AMPERA Kawal Perjuangan Pemenuhan Infrastruktur Jalan
PBH LPW NTB – Penetapan tersangka dan penahanan 10 demonstran yang menuntut perbaikan infrastruktur jalan di Bima, terus mendapat sorotan publik. 10 demonstran di wilayah Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kabupaten Bima pada Kamis (12/05/2022), atas dugaan tindak pidana merintangi jalan atau pemblokiran jalan yang menyebabkan bahaya. Usai penetapan tersangka, 10 demonstran langsung dipindahkan di tahanan Polda NTB. Semenjak itu, arus protes terus dilayangkan publik kepada Kepolisian maupun Pemda.
Pada Selasa (17/05/2022), Aliansi Pembela Rakyat Penggugat Sarana Layak (Ampera) yang awalnya merupakan gabungan Lembaga Bantuan Hukum BKBH LABKUM FH UNRAM, PBH LPW NTB, PBHM, mengunjungi tahanan Polda NTB, sekaligus penandatanganan surat kuasa. Perkembangannya, sampai dengan Rabu (18/05/2022) beberapa lembaga menyatakan kesediaann bergabung melakukan pendampingan hukum yaitu ILHAM, S.H & PARTNERS, YLBHI dan LBH Makasar, semuanya secara resmi menyatakan dukungan untuk mendamping proses hukum kesepuluh tersangka.
Rabu (18/05/2022), Gubernur NTB juga mengunjungi 10 demonstran dan menyatakan dukungannya untuk mendorong penangguhan penahanan. Upaya gubernur NTB menemui 10 tahanan dengan mengajukan diri sebagai penjamin penangguhan tahanan kepada 10 demonstran itu cukup menunjukan kedalaman pemahaman gubernur tentang sistem demokrasi di republik ini.
Setelah kunjungan gubernur itu, para tersangka berharap dibebaskan, sehingga langkah penangguhan penahanan terus mencuat ke publik. Namun, Ampera berharap kasus itu hentikan penyidikannya, karena penangguhan penahanan tidak serta merta menghentikan proses hukum, hanya pengalihan penahanan di luar.
Di samping itu, Ampera memiliki kewajiban moral mengawal seluruh perjuangan sarana dan prasarana layak oleh masyarakat, siapapun, baik terhadap proses hukum maupun terhadap pemenuhan hak infrastruktur jalan, karena dalam hal ini bukan hanya persoalan 10 demonstran, tetapi seluruh masyarakat. Jikapun langkah penangguhan penahanan harus ditempuh, maka harus diiukti oleh upaya penghentian penyidikan, karena penangguhan penahanan tidak menghentikan proses hukum.
Berdasarkan pendalaman fakta dan analisis hukum menunjukan, tidak cukup bukti untuk sampai pada pemenuhan unsur pasal yang dikenakan, sehingga harus dihentikan upaya penyidikannya. Di samping itu, memperhatikan pula dasar tuntutan demonstrasi adalah perbaikan jalan, sebagai penopang utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat wilayah Monta Selatan.
Menurut Yan Mangandar, selaku perwakilan Ampera yang merupakan pengacara publik BKBH Labkum FH Unram dan sekaligus Direktur PBH Mangandar, bahwa proses pemberian bantuan hukum ataupun pendampingan adalah wujud menjaga hak tersangka dan memperjuangkan hak masyarakat atas sarana layak, jalan adalah infrastruktur penopang.
“Tidak ada masalah para tersangka misalnya nanti mencabut surat kuasa karena intervensi politik, pada dasarnya kami tetap memperjuangkan hak masyarakat mendapatkan sarana layak. 10 demonstran itu hanyalah wujud yang muncul ke publik, sarana harus menjadi fokus penyelesaian masalah, karena itu adalah pokok pangkal permasalahan yang menyebabkan aksi demonstrasi pemblokiran jalan. Jadi tujuannya adalah memberikan perlindungan dan pendampingan kepada seluruh masyarakat, karena itu adalah hak”, ungkapnya
Dirinya juga berharap, pemda perlu memperhatikan tuntutan, ke depan jangan sampai terulang cara-cara represif, harus dideteksi dan diselesaikan dari awal, sehingga tidak muncul kegaduhan.
“Soal jalan ini harus diatensi, karena beberapa kali diprotes, artinya ada komunikasi yang tersumbat, aspirasi tidak direspon, jadi itu juga harus dipertimbangkan dalam melihat persoalan ini, bukan hanya murni melihat pelanggaran hukum, mereka memblokir jalan memiliki dasar, dan tidak ada merusak fasilitas dan membahayakan pengguna jalan. Sehingga kedepan Pemda, DPRD dan Polisi harus membangun komunikasi dan sediakan saluran. Bagian dari aliansi bantuan hukum kami juga sudah ada yang berkunjung kesana, dan ada masyarakat asli Monta Selatan, jadi sangat mengetahui dan merasakan kondisi disana”, tutupnya.
Adhar yang tergabung Ampera dalam bagian PBH LPW NTB, juga menyinggung persoalan penangguhan penahanan. Dirinya menganggap bahwa dengan hadirnya Gubernur dengan komunikasi politik, satu sisi juga memperkuat negara kekuasaan, bukan negara hukum. Harapnya, dari awal kasus harusnya dilihat dalam konteks hukum yang mendalam, karena ada semangat UU Jalan, bahwa tuntutan itu juga merupakan perjuangan sebagaimana amanat UU Jalan, bahwa jalan sebagai pilar utama mencapai kesejahteraan rakyat. Penggunaan kekuasaan dalam penyelesaian masalah harus dihindari, semuanya harus berdasar hukum. Jikapun ada representasi kekuasaan, maka dasarnya adalah hukum.
“Kasus ini ada permasalahan soal penerapan pasal, jadi bukannya ditangguhkan, karena proses terus berjalan, hanya bedanya mereka dialihkan penahanannya diluar. Sesuai KUHAP, penangguhan penahanan diajukan oleh tersangka, penyidik akan menyetuji dengan syarat, sehingga wajar ada kekhawatiran meredamnya tuntutan dan pengabaian kewajiban Pemda, jangan sampai perjuangan untuk jalan terhenti, nanti menimbulkan persoalan lain, akan lahir pejuang-pejuang lain jika tidak diberikan kepastian. Polisi bisa menghentikan 10 orang ini, tapi tidak dengan yang lain. Jika penanganan salah maka justru akan menyebar lebih besar “, urainya.
Menurutnya, harusnya langkah yang sesuai hukum adalah penghentian penyidikan, karena tidak ada dasar hukum yang jelas mereka harus ditetapkan tersangka dan dilakukan penahanan, sehingga dapat menggunakan alasan tidak cukup bukti.
“Penyelesaian harus ditempuh tanpa syarat. Penangguhan tentu ada syarat-syarat, karena status mereka tetap tersangka, hanya dialihkan penahanannya”, pungkasnya.
Laporan: Satria Madisa