanaan proyek strategis nasional yang terbukti mengorbankan kehidupan rakyat, menghentikan perampasan tanah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dan menghentikan skenario “3 Periode”, ataupun mementaskan narasi “Penundaan Pemilu” dan “Amandemen Konstitusi”.